Mentari bersinar teduh dari balik gunung Arjuna yang menjulang tinggi. Perkebunan teh yang hijau terhampar indah bak permadani. Kabut putih nan lembut menyelimuti layaknya kapas-kapas yang beterbangan kesana-kemari. Kicauan burung-burung cantik mengisi kesunyian pagi.
Suasana masih saja sama seperti 5 tahun yang lalu, ketika ku angkat kedua kakiku meninggalkan kampung tercinta. Tak banyak yang berubah dari kampung Cempaka yang terletak di kaki gunung Arjuna. Hanya saja, banyak yang berubah pada diriku setelah sekian lamanya.
Jilbab ungu yang ku kenakan melambai-lambai lembut. Mengikuti hembusan angin dingin yang menusuk tulang rusuk. Aku duduk manis di atas batu hitam di tepian sungai yang mengalir jernih. Dengan sebuah mushaf kecil yang selalu menemani setiap detik dalam hidupku. Inilah aku yang sekarang. Seorang gadis berjilbab nan bergamis, dengan raut wajah yang manis, bak manusia tanpa tangis.
Itulah aku, sosok yang dulunya kasar kini menjadi santun. Sosok yang dulunya keras kepala kini menjadi lembut. Sosok yang tentunya kini lebih agamis dan berilmu. Itulah aku...
* *
"Diraaa...."
Langkahku terhenti, lalu ku tolehkan kepalaku spontan ke arah teriakan tersebut. Ku hela nafasku," selalu deh...", bisikku pelan.
Gadis manis berseragam putih abu-abu itu pun menghampiriku dengan senyuman lebarnya.
"Pagi Diraa ... ", sapanya dengan senyuman manis dengan dua lesung pipi di wajahnya. Dia adalah Azmi, sahabatku sejak kecil.
"Pagi juga Az...", balasku dengan membalas senyumannya.
Kami memang bak pasangan sejoli yang tak pernah terpisahkan. Sejak duduk di Taman Kanak-kanak, kami selalu bermain bersama. Bergandengan tangan bersama, tertawa bersama, bahkan menangis pun bersama.
"Gimana hasilnya Dir?", tanya Azmi dengan nada penasaran.
Aku tersenyum tipis karna memang hasilnya tak sesuai dengan harapan. Azmi pun cukup paham dengan melihat ekspresi wajahku, lalu ia pun menghela nafas kecewa.
"Sabar ya sayang... Insya Allah masih ada jalan lain yang lebih baik", hiburnya sambil mengelus kepalaku. Aku mengangguk pelan. Mencoba tegar dan tidak membuatnya khawatir. Ada secercah kekecewaan yang terpendam. Ada secercah harapan yang hampir pudar. Cita-cita tinggi yang tak lagi bersayap. Bagaimana mungkin cita-citaku bisa terbang tinggi menggapai tujuan jikalau sayap-sayapnya terlalu lemah dan mudah patah. Seakan kesedihan membuncah di ujung ubun-ubun tanpa ada ruang yang tersisa untuk sebuah senyuman. Namun, aku sadar. Aku masih punya Allah sang Maha Kuasa. Semua dapat berubah dalam sekejap mata. Aku juga punya sahabat yang slalu menghapuskan air mata.
Ku hela nafas panjang. Kini ku sadari, kehidupan tak kan pernah berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Siapakah aku, lantas mengatur jalan kehidupan sesuai ambisi. Siapakah aku, lantas lebih memilih bahagia dan enggan dengan air mata. Siapakah aku? Aku hanyalah makhluk yang tercipta dari sesuatu yang hina. Aku hanyalah makluk yang lemah tanpa daya dan kuasa.
Perjalanan hidup ini tak seindah yang ku bayangkan. Tak semanis yang ku angankan. Tak sebagus yang ku inginkan. Itulah kehidupan. Dimana semua manusia akan menorehkan kisah hidup mereka masing-masing. Entah itu akan berakhir dengan happy ending ataupun sad ending. Karna segala sesuatu pasti akan ada akhirnya.
**
"Bu...", ku dekati ibuku yang tengah sibuk memilah-milah panenan bawang putih kemarin.
Benar, aku seorang Halwa Nadhira, gadis supel dan penuh ambisi. Kedua orang tuaku adalah petani tulen di kampung Cempaka, layaknya masyarakat lainnya. Aku adalah anak semata wayang yang amat disayangi oleh kedua orang tuaku. Bapakku yang sangat keras dan tegas pendiriannya pun amat menyayangiku. Meskipun tak pernah sekalipun beliau memanjakanku. Pendidikan yang tegas itulah yang menjelma menjadi sebuah bentuk kasih sayang bagiku.
YOU ARE READING
Secercah Asa Di Ujung Senja
Short StoryInilah aku yang sekarang. Seorang gadis berjilbab nan bergamis, dengan raut wajah yang manis, bak manusia tanpa tangis. Perjalanan hidup ini tak seindah yang ku bayangkan. Tak semanis yang ku angankan. Tak sebagus yang ku inginkan. Itulah kehidupan...