One Night

211 18 1
                                    

KEHIDUPAN gak bisa diprediksi. Contohnya waktu gue masih berusia enam tahun, gue sekeluarga udah berrencana untuk pergi ke taman bermain. Sayangnya hujan lebat turun seharian penuh dan rencana itu terpaksa dibatalin. Ada pula saat seharusnya band kecil-kecilan gue sewaktu SMP tampil di acara sekolah, tapi tiba-tiba Jacob, si gitaris malah demam tinggi dan kami gak jadi tampil.

Oh, atau sekarang, seorang cowok berdiri di depan pintu balkon kamar gue dengan pakaian serba hitam pada jam di mana seharusnya gue udah bisa bermimpi indah. Semuanya gak terduga, gak terrencana.

Dia ngetuk pintu balkon beberapa kali sambil nyengir lebar. Tanpa suara, dia bilang, "Buka."

Gue turun dari tempat tidur dengan berat hati, kemudian pake jaket yang tergantung di deket pintu kamar sebelum ngebuka pintu balkon buat dia.

"Lo punya jam, gak sih di rumah? Udah jam sebelas, tau!" protes gue sebelum cowok di hadapan gue ini sempat mengatakan sepatah kata pun.

Dia, Dino, ngelepasin sepatunya di balkon, lalu ngedorong gue masuk sambil meletakkan jari telunjuk di atas bibirnya, mengisyaratkan buat gue tenang.

Setelah kami bener-bener udah di dalam kamar, Dino pake tudung hoodie di kepalanya sambil ngomong, "Jalan, yuk."

Gue tercengang. "Hah?"

Dino tersenyum. "Gue tau lo pasti jenuh, kan ngedengerin bokap-nyokap lo ribut terus?"

Gue natap dia dengan tatapan gak suka. "Gak usah sok tau! Pulang, sana!" jawab gue ketus.

Masalahnya, gue paling anti sama orang yang sok paham dengan kehidupan atau perasaan gue, meskipun dia benar di sini. Apalagi kalo orang itu Dino, yang notabene hanya tetangga sekaligus ... masa lalu.

Bukannya menyerah, senyuman Dino malah makin melebar. "Lo yakin gue bakal pulang dengan tangan kosong? I thought you know me better than that."

Ah, sial. Gue lagi-lagi terjebak di dalam perangkap iblis.

Luck nut.

Gue udah merutuki Dino di dalam hati. Akhirnya gue jawab, "Terserah. Sana keluar, gue ganti baju."

Dino mengangguk, matanya kayak seakan-akan berbinar setelah gue jawab begitu. Dengan lancangnya dia ngacak-ngacak rambut gue, terus keluar, balik ke balkon. Sebelah kakinya agak masuk ke dalam untuk nahan pintu.

Licik.

Gue masuk ke dalam kamar mandi dengan hoodie dan jeans hitam. Selesai berganti pakaian, gue mengambil tas yang terletak di atas meja belajar. Gue memasukkan HP, charger, dompet, sampai kamera ke dalam sana, lalu mengambil sepatu di rak.

Saat gue membuka pintu balkon, Dino yang tadinya lagi main HP langsung berdiri dan menatap gue dengan senyum lebar.

"Yuk," katanya sambil menarik pergelangan tangan gue. Sebelum dia bisa bertindak lebih jauh, gue menepis tangannya.

Gue lihat wajah Dino agak seperti orang yang tersakiti, tapi kayaknya gue salah lihat — gak mungkin dia menyesal. Dia brengsek —, karena setelahnya dia terkekeh. "Hehe. Maaf, lupa."

Modus, pikir gue spontan.

Dino melewati batas balkon, lalu menuruni tangga yang dia pakai untuk naik. Waktu dulu, dia sering —

ah, lupain aja.

Setelah Dino udah sampai di bawah, gue akhirnya menyusul melalui jalur yang sama. Sayangnya, sebelum kaki gue benar-benar menapak di atas tanah, tubuh gue oleng dan akhirnya jatuh. Untung ada Dino yang sigap buat menangkap gue.

One Night [Oneshot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang