lelaki berbadan kekar, kumis tebal dan hidung bangir. Rambutnya klimis, ia memakai dasi loreng-loreng dan kemeja putih. Tatapannya masih pada bangku pembatas antara aku, mama dan dia. Bibirnya sedikit ditarik ke atas, mungkin petanda puas aku mendapat penghakiman ini. Aku mendengus, melempar pandangan dengan gerutuan kesal.
"Dia bukan papa, papa may hanya satu. Aryo Wahyudi!"
Tak banyak bicara aku sudah bangkit, tapi kontan cekalan mama mampu membuat pantatku henyak dikursi lagi. Aku telah memanggilnya Herdi, dan mama menilainya salah, apa yang salah?namanya Herdiansyahkan? Begitu tadi aku juga beralasan sekedar mengabaikan rasa kesal yang aku lihat diwajah mama. Mama menatap tajam bahkan berhasil mencekalku.
"Dia itu papamu"
Ini sudah kesekian kalinya mama berucap, sama seperti tadi. Papa? Wah apa mama benar-benar ingin aku memanggil lelaki ini papa? Sejak kapan? Apa itu sejak mama sudah mengambil keputusan sendiri, lalu dengan beraninya mengatakan menghadiaiku sosok papa baru? Atau bahkan sudah sejak duka meninggalnya laki-laki berciri khas kopiah mirip putu wijayah itu dinyatakan meninggal?
Papa Aryo Wahyudi, dia lelaki muda berprofesi sebagai guru di SD Harapan Bangsa. Orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan akrab pak wahyu, tapi aku lebih suka memanggilnya papa putu. Itu lebih pada ciri khasnya yang selalu membungkus kepalanya dengan kopiah merunduk, lebih lagi ditambah puluhan puisi dan karya sastra lainnya yang habis dilahapnya. Dua puluh tahun ditengah hadiah kasih sayang dan cinta yang tanpa jeda, ia kadang menghadiaiku puisi, memberiku buku-buku sastra dan itu makin membuatku mengangapnya sang penyair bertopi, Putu Wijaya!Papa putu, sehat, sederhana dan sangat penyayang. Itu penilaianku sebagai apapun itu, jangan katakan penilaianku ini hanya sebagai anak. Aku murni menilainya dari sisi apapun. Dari sikap ramahnya pada siapapun, peduli, bersih, penyayang dan kritis. tanpa aku menilaipun masyarakat yang jadi juri disekitarnya tetap mengatakan yang sama. Dia bisa dikatakan sang idolah, dan aku telah mengabadiakan namanya dibuku harian, mencatat profilnya bahkan seperti seolah menekankan tiap bagian dirinya harus bisa juga menjadi bagian dari diriku. Itu telah target untuk hidupku, tapi kemudian angka hari dan bulan yang terus bertambah membuat semuanya habis, dilumat kenyataan bahwa ia sudah pergi, kembali sang pada sang Robbnya. Kontan, catatn itupun jadi buram dan bahkan terlumuri tinta darah yang sekalipun tak berbentuk aksara, tapi masih berbicara lukanya akan kehilangan.
Hampir bilangan kedua belas sudah bulan itu menambah angka terdahulu sebagai hari kepergiannya, menambah daftar sunyi dan kehilangan akan sosok sang puitis. Dan kali ini mama tiba-tiba ingin menggantikan kedudukan papa dengan dia? Jangan harap, itu jelas tak mungkin. Siapapun orangnya, dia hanya akan jadi tong sampah yang harus siap aku caci maki dengan kata-kata kotor!
"Dia juga jadi guru di SD harapan Bangsa loh may, sama seperti papa"
Mama tersenyum dan sedikit memberi penekanan pada kata guru seolah dengan itu aku bisa bersorak gembira menyambut sang tong sampah. Papa memang guru, tapi itu bukan berati aku harus menyamakan mereka. Lebih lagi bukankah aku lebih suka papa dengan profesinya yang sebagai sastrawan?
Tiap pagi papa harus bersiap meninggalkanku untuk mengajar, dan bila pulang akan langsung istirahat, tapi itu tidak bila sedang menjadi sastrawan, ia akan bergegas menghampiriku lalu memberi puisi puitisnya dan menggambarkan aku layaknya putri kecil lewat tiap baitnya.
MenJadi guru, Papa juga harus menahan emosi bila ada wali murid mencaci maki karena anaknya yang tak naik kelas atau karena semacam kenakalan lainnya, padahal jelas itu berasal dari keluarganya sendiri. Mereka disibukkan pada urusan kerja dan mengabaikan perkembangan anak sebelum akhirnya ujung-ujungnya menyalahkan Papa. Jelas itu beda karena bila papa bila jadi sastrawan, papa selalu mendapat tanggapan positif dan bahkan teriakan dari para fansnya, katanya kapan baca puisi lagi dan sebaris kata yang menunjukkan betapa apresiasinya mereka pada puisi pap. Sementara untuk guru? Gajinya yang siap menggigit diantara kemirisan karena nominalnya yang rendah, risiko dampratan dari tiap wali murid, bahkan harus siap menjawab bila terjadi masalah dengan angka penggelapan dana dan sumbangan sekolah. Itu masalah pelik yang dulu tak sampai terselesaikan sampai papa ... ah ya, ada yang baru kusadar. Papa putu meninggal ditengah aksi selidikannya pada kasus korupsi, dimana ada dugaan diantara teman-temannya sesama guru yang telah mengambil uang sekolah. Selidikannya dulu sering buat papa terlalu sibuk dan terakhir tanpa terduga tiba-tiba sudah ditemukan tewas tertabrak mobil. Jelas itu mencurigakan sekali, terlalu kebetulan bila papa mati disaat yang sama dengan aksi penyelidikannya. polisi sudah coba selidiki tapi mobilnya bahkan tidak ditemukan dan kasus itu seolah lenyap tanpa ada sanksi sedikitpun pada mereka yang bersalah. Itu hari paling sial dan terburuk yang pernah terjadi dalam hidupku, ingin menuntut keadilan tapi dimana? Tak ada dan aku tak bisa berbuat banyak selain mendoakan papa di sisa kesibukanku juga menyelesaikan ujian akhir sebagai kelulusanku di SMK. Dan kini aku tengah berhadapan dengan dia, herdiansyah guru yang termasuk diantara orang-orang-orang paling bertanggung jawab atas kematian papa, aku harusnya memakinya di sini. Menghakiminya di sini dan bahkan aku bisa bersama dengan mama memaksa ia mengaku karena barangkali ialah dalang semuanya. Tapi hari ini, detik ini ia seolah menghakimiku karena tak memanggilnya papa.
"Dia juga orang madura may, dan dia yang bikin sate ini lo. Enakkan"
Mama kali ini mengambil sate diatas emja yang sejak tadi tak sekedar aku cicipi. Papa putu sejatinya berasal dari pulau garam. Seorang perantauan yang jatuh cinta sama mama dan menikah di bogor. satu-satunya penjual sate terenak kata mama dan aku mengacungi jempol soal rasa, tapi sekarang mama menyamakannya dengan sang tong sampah? Hadeh, seleraku berubah jijik.
Meong...meong..
Tepat sekali dering hpku terdengar ditengah ketidak nyamanan itu. Nadanya yang lebih mirip kucing itu langsung berhenti begitu jariku menyentuh warnah biru. Dari fajar ternyata. Aku sedikit menjauh untuk mengangkat telphon
Halo sayang, kau di mana? Apa kau lupa? Waktunya mengajar
Oh ya
Aku memekik, melihat jam tangan dipergelangan. Sudah menunjukkan angka 3 ternyata. Ini waktunya aku mengajar anak-anak dibagian lingkungan sampah masyarakat. Segera aku matikan dan masukkan benda pipih itu di tas lalu kedalam kamar, mengambil jaket. Dan keluar begitu saja.
"May.....
Suara mama tak bisa ditoliler lagi, kontan menghentikan langkahku. Aku meringis, berusaha membentuk senyum lalu menghadapnya.
"Aku pergi dulu ya ma. Salam"
Aku berbalik lalu dan buru-buru melangkah, tapi kali ini bahkan suara mama lebih nyaring
Mayyyyyyyyyyyyy
Sumpah, bila ditanya pada gedung-gedung dan apa-apa yang ada disekitarku kemudian mereka bisa berbicara, aku yakin kompak mereka akan kabur dan merutuki wanita ini dengan hujatan sang ratu guntur karena suaranya yang lebih memekakan itu. Jangan tanya lagi bagaimana keadaan telingaku, sudah kututup pakai dua tangan tapi masih cukup sukses membuatnya sedikit budek.
"Apalagi ma?"
"Apalagi? Akau tanya apalagi? Ini hari bersejarah kau malah mau pergi dan kau bahkan belum izin pada dia. Dia keluarga kita. Ingat, KE-LU-AR-GA KI-TA.'
Sengaja mama memberi penekanan pada kalimat terakhirnya, aku melengos. Jelas sampai tujuh turunanpun aku tak akan sudih menganggapnya keluarga apalagi harus memanggilnya papa. Tapi untuk kali ini aku sepertinya harus pura-pura lebih melunak, setidaknya biar kaki ini tidak kesemutan karena kelamaan berdiri.
Kudekati lelaki yang masih duduk di ruang tamu itu, melempar senyum ramah meski terkesan dipaksa lalu dengan lembut berucap.
"Papa, may izin keluar dulu ya. Mau ngajar. selamat istirahat di rumah baru kita
Cuih aku sedikit jijik mendengar kataku sendiri, manisnya kau may. Ini bisa bikin lelaki itu penyakit kencing manis bahkan. Lelaki itu ikutan tersenyum lalu mengangguk
Tidak apa-apa sayang. Papa tunggu dirumah ya, jangan kemalaman"
Aku menanggapinya hanya tersenyum lalu sudah buru-buru keluar. Ini bahkan lebih parah dari perkiraanku akan reaksinya. Sempat kulihat seutas senyum melengkung dibibir mama, penuh kepuasan dan senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Izinkan aku menyebut Papa BI-NA-TANG
General FictionNovel perdanaku, belum direvesi. siap kritikan dan sarannya