Jalanan kian panas, berdebu dan menyesakkan. Aku menutup kedua hidung, sesekali terbatuk-batuk sebelum akhirnya sudah sampai. Langsung kuketuk pintu. Siap dan tidak siap aku harus tetap mengatakannya sama Mama. Tidak ada pilihan lain, hanya wanita itu harapanku. Persetan dengan malu. Ini bukan tentang harapan mereka, tapi juga ada harapanku yang tersemat dibalik lorong-lorong kepedulian itu. Makin kuperkeras ketokan, mata sesekali melirik pada Jam dipergelangan. Apapun itu, aku harus lebih cepat
"Bentar..."
Dari dalam seseorag menyahut seiring ketukan sepatu hills yang beradu dengan lantai. Sudah aku duga itu pasti mama. Benar ternyata, wajahnya yang berbentuk lonjong itu sudah dapat aku jumpai begitu pintu terbuka. Kedua alisnya sedikit merengut diikuti tarikan napas berat.
"Kalau ketok bisa sedikit pelan kan May, mama hampir jantungan tau ngaak, kirain ada apa"
Ia mengusap keringat sembari menghenyakkan pantat diatas kursi. Aku ikutan duduk. Sedikit mengatur napas. Pikiran sebenarnya masih dipenuhi antara ia dan tidak, ragu dengan keputusan sendiri, tapi aku harus cepat mengambil tindakan."Ma, bisa aku pinjam uang sama mama. Pleasse ma, may sangat membutuhkannya. May pasti membayarnya"
Aku memejamkan mata dengan rasa bercampur aduk, bibir terasa dingin dan beku. Jelas malu itu masih bertengger di dasar hati. Bahkan mulai bersiul-siul seolah merutukiku yang tanpa malu telah meminta bantuan sama mama.
"Uangmu kan ada may, memangnya untuk apa?"
"Semuanuya pasti akan may jelaskan ma, tapi nanti. Sekarang boleh may pinajam uangnya?"
Mama langsung mengerutkan kening, garis ketuaan makin tampak dari balik wajahnya. Sudah aku duga, ia pasti heran. Tapi tidak mungkin aku jelaskan sekarang, semuanya akan memakan waktu lebih banyak . dan Ibu Rahma sangat butuh penanganan segera bahkan bukan tidak mungkin nyawanya bisa terancam. Itu akan jadi bagian terburuk bila aku tidak mampu berbuat apa-apa.
sekalipun perempuan itu memang kumal, buruk, miskin degil dan bahkan tidak punyak ikatan darah denganku tapi bukan suatu alasan di mana kata sayang itu mengunci kepedulianku. Aku menyayanginya dan karenanya bahkan ia seperti mutiara paling berharga yang harus aku jaga."Jelaskan dululah sebentar may, nanti mama pasti kasih"
Aduh bagaimana ini, mama makin saja ngotot. Bisa aku bilang alasannya karena ingin membantu pengobatan ibu rahma, janda dari tiga anak. Tapi tidak mungkin semua itu dapat memuaskan mama. Ia pasti akan menanyaiku lagi dengan rentetan pertanyaan, bahkan bukan tidak mungkin ia akan menjadi wartawan yang seolah mewawancarai narasumbernya. Dan bisa saja semuanya akan berakhir dengan kemarahan. Jelas itu akhir yang buruk dan aku harus menceganya
Boleh-boleh saja May. Tapi ingat, setelahnya kamu harus cepat mengatakannya sama mama, memangnya butuh berapa?
Sekitar 3 jutaanlah ma
Mama terbeliak, kaget. mata julingnya memperhatikanku, ia seolah menelusuri tiap kesungguhan kata-kataku.
Ini memang aneh, seorang may sekalipun cenderung dimanja, tapi selama ini sudah cukup mandiri. Untuk biaya sekolah saja dulu aku sering mengandalkan beasiswa, meski tentu juga sedikit bantuan dari mama. Wanita ini bisa dibilang tidak pernah peduli dengan keadaan Atm dan uang tabunganku yang lain, tapi bukan berati ia tidak akan keheranan kalau uangku tiba-tiba habis. Tujuh bulan terakhir saja uangku masih berada pada nominal 5 jutaan.Aku bukan tipikal cewek yang boros, bukan pula mereka yang tiap harinya menghabiskan hari-hari di Mall, Salon dan kantin dengan sejuta hiburan yang harus merogoh kantong dan meludeskan uang. Bisa dibilang hanya dua kali pergi ke Mall. itupun karena diajak papa waktu akan seminar, mall itu juga tersedia taman bacaan yang tentu bisa dibilang aku hanya mampir pada rumah Aksara itu, selebihnya tempat baju sepatu dan lain-lain Itu hanya terlewat begitu saja tanpa mau peduli. Kali kedua waktu diajak mama yang maksa mempersilahkan aku memilih barang sebagai hadiah darinya, nilaiku menunjukkan terbaik lagi dan berada diposisi angka peringkat satu sebagai siswi teladan. Aku hanya memilih baju kaos dan celana jeans saja yang cenderung seperti pakaian laki-laki. Mama protes, minta aku mengembalikannya lagi tapi emang dasar, aku tidak mau selain itu. Jadilah penampilanku makin kentara sebagai cewek tomboy. Rambut pendek di hiasi topi, kaos lengan pendek yang dipadukan celana jeans dengan sobekan di bagian depan, ditambah lagi kalung rantai yang sukses buat orang menilaiku laki-laki.
penting
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma, Izinkan aku menyebut Papa BI-NA-TANG
General FictionNovel perdanaku, belum direvesi. siap kritikan dan sarannya