Sekilas

172 30 3
                                    

.

.

.

Tiupan nyaring dari corong teko memukul lamunan Jongin yang sedang memandang monggu makan dengan lahap. Jongin meraih kain usang yang tergantung dan dengan pelan ia menyuguhkan air dalam teko ke mug yang lebih dulu sudah diisi bubuk susu cokelat. Jongin menciptakan keheningan dalam sebelum ia membuka jendela dapur seraya membawa susu cokelatnya. Sayap-sayap angin tak kasat mata pun menyerang wajahnya.

Pada lantai ke 16 tempat Jongin berpijak, semua terpampang jelas dari berbagai sudut. Para pejalan kaki layaknya barisan semut yang tidak memiliki antena. Tidak menyapa satu sama lain dan terputus sebelum bertemu. Radar mereka ditutupi benda persegi dan kabel putih yang menggantung di telinga. Jongin tertawa tanpa suara sambil menyesap manisnya kepulan dari cangkir yang dipegangnya.

Semut tanpa antena akhirnya menabrak kumbang.

Segera para barisan semut yang sebelumnya tidak teratur langsung melingkari sang semut yang menjadi korban dan si kumbang yang panik. Jongin berpikir mereka akan menolong sang semut. Tetapi tidak sampai belasan menit, para semut itu berangsur-angsur meninggalkan kawasan. Menyebabkan Jongin tertawa getir. Sedangkan para kawanan kumbang yang mulai mendekat lebih parah lagi. Mereka mendengungkan suara nyaring karena tidak sabar menyuruh si kumbang untuk menyingkir dari jalan mereka.

Jongin menguar senyum samar. Menerka siapa pihak yang harus didakwa salah. Seorang pejalan kaki yang tanpa mau melihat-lihat atau pengemudi yang tidak tangkas?

Atau sang belalang memakai rompi warna hijau yang sedang tertidur di sana? Bukankah belalang juga melalaikan tugasnya.

Kemudian keributan kecil itu pudar saat si pengemudi bertanggung jawab dan menempatkan diri sebagai orang yang menonjol. Pejalan kaki mengikuti dengan wajah mengerang. Jongin melihatnya dengan wajah berseri.

Tidak perlu ia menentukan pihak yang bersalah. Yang dibutuhkan hanyalah kemurnian hati.

Jongin yang mendedikasikan dirinya sebagai kupu-kupu layu meletakkan susu cokelatnya yang sudah habis seperempat. Warna cantik sayapnya memucat dan sedikit mengelupas. Dulu ia menjabarkan objek dari pandangan matanya kepada angin. Lalu mereka berangan-angan melayang bersama di atas jalan kota yang seperti ladang anggur hitam memanjang.

Jongin menghirup udara hingga dadanya mengembang. Menutup kaca jendela sambil mengenang dua kata; cinta dan percaya. Dulu ia mencinta lalu ia percaya. Sekarang ia kehilangan atensi keduanya. Ia sudah retak oleh gigi-gigi luka hati.

Jadi, pada siapa lagi jongin membacakan kisah sedihnya?

.

.

.

Hari senin yang buruk beserta awan-awan mengaum pada dekapan langit. Sebagian mahasiswa merebahkan kepala ke meja setelah dosen wanita itu keluar dari kelas. Jongin yang berada tepat di samping jendela pun merasa matanya mulai memberat. Tak tertahankan lagi, Jongin menutup kelopak matanya dengan lengan. Sayup-sayup sekitar menjadi pengiring buaian dunia mimpi.

Detik-detik ketika kesadaran Jongin dihunjam, seseorang menyelipkan earphone pada dirinya. Terlena akan halus suara denting piano klasik, Jongin tersenyum pelik. Posisinya tidak berubah.

Mereka masih memakan diam, pikiran senyap jatuh dalam tekanan.

"Pukul 9 malam aku mengetuk pintumu. Mengintip dari jendela dan berakhir diseret keluar." Ada gema emosi dalam suaranya. Kontras dengan hangat ujung jemarinya yang mencari perhatian.

5 sekon Jongin menikmati jemari yang berlari kecil di surai madunya. Pancaran hangat cinta tersambung dalam nadi. Sebelum Jongin menimbunnya dengan kebencian yang berujung kehampaan. Tidak tahu, ia juga tidak mau. Jongin takut kembali tenggelam pada kubangan cinta.

Pada akhirnya Jongin membalas. "Aku sedang menghitung bintang dan memanen bunga Crysanthemum saat kau mengetuk pintuku."

Jeda sejenak sebelum sepotong lengkungan samar terukir.

Jongin berupaya menelaah pandangan rumit yang tertuju padanya. Lapisan bening kornea mencerminkan senyuman orang itu. Mematikan pertentangan dalam lubuk hati lalu menjelma kedipan manis. Rumit, Jongin benci perasaannya yang tidak berlogika.

"Aku mengerti, memang seharusnya." 3 kali tepukan di kepala, Jongin mulai merasakan kekosongan.

Meraih lengan orang itu Jongin berbisik kaku. "Terimakasih atas susunya. Kau tidak lupa permintaanku." Lalu memelan. Dering bel tak mampu menghapus gelombang suara Jongin pada indra pendengar orang itu. Mereka berpelukan dengan Jongin yang semakin keras menangis. Cucuran air mata terbenam dalam hangatnya dekapan orang tersebut.

Bunga Crysanthemum; duka mendalam.

.

.

.

Rest in Peace Kai's father

Unbelieve

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

To: Kim JonginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang