Aku berdiri menatap bangunan tua didepanku, dengan gaya eropa tahun 1800-an, dinding berwarna putih usang. Halaman rumah yang cukup luas dengan rumput jepang. Suara semilir angin begitu terasa menyapa setiap helai rambutku yang tak terikat. Kualihkan pandanganku pada pohon beringin besar dipojokan halaman, ia berdiri dengan kokoh menjulang, dengan akar yang menggantung. Aku menutup mataku, sekali lagi dapat kurasakan kesunyiannya, suara gemuruh mulai terdengar, tetesan hujan mulai turun, satu tetes air tepat mengenai pipiku. Ketika kubuka mataku tetesan yang lain mulai menyusul. Dengan cepat ku tutupi kepalaku dengan tangan, walau kutau itu percuma saja tapi tetap kulakukan. Aku berlari kecil menuju teras rumah, dengan susah payah aku menarik koperku. Aku mengepak-ngepakkan tanganku ketika sampai di teras, mengusap-usap rambutku yang dibasahi beberapa tetes air. Ketika kuperhatikan hujan semakin deras, anginpun semakin bertiup kencang. Tampak cahaya kilat yang mulai ikut hadir. Aku segera merogoh saku celana jeansku mencari-cari secarik kertas yang diberikan oleh ibuku. Sekali lagi aku mencocokkan nomor rumah itu dengan apa yang tertulis di kertas. "Sama". pikirku
CTAR
Suara petir mengagetkanku, dengan segera aku mengetuk pintu rumah. Aku menunggu beberapa menit, tak ada respon, sekali lagi aku mencoba mengetuknya. Tiba-tiba seorang wanita tua berpakaian khas jawa membukakan pintu dan tersenyum.
"Non Sinta ya"? tanyanya.
"Iya". Jawabku sambil tersenyum.
"Silakan masuk non". Katanya sambil membuka pintu lebar-lebar "Barusan ibu telpon, nanyain non Sinta". Katanya kemudian menutup pintu "Mari non saya antar kekamar".
Aku pun mengikuti langkahnya. Aku melihat banyak barang antik dirumah ini "tentu saja". pikirku. Kemudian tanpa sengaja aku melihat sebuah lukisan seorang laki-laki, sepertinya keturunan belanda. Aku menghentikan langkahku dan mulai mengamatinya. "Apakah ini juga lukisan tua peninggalan"?
"Non"?
Suara bibi menyadarkanku dari pesona lukisan itu. Kemudian beliau berdiri disampingku ikut memandang lukisan itu sama sepertiku.
"Bagus ya non"? tanyanya meminta pendapatku.
"Iya bik". Jawabku sambil tersenyum.
"Kata kakek buyut non dulu, lukisan ini adalah lukisan pemuda bangsawan belanda jaman dulu non". Jelasnya.
"Hmmm". Aku mengangguk-nganggukan kepalaku, benar saja tebakanku lukisan ini adalah lukisan peninggalan pada jaman belanda.
"Ayok non mari". Aku kembali mengikuti bibi.
Aku masuk ke ruang kamarku. Kuperhatikan dekorasi ruangan mulai dari meja rias, lemari, jendela, semuanya serba kuno.
"Non mandi sama istirahat dulu aja, bibi mau masak dulu, kalau sudah siap nanti bibi panggil". Kata bibi.
Akupun mengangguk, kemudian beliau pergi meninggalkanku.
Sebelum aku mandi kuputuskan untuk merebahkan tubuhku sejenak di pulau kapas impian setelah seharian menikmati perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta menggunakan kereta. Aku menggeliat dengan nyaman. Mataku tertuju pada langit-langit kamar. Walaupun rumah ini tua dan sudah berumur ratusan tahun, kurasa cukup terawat walaupun dindingnya tak di cat ulang. Ibu pernah bercerita tentang rumah ini sebelumnya. Sebenarnya beliau mewarisi rumah ini, akan tetapi entah mengapa beliau tak pernah mengunjunginya dengan keluarga. Biasanya ibu akan memilih liburan ke tempat lain. Tapi kali ini aku diizinkan beliau untuk menempati rumah ini. Sebenarnya beliau sempat keberatan, namun karena aku terus membujuknya, akhirnya ibu bisa luluh juga dengan syarat setelah lulus tes masuk keperguruan tinggi maka aku harus pindah tempat tinggal menjadi kos. Aku tak habis pikir kenapa ibu begitu khawatir aku tinggal disini. "Apakah beliau punya kenangan buruk dengan rumah ini"? pikirku. Ah sudahlah, aku beranjak dari tidurku, membongkar isi koper, mencari handuk dan perlengkapan mandi.
YOU ARE READING
The Painting (Oneshoot story)
FantasyAdult Only!!! Romance-Fantasy Suara piano itu membangunkanku dari tidur.