Chapter 1: Begin of The Truth

11 1 0
                                    


"Man is an animal that makes bargains: no other animal does this - no dog exchanges bones ith another" 




Pagi yang cerah di daerah perkotaan London, meskipun matahari masih sedikit mengintip di ufuk timur, tetapi langit sudah tampak begitu biru dengan serabut putih yang tampak jauh di atas sana. Dingin, mungkin itulah yang dirasakan oleh seorang pemuda berambut raven yang sekarang sedang berjalan di trotoar jalan utama yang masih sangat sepi.

Bibir pemuda tersebut tampak bergetar kebiruan. Tangannya terlipat di depan dadanya dengan jaket abu-abu cerah yang juga menyembunyikan helaian raven yang tampak kusut dengan style simple yang selalu menjadi ciri khasnya. Wajah putihnya tampak pucat dengan noda lingkar hitam yang melingkari bagian bawah matanya. Biji onyx itu tampak menatap kosong kedepan dengan tampang yang waspada sehingga terkesan seperti dia memaksa matanya untuk tetap terbuka lebar.

Itulah Edward,Agustinus Edward , seorang pemuda yang sudah hidup sebatang kara di sebuah apartemen murahan yang berada di dekat Universitas Cambridge. Mahasiswa yang satu ini bertahan hidup dengan gajinya yang cukup tinggi berkat kerja sambilannya di sebuah perusahaan security. Meskipun hal itu benar-benar harus dibayar mahal dengan hilangnya waktu oleh kerja dan kuliah di jurusan ilmu komputer Universitas Cambridge. Sehingga bisa dilihat dengan tampilannya yang kusut dan tampak kurang tidur tersebut.

Bocah tersebut menghentikan langkahnya di depan sebuah bangunan tinggi di pusat sebuah lintasan berbentuk lingkaran untuk jalur putar kendaraan. Dia pun menoleh ke arah bangunan tersebut untuk menemukan seorang gadis pirang berambut panjang yang sedang duduk sambil memainkan hapenya. Sinar matahari tampak menyinari gadis tersebut dari arah kanannya sehingga kulit wajah putihnya tampak sedikit bercahaya.

Gadis tersebut nampaknya menyadari kehadiran Edward sehingga dia mengalihkan biji aquamarine miliknya ke arah Edward yang tampak sedikit tersenyum, meskipun yang keluar adalah senyuman lemah. Gadis tersebut tampak memejamkan matanya dengan ekspresi kesal sambil menggenggam hape yang sejak tadi ada di tangan kanannya dan mulai berbicara pada Edward.

"Ada apa kau mengajakku kemari? Selain itu, kenapa harus Minggu pagi sih?" Tanya gadis tersebut dengan nada kesal. Gadis tersebut bernama Esta. Seorang gadis cantik bak boneka barbie yang merupakan putri dari seorang pemilik toko bunga yang paling terkenal di London. Tak heran jika kecantikan dan keanggunannya juga menyerbak diantara para mahasiswa bagai bunga yang menyebarkan aroma wanginya.

"Aku sudah bilang ga papa kalo kamu sedang sibuk" Kata Edward sambil mengangkat bahunya dan melihat ke arah lain dengan ekspresi gugup. Esta tampak memutar matanya sambil melihat kearah jam tangan yang sudah terpasang secara menawan di tangan kanannya.

"Mana telat lagi" Gumamnya tanpa terdengar oleh Edward. Edward pun berjalan mendekati esta sebelum akhirnya duduk di sebelahnya, meskipun agak jauhan dikit sih. Tangan kanannya tampak sedikit meremas tangan kirinya dengan gemas menunjukkan betapa gugupnya dia ketika sedang duduk di sebelah gadis yang sudah terkenal di kelasnya tersebut. Yah...! Edward dan Esta memang sekelas sih, jadi tak heran kalo mereka berdua sudah saling kenal.

"Terus kita disini ngapain?" Tanya Esta frustasi ketika melihat Edward yang masih duduk dengan wajah gugup di sebelahnya. Edward hanya memandang gadis tersebut dengan matanya yang tampak sangat kelelahan sekali dan akhirnya bergerak sedikit mendekat ke arah Esta dengan ekspresi kegugupan yang terlihat jelas di wajahnya.

Teng...! Teng...! Teng...!

Bersamaan dengan bunyi lonceng dari jam yang berada di gedung di belakangnya, cowok berambut raven itu melepaskan tudung jaketnya. Rambut itu tampak sedikit berkilau tertimpa cahaya matahari pagi yang masih segar. Helaian raven itu masih tampak basah dengan tetesan air yang masih berkumpul di ujungnya, meskipun wajah pria yang memilikinya masih tampak kusut. Edward sekarang tampak sedang berlutut di depan Esta sambil membawa sekuntum bunga dan menyerahkannya kepada gadis pirang tersebut.

Island Of TruthWhere stories live. Discover now