JARAK YANG DIUKUR DENGAN HATI, BUKAN KAKI

12 0 0
                                    

"Allaahu Akbar Allaahu Akbar.
Allaahu Akbar Allaahu Akbar...
...
Laa ilaaha illallaah"

Suara adzan itu terdengar 5 kali sehari, dikumandangkan oleh orang-orang pilihan yang terpanggil hatinya dan menyempatkan raganya pergi ke Masjid lebih dahulu dibanding yang lain.

Aku masih sibuk dengan kewajibanku, atau lebih tepatnya dengan pekerjaan yang dapat dikatakan kurang penting atau dapat ditunda. Aku lebih memilih meneruskan aktivitasku, dan menyibukkan diri di dalam"dunia"ku. Tak jarang, seakan aku menutup telinga dari seruan adzan tersebut dengan tetap berbincang-bincang dengan teman-temanku.

Menurutku, suara adzan itu sudah terlalu menjenuhkan untuk kudengarkan, lalu membosankan untuk kuhiraukan, hingga selalu beralasan untuk kuabaikan. Seperti tidak bermakna. Dulu, aku seperti itu.

Adzan yang sejatinya merupakan ajakan untuk sejenak menyapa Allah, pencipta kita, dengan mengunjungi rumahNya dan berdoa, tak cukup menggerakkan hatiku untuk mengimani, apalagi menggerakkan kakiku untuk pergi. Tidak, tempat itu tidak jauh dari tempatku, malah dekat sekali. Lagi, jarak tersebut tidak mampu menggerakkan ragaku untuk beralih.

Aku lebih memilih shalat di rumah, di kamar, di tempat dimana aku sedang berada. Rasanya berat sekali untuk melangkahkan kaki ini. Satu dari lima waktu shalat pun jarang sekali aku tunaikan di rumah suci itu, kecuali shalat Jumat / shalat hari raya, itupun lebih dikarenakan terpaksa, formalitas, malu dengan orang lain. Aku tahu keutamaannya, tapi aku cuma tahu. Aku pernah mempelajari pahalanya, tapi aku cuma pernah. Aku kurang mengimaninya, atau tidak sama sekali ku imani.

"Yang penting aku shalat.", pikirku saat itu.

Suatu ketika, seorang temanku tiba-tiba rajin sekali pergi ke Masjid untuk menunaikan shalat fardhunya. Padahal, aku tahu sekali dia bukan tipikal orang yang sangat religius, malah tak jarang kudapati dia mengabaikan shalatnya, tetap menunaikan tapi selalu menunda, hampir mendekati waktu shalat selanjutnya.

"Dit, mo kemana?", tanyaku suatu hari.

"Ke Masjid, run. hehe.", jawabnya sembari tersenyum seperti orang yang malu.

Dia seperti menjadi pribadi yang baru akhir-akhir ini. Bukanlah lagi orang yang keras perilakunya, namun lebih lembut. Tak hanya aku yang berpikir demikian, banyak teman-teman kami pun beranggapan serupa.

"Tereh kiamat euy, si Adit ka Mesjit wae. haha.", canda salah satu temanku.

Aku memilih untuk diam saja. Menurutku candaan tersebut tidak lucu untuk direspon. Meskipun aku bukan orang baik, aku tidak akan mengolok-olok seseorang yang sedang berubah menjadi lebih baik, setidaknya sedikit iman itulah yang menahanku untuk ikut melemparkan candaan kepadanya karena perubahannya. Dan entah kenapa, lalu kuikuti dia untuk melaksanakan shalat Dzuhur.

"Dit, tunggu, saya ikut." Dia tersenyum.

Kami mengambil air wudhu, lalu masuk Masjid. Aku duduk, menunggu Iqamat. Dia mulai melaksanakan shalat sunnah. Setelah itu, Iqamat dikumandangkan dan kami pun shalat. Setelah salam, berzikir, dan berdoa, akupun melaksanakan shalat sunnah. Mungkin karena aku malu dan ingin menunggu Adit yang pasti akan shalat sunnah juga.

Aku selesai dengan shalat sunnahku. Ku lirik dia. Ternyata dia masih berdoa. Aku memperhatikan dia berdoa, kudapati dia seperti menangis, namun tak lama kemudian dia tersenyum.

"Dia kenapa? Doa seperti apa yang dia panjatkan?", pikirku.

Aku putuskan untuk tetap menunggunya. Tak lama kemudian dia beranjak untuk shalat sunnah, dan salam. Dia menoleh ke belakang dan melihatku yang sedang menunggunya. Dia tersenyum dan menghampiri.

"Yuk!", dia mengajak pulang kembali ke rumah Rian. Kami memang sedang berkumpul di rumah Rian, karena kuliah sedang libur.

"Dit, tunggu sebentar!", aku memberikan isyarat kepadanya untuk duduk sejenak. Diapun duduk.

"Boleh nanya sesuatu? Tapi sorry nih klo pertanyaannya kurang sopan." Dia mempersilahkanku.

"Dit, sebelumnya maafin sikap mereka tadi, ya! Mereka cuma bercanda." , hiburku. Dia memasang wajah yang datar.

"Saya perhatikan, kamu banyak berubah, menjadi lebih baik. Setidaknya kamu mulai rajin shalat di Masjid. Kok bisa?". Dia masih terlihat datar.

"Eh maksud saya, motivasi apa atau bagaimana kamu bisa berubah seperti ini? Saya bangga." , upayaku memperhalus pertanyaan yang entah berhasil atau tidak.

Dia membetulkan posisi duduknya supaya nyaman.

"Run, masih suka mendaki gunung?", dia bertanya. Kujawab masih.

"Kamu juga suka kan pergi hiking bareng kita-kita, apalagi kalau masa-masa libur gini.", jawabku sekenanya.

"Kenapa kamu suka?"

"Selain melatih fisik, pas sudah nyampe dipuncaknya bangga banget. Kita bisa lihat indahnya alam. Seperti ada panggilan hati untuk terus mendaki ke gunung-gunung lainnya. Apalagi klo kita lagi galau."

Memang jawaban standar dariku. Lalu dia mengangguk. Dia tersenyum dan mulai bercerita...

"Aku lagi punya masalah, run. Tapi, belum bisa aku ceritakan ke siapapun kecuali Allah. Aku bingung, aku ingin menenangkan hati. Sehingga suatu hari aku iseng pergi ke sebuah kajian. Temanya tentang "Tempat Paling Dirindukkan". Ustadznya menyampaikan materinya dengan penuh sindiran, run, perasaanku seperti itu. Dia mengatakan kita sebagai lelaki diutamakan shalat di Masjid. Beliau juga menyampaikan bahwa Masjid akan menjadi tempat yang paling dirindukkan saat kita sudah tidak di dunia ini lagi. Di masa itu hanya orang-orang yang terpaut hatinya kepada Masjid yang akan bahagia. Kita, yang bukan, akan meminta kesempatan kepada Allah untuk dihidupkan kembali, kemudian dengan merangkakpun kita usahakan pergi ke Masjid untuk mendapatkan pengampunanNya. Sejauh apapun akan kita tempuh untuk mendapatkan kebahagiaan dariNya. Beliau lalu menganjurkan untuk sering berusaha menyapa Allah di rumahNya, terlebih saat kita memiliki masalah, sebelum terlambat. Aku yang sekarang sedang memiliki masalah, tak bisa membayangkan saat itu tiba dan aku termasuk orang yang ingin dihidupkan kembali, saking menyesalnya kehilangan kesempatan itu. Cukuplah penyesalan masa lalu menghantuiku di dunia ini. Semoga Allah mau menerimaku kembali dengan usahaku ini.", dia bercerita dengan sedih lalu tersenyum tenang. Kulihat ada penyesalan dan harapan bercampur aduk di wajahnya

Aku tertegun, bukan karena isi ceramah itu, tapi aku lebih penasaran tentang masalah apa yang sedang Adit miliki. Karena, meskipun kurang lebihnya aku tahu keutamaan itu, tapi hatiku tak cukup tergerak dengan pengetahuan itu. Masjid masih terasa jauh untuk kukunjungi dengan suka cita.

"Kamu mengerti mengapa aku bertanya tentang hobi mendaki gunung itu?".

"Ada jarak yang tak diukur dengan kaki, tapi dengan hati.", aku tiba-tiba menyimpulkan dengan kalimat itu. Dia terlihat heran. Kurasa jawabanku berbeda dengan prasangka dia. Ya, memang sebenarnya aku mengerti persamaan atau perbandingan Gunung dan Masjid yang dia maksud. Kurang lebih, kalimat kuncinya adalah tempat meringankan masalah. Tapi aku lebih suka ungkapan "Jarak oleh Kaki dan Hati" tadi.

"Ya, bisa juga. Kita tidak perlu menunggu punya masalah besar untuk menggerakkan hati kita, kan? Setiap kita punya dosa yang sekecil apapun harus minta dimaafkan olehNya dengan berkunjung ke rumahNya, selagi kita sehat."

"Ya, benar. Terima kasih. Semoga istiqamah."

"Aamiin. Barakallah."

"Yuk!", ajakku pulang.

Akhirnya kita beranjak dan kembali ke rumah Rian. Di sepanjang jalan, aku masih memikirkan masalah apa yang sedang Adit hadapi. Tentu aku tidak berani menanyakannya, karena itu tidak sopan. Dan akupun berpikir untuk mulai berusaha selalu shalat di Masjid. Fisikku masih kuat, hatiku pun harus.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 13, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jika Akhirku SemuWhere stories live. Discover now