chapter 1.1

84 6 2
                                    

Sudah berapa lama sejak aku tertidur? Dan kapan aku tersadar aku sudah terbangun?

Aku memperhatikan kipas angin di langit-langit berputar pelan di atasku. Sama sekali tidak menghilangkan asap rokok yang sudah mengapung bertahun-tahun di ruanganku. Aku sering memulai tiap pagi seperti ini.

Tapi, tidak… ini bukan pagi, kan? Aku berbalik ke arah jendela kamar dan melihat bahwa langit di luar gelap. Hal terakhir yang aku ingat adalah berada di kamar mandi lalu… keheningan… dan kegelapan yang manis. Seth.

Aku berdiri dan minum dari sebotol air yang terletak di lantai sebelah ranjang lalu melempar botol yang kemudian kosong itu ke pintu kloset. Aku menyalakan rokok dan menarik nafas panjang. Mengeluarkan asap yang membumbung ke kipas yang apatis itu. Mengapung dengan malasnya di atasku.

Menarik jaket lamaku, aku berjalan ke ruang tengah apartemen. Tempat itu ditinggali pula oleh teman sekamarku.

“Selamat sore, Tuan Putri.” Seth berbaring di ujung sofa, jari-jemarinya berterbangan di atas keyboard laptop yang terduduk di pangkuannya. Film indie yang membingungkan bermain di TV di hadapannya. Inilah kira-kira kehidupan yang Seth jalani tiap harinya dan bagaimana interaksiku dengannya sejak aku pindah kesini. 

Well, interaksi sadarku dengannya, yang pasti. Aku menarik lengan bajuku turun, secara tidak sadar menyembunyikan lenganku seakan itu akan membuat perbedaan yang berarti. Namun tentu saja tidak—Seth mengetahuinya.

Ia memperhatikanku melakukannya dan senyumannya mulai menghilang. “Aku menemukanmu pingsan di kamar mandi lagi.”

“Maaf,” ujarku, serak. Aku meraih Mountain Dew yang tinggal setengah yang sudah berada di konter lama sekali tak ada yang tahu sejak kapan.

“Kau sadar, kan, betapa sulitnya untukku menyeret seseorang sebesar 190 cm dari bak mandi lalu ke sepanjang lorong menuju ruangannya?”

“Lain kali tinggalkan saja aku disana, men.”

“Nggak mungkin. Kau bakal tersedak muntahanmu sendiri.”

Aku mengangkat bahu. Aku tahu bahwa kematian memang bersembunyi di antara masa depanku nanti. Tapi heroin memberikanku satu kenyamanan yang sulit kulepaskan: tidur tanpa mimpi. Dan aku akan mati sebelum aku menyerahkan hal itu. Lagipula, bila mimpi buruk datang pun aku akan membunuh diriku sendiri.

“Kau kedatangan beberapa tamu hari ini ketika kau pingsan. Dretti mampir.”

“Oh ya?”

“Yep. Meninggalkan lebih banyak lagi narkoba. Berkata kau perlu membayarnya kalau kau sudah punya uang. Kau tahu, dia benar-benar pengedar yang paling manis dan murah hati di seluruh Chicago.”

“Dimana itu?”

“Kau tertidur seperti bayi di bak jadi aku menyimpannya di sebelahmu,” kata Seth.

“Bagus.”

“Di dalam toilet.”

Dude.”

“Gini men, bila kau mati aku tak akan mendapat setengah bayar sewamu. Dan bila aku tak mendapt bayaran sewamu, aku harus mencari pekerjaan beneran. Hanya masalah bisnis, bukan personal.”

Tentu saja itu tidak benar. Seth dan aku bertemu pertama kalinya di masa-masa kelam kedua hidup kami dan berbagi semacam ikatan yang ditempa oleh keadaan-keadaan itu.

“Siapa yang lainnya?” tanyaku.

“Yang lain apa?”

“Tamu yang lain.”

“Ah—seorang gadis sebenarnya. Aku bilang kau sedang keluar. Kurasa kau lebih ingin aku memberitahunya itu daripada yang sebenarnya.”

“Apa dia mengatakan yang ingin ia sampaikan?” tanyaku.

“Tidak.”

Aku menyumpah. Itu tidak pernah bagus. Itu pasti hanya seorang gadis yang mampir untuk memohon narkoba gratis, yang tentu saja tak aku miliki karena Seth sudah membilasnya ke toilet. Dan aku tidak akan pernah membiarkannya menyentuh persediaan rahasiaku. Pasti begitu. Apalagi hal selain itu?

“Bagus. Seorang gadis yang mau ketemuan atau mau mampir untuk memberitahumu ia hamil.”

Seth mendengus. “Kau harap. Gadis ini lebih dari itu.”

“Benarkah? Tapi dia memang menanyakan tentangku, kan?”

“Benar. Tapi aku yang dapat nomornya.”

“Tidak mungkin.” Aku tertawa sembari berjalan menuju dapur dan mengambil salah satu dari tiga gelas di lemari.

“Oh, mungkin saja,” Seth mengangkat sebuah sobekan kertas putih. “Dia memberikannya padaku dan memintaku untuk meneleponnya bila kau sudah pulang.” Membuat sebuah tanda kutip di udara dengan dua kata terakhir.

“Ya, jangan. Aku nggak mau berurusan dengan—“

Ada sebuah ketukan di pintu. Aku memberi Seth pandangan melotot.

“Apa?” Ia mengangkat tangannya ke udara dan bangkit. “Dia cantik banget dan kau nggak bisa menghalangi cinta sejati.”

“Jangan dibuka,” aku memperingatinya ketika ia menuju pintu.

“Maaf, Sam, tapi kau tahu aku kan suka yang berambut merah.”

“Rambut merah?” Apa? Apa aku tahu seseorang yang berambut merah? Aku tak bisa mengingat siapapun di hidupku. Dan ketika Seth membuka pintunya dan memperlihatkan Kimber Destaro berdiri, tiba-tiba aku merasa ada air es yang ditumpahkan tepat ke jiwaku.

Aku mempelajarinya selama beberapa detik sebelum akhirnya matanya menemukanku bersandar di konter dapur. Ia masih cukup pendek namun rambutnya lebih panjang, hampir menutupi setengah punggungnya.

Dan ia, tentu saja, hampir sepuluh tahun lebih tua dari yang terakhir aku temui. Menatapnya setelah apa yang terjadi selama ini membuatku lumpuh secara harfiah. Aku harus berkonsentrasi cukup kuat untuk membuat kakiku tetap berada di atas lantai sementara lututku berbenturan satu sama lain.

Hanya menatap wajahnya saja membawaku kembali ke memori-memori yang menyakitkan yang seharusnya sudah terkubur. Ia seperti bayangan yang sudah lama mati—kembali untuk menyiksaku.

--

Reunian yang mematikan gituya😂

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BORRASCA V (NoSleep Indo Translation)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang