Senja begitu menghanyutkan. Di bawah bentang langit yang saling memadu warna, terpaan angin semilir meniup helayan rambut gadis pujaannya dengan lembut. Gibran tidak bisa menahan senyumnya sedari tadi. Saat seperti ini membuat hatinya bertambah yakin bahwa dia benar-benar tidak salah memilih.
"Kamu jangan mandangin aku kayak gitu," ucap gadis itu malu.
Rambut panjangnya menjuntai, dress floral selututnya dipadu dengan topi anyam pantainya membuat Gibran makin gemas. Dia selalu mengagumi gadis pujaannya. Sejak awal mereka bertemu, sejak manik cokelat pekat yang sekarang tersenyum menatapnya sembari sesekali mengalihkan pandangannya menikmati sunset di Pantai Sanur itu pertama kali terlihat olehnya. Gibran sudah tau, dia jatuh cinta dan ingin menjadikan gadis itu pendamping masa depannya.
Tangan mereka bertaut, terus dibarengi dengan senyum yang tak henti mengembang dari wajah Gibran yang berwibawa dan tampan. Lelaki itu menarik napasnya dalam. Semakin lama mereka di pantai ini, keindahan sunset akan berganti menjadi gelapnya malam. Hanya ada dua kemungkinan untuk malam ini, gelapnya malam akan disapa oleh senyum hangat dan pelukan atau harus lagi-lagi ditampar dengan dinginnya penolakkan.
"Jani," panggil Gibran dengan suara lembut.
Manik yang membuat lelaki itu cinta pada pertemuan pertama itu beralih. Matanya fokus menatap kekasihnya dan raut senang kini perlahan mulai memudar kala Gibran—lelaki yang sudah menemaninya sejak SMA itu— berlutut sambil mengadahkan cincin bermata berlian kecil yang sudah pernah gadis itu lihat sebelumnya. Tepatnya dua tahun lalu, saat sunset yang sama di Pantai Sanur. Bukan hanya itu, ia juga pernah melihat cincin itu lima tahun yang lalu di tempat yang sama dan di waktu yang sama pula.
"Mungkin ini bukan yang pertama kalinya aku mau mengajak kamu untuk serius dan kali ini aku benar-benar ingin menjadikan kamu satu-satunya pendamping hidup aku. Rinjani Tridiastri will you marry—"
"Gak," ucap Jani dingin dan tanpa diduga. Bahkan gadis itu tidak memberi Gibran kesempatan untuk menyelesaikan perkataannya. Gadis itu malah bergerak memberi jarak. "Aku gak mau Gibran, aku gak siap. Sampai kapan aku harus bilang sama kamu, aku gak akan siap. Hal-hal kayak gini bukan tujuan aku sekarang dan aku gak suka kamu ngelakuin hal kayak gini. "
Gibran menyerngit. Lelaki itu berdiri, hempasan angin dingin dan langit yang makin menggelap membuat kalut di hatinya makin meradang. "Hampir empat belas tahun kita kenal dan tiga belas tahun menjalin hubungan. Apalagi yang bikin kamu gak siap, Jani?"
"Semuanya." Jani terdiam, gadis itu memeluk tubuhnya yang semakin erat kala debur ombak berbunyi riuh bertabrakan bersama dinginnya angin malam. "Gibran kita baik-baik aja, jangan melalukan hal konyol kayak gini yang bisa bikin kita jadi gak baik nantinya. Udah, kalau aku siap aku bakal ngomong, tapi nan—"
"Nanti kapan, Jani?" Gibran sudah lupa dengan kalut di hati. Kini kecewanya berganti amarah. "Apa aku terlihat konyol mengajak kamu menikah? Apa lamaran ketiga, sesuai dengan apa yang sering kamu cita-citakan ini konyol di mata kamu?"
Rinjani terdiam. Hening menyapa mereka berdua dan belum sempat Gibran membuka suaranya lagi untuk meluapkan perasaannya. Gadis yang dia cinta itu tersenyum simpul.
"Aku gak bisa," ucap Jani sambil menggeleng pelan. "Kita sampai di sini aja."
"Tapi—"
Lelaki itu terpaku. Tiga belas tahun dalam hidupnya dihabiskan untuk memahami satu sama lain. Tiga kali percobaan lamaran sesuai dengan apa yang selalu gadisnya itu mimpi-mimpikan. Tiga kali sunset di Pantai Sanur, tiga kali gelapnya malam disapa dinginnya penolakkan, tapi baru satu kali ini yang berbeda.
Dinginnya penolakkan dibarengi dengan runtuhnya sebuah hubungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable You
Romance"Karena cinta bukanlah tentang siapa yang lebih dahulu datang, tapi tentang siapa yang mau bertahan bersama sampai akhir."