Dear Tinkerbelle

95 22 10
                                    

Aku berdiri, memandangi rumah pohon di atas sana. Peraduan yang cukup lama tak dikunjungi oleh tuannya.

Hawanya dingin, bahkan jaket hitam yang melapisi tubuhku mengalami disfungsi.

Aku menaiki tangga rumah ini, derap langkahku jelas dengan suara angin yang sayup terdengar.

Suara derekan pintu berbunyi, tertangkap jelas oleh amplitudoku.
Aku menyalakan lampu luar dan dalamnya, mengamati satu demi satu benda-benda di sini.

Memoriku menyajikan ingatan yang sama, letak benda yang jelas tak berpindah. Namun hebatnya, debu yang menempel tidak setebal benda di dalam rumah hantu yang kami kunjungi tempo dulu.

"Tuan?" 

Panggil seseorang tiba-tiba. Aku berdehem, berusaha menetralkan kinerja otakku.

Gadis itu bergerak memasuki rumah pohon ini. Membawa beberapa kayu kecil di tangannya.

'Pantas saja rumah ini masih terjaga.' Benakku.

"Tuan Peter? mengapa Anda disini?" Ia berjalan lalu meletakkan kayu-kayu itu di dekat tempat pembakaran.

Ia mengusap peluh di dahinya. Memasukkan satu per satu kayu-kayunya dan merogoh sesuatu di saku baju selututnya.

Ia kebingungan, meraba-raba sesuatu di sakunya. Lalu aku menawarkan sesuatu padanya.

Ia menoleh ke arahku dengan mulut yang sedikit terbuka.

Gadis itu mengambil korek api dari tanganku. Kemudian menyalakan api di tempat pembakaran.

"Jaga paru-parumu." Pelannya masih berjongkok.

"Aku sedang tidak merokok."  Balasku.

Aku ikut berjongkok di dekatnya, membetulkan letak kayu-kayu itu  agar mudah terbakar.

Tak berselang lama, kayu itu sudah terbakar dan cukup memberikan rasa hangat untuk kami.

Aku dan gadis itu duduk bersila, saling berhadapan.

"Aku rindu tempat ini." Ucapku.

"Kau punya masalah? dengan gadis itu?"

"Benar."

"Itu alasanmu kemari?"

"Benar."

"Bicarakan dengan kepala dingin. Aku lihat kemampuan mengontrol emosimu semakin baik." Nasehatnya.

Aku mengambil styrofoam di bawah meja, menusuk-nusuknya dengan sebatang korek api milikku.

"Seperti ini." Aku diam sejenak.

"Seperti styrofoam ini, gadis itu menusuknya berulang kali, sampai tidak ada tempat yang utuh lagi."

Gadis itu masih diam, kemudian aku melanjutkan, "lalu dimana lagi aku meletakkan gadis itu? sementara hatiku sama mirisnya seperti benda ini."

Aku membenci gadis buruk itu. Melebihi kebencianku terhadap diriku sendiri.

Bahkan aku meminta pada Tuhan untuk mencabut sendi kehidupannya, membawanya enyah sejauh aku tak mampu memandangnya.

Segaris senyum pun tak pantas ia dapatkan, sebab aku merasa alasan tersenyumku hilang begitu saja.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OO1 - Peores RecuerdosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang