Prolog

22 0 0
                                    



Prolog

Ana membelalakkan kedua matanya. Tidak percaya dengan objek yang sedang berdiri di hadapannya saat ini. Ia dapat melihat senyum sinis yang terukir di wajah pria tampan brengsek itu. Senyum sinisnya tidak membuat pria itu terlihat jelek sama sekali, bahkan sangat serasi dengan wajah dinginnya dan kedua bola mata cokelat terang yang kini tampak menyala menggambarkan kelicikan yang sedang dipikirkannya.

Brengsek!

Gadis itu sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah menemui pria itu lagi. Demi Tuhan, memikirkannya saja sudah membuatnya kesal. Membayangkan senyum sinis yang sepertinya sejak lahir memang sudah menyatu dengan sifatnya secara permanen saja membuat gadis itu bergidik ngeri. Dan saat ini, satu-satunya orang yang ingin ditemuinya di dunia ini sedang berdiri dihadapannya dengan wajah sok polosnya tanpa dosa. Seakan-akan ia memang sudah merencanakan pertemuan ini.

Pria itu berdeham untuk memecah keheningan yang tercipta selama beberapa menit setelah gadis itu masuk ke dalam apartemennya. "Halo, Ana. Kita bertemu lagi." Pria itu memamerkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi. Senyum yang tidak pernah gagal dalam memikat wanita manapun. Ya, wanita manapun kecuali Ana Muller.

Ana menarik napas dalam-dalam sebelum ia melangkah masuk ke dalam apartemen mewah tersebut. Ia mencoba bersikap profesional. Bahkan dengan klien yang paling rewel sekalipun, ia sanggup menahan diri. Ia pernah menghadapi calon mempelai wanita yang paling membuatnya kewalahan. Hampir setiap pagi buta meneleponnya hanya untuk berdiskusi mengenai rancangan gaun yang hampir setiap hari pun diubah. Ana Muller sudah sangat sering menghadapi berbagai jenis orang dengan keunikannya masing-masing, jadi seharusnya untuk menghadapi satu orang pria semacam ini pun tidak masalah baginya. Seharusnya begitu. Tapi entah kenapa perasaan Ana semakin tidak enak seiring dengan langkahnya yang semakin mendekat ke arah pria berbadan tinggi atletis yang sedang menatapnya lekat-lekat. Seolah-olah ia mampu menelanjanginya hanya dengan tatapan itu.

Ana mengulurkan tangannya dan berbicara dengan nada formal. "Selamat malam, Mr. Lee. Senang bertemu lagi dengan Anda."

Mendengar nama keluarganya disebut oleh gadis itu membuatnya mendelik heran. Air mukanya sekilas berubah bingung dengan perubahan sikap gadis itu sejak pertemuan terakhir mereka di Paris beberapa minggu yang lalu. Ia pun berdeham lagi dan memasang ekspresi dingin – namun licik – dan membalas uluran tangan gadis dihadapannya itu sambil berbicara dengan nada formal. "Please, have a sit." Pria itu menuntun tamunya ke arah ruang tengah di rumahnya yang megah.

Gadis itu mengikutinya dengan diam sambil tidak henti-hentinya merutuki kesialannya hari itu. Ya, bertemu dengan pria brengsek ini menurutnya adalah suatu kesialan yang sangat jarang terjadi padanya, mengingat beberapa hari terakhir ini ia merasa sedang sangat beruntung.

"Mau minum apa?"

"Tidak usah." Jawab Ana singkat.

Meski begitu, pria itu tetap berjalan ke arah pantry yang tidak terlalu jauh dari ruang tengah dan kembali dengan segelas air putih di tangan kanannya. Ia meletakkan gelas tersebut di atas meja dan duduk di hadapan gadis tersebut.

"Karena ini pertemuan pertama kita dan Anda belum pernah sama sekali menyebutkan model rancangan seperti apa yang Anda mau, Anda bisa mulai menjelaskannya kepada saya sekarang." Ana sengaja sedikit menekan pada kata terakhirnya. Mencegah agar pria itu tidak mengulur waktu dengan basa-basinya.

Untungnya, pria tersebut mengerti dengan maksud Ana dan mulai berdiskusi mengenai rancangan pakaian yang akan dikenakannya secara profesional. Tidak ada percakapan tambahan. Tidak ada sampai diskusi mereka berakhir dan Ana mulai mengemas buku sketsanya ke dalam tas.

"Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" suara berat khas pria itu terdengar sedikit asing di telinganya. Ana pun otomatis menghentikan kegiatannya dan melirik pria itu sekilas.

"Seperti yang Anda lihat sekarang, saya sudah sehat. Terima kasih untuk pertolongan Anda waktu itu. Kalau tidak ada Anda, mungkin saja saya akan berada di rumah sakit lebih lama dari yang seharusnya." Balas Ana masih dengan nada formal sambil memasukkan pensil terakhir ke dalam tasnya.

Pria itu mengangkat salah satu alisnya tanpa melepaskan tatapannya dari gadis tersebut. "Benarkah?"

Gadis itu melirik lagi pria di hadapannya. Ia merasa mulai tidak nyaman ditatap dengan cara seperti itu. Mungkin kalau yang menatapnya Alex Pettyfer ia akan merasa seperti melayang di udara sambil tersenyum malu dengan pipi semerah udang rebus. Tapi itu tidak mungkin, karena yang menatapnya sekarang adalah pria brengsek berwajah dingin dengan senyum sinisnya yang memuakkan.

"Ya, saya merasa sudah lebih sehat sek...."

"Benarkah kau merasa berterima kasih padaku?" suara berat dan mata menyala dari pria itu tiba-tiba membuatnya gugup.

Ana menatap pria itu dengan bingung.

"Y-Ya.."

Sial!

"Let say, kau memang benar-benar merasa harus berterima kasih padaku.."

"Saya tidak merasa benar-benar harus berterima kasih, but thanks." Balasnya dingin.

"Kau bisa mulai dengan..." lanjut pria itu tanpa memperdulikan perubahan air muka lawan bicaranya.

"Tidak." Desis gadis itu.

"Menjadi calon istriku."

Saat itu juga Ana bersumpah ia melihat senyum Danny Lee dengan mata menyala penuh arti.     

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 21, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mariage ImprévuWhere stories live. Discover now