Aku harus cepat pulang, kalau tidak bisa bisa aku akan ketinggalan bus terakhir. Aku merindukan kasurku, dan kamarku yang nyaman.
Ah, nyamannya hidup sendirian tanpa harus menyenangkan hati orang lain. Cukup menjadi diri sendiri dan aku sudah bahagia.Batin Lova sembari mengunci pintu depan toko rotinya.
Tidak biasanya Lova pulang selarut ini, kalau tidak karena salah satu pramusaji di tokonya tidak hadir karena sakit, Lova pasti sudah sampai di apartemennya, menonton drama keluaran terbaru atau menulis resep roti; dua hal yang paling Lova sukai ketika sedang punya waktu senggang.Seusai memastikan bahwa pintu toko terkunci dengan baik, dengan tergesa Lova membalikkan tubuhnya dan malah menemukan sesosok lelaki disana.
Lova tak bisa menahan kebingungannya.
Siapa orang ini?
Laki-laki dihadapannya tersenyum kaku dan mengulurkan tangan.
"Kaivan" ujarnya, seperti bisa membaca pikiran Lova
Lova tetap bengong.
Malam sudah cukup larut dan Lova mulai bertanya-tanya apakah ia berhalusinasi; diajak berkenalan oleh seorang laki-laki pada waktu yang tidak lazim ini.Hingga syaraf-syaraf otak Lova mulai kembali berfungsi. Lova ingat siapa lelaki gondrong didepannya yang mengajaknya berkenalan.
Ia adalah salah satu pelanggan yang mengatakan hal manis padanya sore tadi.
Lova tidak ingat secara pasti apa yang ia katakan, namun sepertinya lelaki itu mengucapkan kata-kata semacam "ingin berbicara lebih dekat"-atau sebagainya."L-lova" sambut Lova takut-takut sambil mengulurkan tangan membalas salam dari Kaivan.
***
Sudah 2 minggu sejak pertemuan pertama mereka dan pembicaraan hanya sebatas pembicaraan singkat ketika Kaivan memesan sesuatu di kasir, atau ketika Lova mengantarkan pesanan milik Kaivan ke mejanya.
"Jadi kamu bisa bermain semua alat musik?"
Lova membuka pembicaraan sambil meletakkan pesanan Kaivan diatas meja, ketika ia melihat Kaivan tidak lagi menggendong gitar tetapi membawa pianika."Secara teknis, tidak semuanya. Aku hanya bisa bermain gitar, piano, harmonika, cajoon, seruling, drum dan pianika" jawab Kaivan sambil nyengir.
"Ah, itu sama saja " dengus Lova kesal.
Kaivan tertawa mendengar kekesalan di nada Lova.
"Aku lihat di tokomu ada pi- "
"Bagaimana kalau kau- "
Tanpa sengaja Kaivan dan Lova mengucapkan sesuatu secara bersamaan.
"Kau duluan"
Lagi-lagi bersamaan. Pipi Lova terasa panas."Hahaha, oke kalau begitu aku duluan. Aku lihat di tokomu ada piano, apakah bisa digunakan?"
Ketika Kaivan tertawa, entah kenapa Lova merasakan ratusan kupu-kupu terbang di perutnya.
Lova mendadak gagap tak bisa bicara.
"Lova?"
Kaivan menyadarkan Lova dari kegugupannya."Ha? Oh, ya, piano itu bisa dipakai tapi tidak ada satupun dari aku, ataupun karyawanku yang bisa memainkan piano dengan cukup handal. Aku pun tidak punya uang berlebih untuk menyewa seorang pianis untuk main di toko roti kecilku. Jadi..ya, aku biarkan saja disitu, menjadi pajangan. Berharap piano tersebut tidak akan cepat usang."
"Kalau begitu izinkan aku menjadi pemusik di tokomu".
Kaivan selalu berhasil mengejutkan Lova.
***
Sudah seminggu Kaivan tampil bernyanyi dan bermain gitar di toko kue miliknya, tandanya sudah sebulan ia dan Kaivan saling kenal. Meskipun tak ada perkembangan yang cukup berarti dalam perjumpaan mereka.
Hingga akhirnya ia rasa tidak ada salahnya untuk mengenal Kaivan lebih jauh.
Lova pun menghampiri Kaivan yang sedang merapikan barang-barangnya tanda bersiap untuk pulang.
"Kaivan?"
tegurnya, membuat Kaivan menoleh dan tersenyum.
"Mimpi apa aku semalam sampai wanita cantik ini mengajakku mengobrol".
canda Kaivan yang membuat pipi Lova (lagi-lagi) bersemu merah.
Mulai berkembang nih kisah Lova dan Kaivan☺️ Stay tuned ya temen-temen, ikutin terus ceritanya dan jangan lupa comment juga vote❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Titipan Nada
General Fiction"There are things that better left unsaid, so I let these melodies said it to you".