Prolog

53 10 1
                                    

Aku ini bukan penyuka sesuatu yang berlebihan. Aku tak suka keluar rumah dan bertemu banyak orang. Aku lebih suka menyendiri di dalam kamar, bukan hanya sekedar membaca buku dan mendengarkan musik, hampir setiap harinya handphone tak pernah terlepas dari genggamanku, kecuali mandi.

Tapi untuk kali ini aku hanya ingin menenggelamkan wajah di bantal. Bahkan rasanya aku ingin menghilang dari dunia ini sejenak. Untuk pertama kalinya diusia ku yang menginjak angka dua puluh, aku meragukan keputusanku. Maaf, bukan meragukan, tapi menyesali. Aku justru bingung dengan apa mauku sebenarnya. Aku ini kenapa, aku ini maunya apa, aku ini lagi apa sebenarnya? Kenapa sepertinya ragaku selalu pergi jauh namun hatiku tak pernah ikut kemanapun aku pergi. Aku ini kenapa?

Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Bukannya mencoba memejam, yang terjadi hanyalah aku sibuk memaki diri, tak mensyukuri segala yang sudah berlalu. Karena ya, cerita ini memang sudah seharusnya seperti ini. Aku sudah melihatnya sejak awal membuat keputusan, lagi-lagi aku hanya terlarut menjalani peran dari yang mencoba pura-pura berlari, hingga lari betulan, untuk kemudian jatuh. Bodohnya, teman yang ku ajak lari untuk menemani perjalanan ini, dia pun sama sepertiku, bermain peran. Hanya, dia begitu beruntung, rumahnya tidak kemana-kemana, rumahnya tetap miliknya, kepunyaannya, yang selalu setia menanti ia pulang berlari. Yang selalu menjadi tempat kembali dan beristirahat.

Sedangkan aku?
Kau boleh tertawa, tapi rumahku sudah diisi oleh orang lain. Ia menawarkan harga lebih mahal dari kepunyaanku. Dia membayarnya dengan janji, janji menetap dan janji tak akan lari. Sedangkan hobiku? Yak. Kau benar, hobiku lari, pergi, kadang kembali, kadang tak ingin berhenti berlari. Sampai aku kemudian menyadari, sepi dan ditinggal sendiri.

TerbenturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang