Bab I

154 19 6
                                    

Satu tahun sudah kami saling mengenal. Dalam satu tahun itu pula kami bersama. Perkenalan yang berujung kepedihan, itu menurutku. Awal pertemuan seakan terasa manis, namun lama-kelamaan rasa manis itu pudar seiring berjalannya waktu, lagi-lagi itu menurutku.

Kami bertemu, dalam sebuah pertemuan tak sengaja. Dia menabrakku, aku terjatuh dengan tumpukan berkas tugas yang kubawa. Klise. Seperti dalam film. Lalu dia membantuku berdiri dan membantuku mengambil berkas tugasku. Kemudian kami banyak mengobrol, berbicara ini-itu semaunya. Kami akrab dalam sekejab. Mulutnya yang selalu berkata manis mampu membuatku terbuai. Hari demi hari, kulalui bersamanya. Hingga akhirnya, aku terikat dengannya. Cowok tinggi kurus dengan kacamata yang selalu melekat di wajahnya, membuatku jatuh sedalam-dalamnya.

Namun kini, terasa berbeda. Dia berubah, menjadi lebih kasar, lebih emosional dan sering hilang kabar. Tak semanis saat pertama kali bertemu. Tak semenyenangkan awal-awal bertemu.

Entah kali ke berapa, aku menunggunya. Menunggu dia datang menjemputku, layaknya pasangan lainnya. Setidaknya kembali seperti dulu lagi. Namun hingga kini, dia belum datang. Terhitung dua jam aku duduk termangu di depan hp, sambil sesekali mengecek apa ada balasan dari pesan singkatku.

Memangku dagu dengan tangan kananku, aku kembali menatap jalanan depan kafe yang sedang aku singgahi ini. Berharap motornya telah sampai di depan kafe. Dan yah ... Tak lama, dia datang. Masuk dengan langkah terburu-buru, kemudian duduk di depanku secara kasar.

"Ayo pulang! Lagi buru-buru," katanya ketus. Tak ada raut bersahabat dari wajahnya.

"Tunggu dulu bentar. Aku pesenin minum dulu. Akhir-akhir ini, kita jarang quality time bareng." Aku menyentuh tangannya dengan lembut. Namun apa yang kudapat? Tolakan kasar dari tangannya. Dia benar-benar berubah.

"Ya udah cepetan! Aku buru-buru." Dia berkata ketus lagi. Entah apa salahku hingga dia bisa demikian. Apa karena memintanya datang ke sini menjemputku? Entahlah.

Aku tersenyum simpul sembari memanggil pelayanan, kemudian memesan minuman yang sama dengan minuman yang kuminum saat ini. Kualihkan mataku, menatap mata berbingkai kacamata di depanku ini.

"Ke mana aja sih? Aku nunggu lama banget lho."

"Lagi sibuk. Enggak bisa diganggu." Dia menatap hpnya lama, kemudian tersenyum, entah karena apa.

Tak lama, dia bangkit berdiri. Sambil tersenyum lebar. Lihat! Dia bahkan tidak meminta ijinku jika ada orang lain yang meneleponnya. Tidak seperti awal kita berhubungan. Benar-benar berbeda.

Kuaduk minumanku dengan emosi tinggi. Benar-benar kesal mengapa aku bisa terbelenggu dalam kebersamaan yang terasa seperti neraka ini. Ingin melepaskan namun hati masih meragu.

Dia kembali dengan senyum lebih kecil dari yang tadi. Baru pamit ke toilet dengan meninggalkan ponselnya di dekatku. Katanya, titip hp, mau ke toilet. Aku mengangguk saja.

Sebenarnya aku ragu dan bingung tentu saja. Bingung mengapa dia berubah dan ragu jika dia mendua. Dia seperti telah bosan dalam hubungan ini, namun tetap berusaha mempertahankan. Sama seperti aku.

Kuberanikan diri, mengambil ponselnya. Membuka aplikasi chatting, berharap menemukan jawaban di sana. Kepalaku menoleh ke arah toilet, berharap dia lama di dalam sana. Lalu kembali menatap ponselnya. Aplikasi chattingnya tidak terkunci, dan yah ... Obrolannya terpampang jelas di sana. Aku membuka obrolannya dengan nama Mhyta. Aku tahu dia mantannya dan berharap tak ada hubungan lebih antara dia dengan Mhyta.

Mataku menyapu tiap kata yang terpampang dalam obrolan itu. Hati rasanya remuk. Hubungan itu ada. Ketakutanku jelas nyata. Dia mendua, dengan seseorang dari masa lalunya. Tak lama dia datang, menghampiriku dengan terburu kemudian mengambil ponselnya yang masih berada di tanganku.

"Sialan," desisnya marah.

"Oh... Jadi dia, yang buat kamu sibuk?" Berusaha kuat, memberanikan diri aku tatap matanya.

"Bukan. Dia cuma temen kok. Iya, cuma temen," katanya terbelit-belit. Mengaku saja susah bagi orang yang ketahuan bersalah, aku tahu itu.

"Temen tapi mesra kan, maksud kamu. Seharusnya kamu bilang kalau kamu udah enggak nyaman. Enggak dengan kayak gini caranya. Mungkin itu yang membuat kamu berubah, aku terima. Tapi maaf, aku enggak bisa lanjutin hubungan ini. Kita putus."

Sedih memang, tapi aku bisa apa? Tak mau berlama-lama dengannya, kuputuskan untuk pergi. Dari hadapannya maupun dari hidupnya. Kuambil tas serta ponselku, lalu berlari sejauh-jauhnya. Tak peduli dia memanggil namaku dan aku telah membuat keributan di sana. Membiarkan dia membayar apa yang seharusnya kubayar.

Dan akhirnya perpisahan ini terjadi. Aku tahu dalam sebuah pertemuan pasti akan terjadi perpisahan. Walaupun dengan cara yang buruk, seperti ini. Hatiku telah memilih untuk pergi. Dan aku mengijinkannya. Tak tahu lagi harus bagaimana, kubiarkan rasa ini pergi seiring benci yang timbul lalu mengakar di hati. Kebersamaan yang terasa seperti neraka ini, telah usai sudah. Kini, aku hanya perlu menyiapkan diri dan hati, agar mantap menjalani lembar yang baru, di kemudian hari.

***

Awal saya menulis, saat kelas lima sd sampai sekarang. Saya masih merasa banyak kesalahan dalam karya-karya yang saya buat dan saya merasa belum menjadi penulis yang baik, meskipun karya saya banyak mendapat apresiasi dari para pembaca. Motivasi saya, dalam audisi ini selain mencari ilmu adalah saya ingin menjadi penulis yang baik, penulis yang tau aturan dan etika, juga penulis yang menguasai ilmu kepenulisan, tentu saja. Selain itu, saya juga berkeinginan menjadi editor novel/majalah. Dengan bergabung dalam grup kepenulisan WWG, mungkin saya bisa menjadi apa yang saya inginkan.

Sekian dan terima kasih.

primamutiara_

260418

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perpisahan IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang