Dusk Till Dawn

62 4 0
                                    




Senja di musim gugur, dedaunan rapuh yang menari-nari di sepanjang jalan, hembusan angin yang perlahan menusuk namun terlalu mampu menenangkan jiwa, lalu apalagi ?, saat senja. Saat senja mentari perlahan mulai merunduk. Menurunkan sedikit harga diri dan ambisinya untuk sejenak mengalah kepada gulita. Jingga di kala senja, warna itu, jingga itu terlalu mudah untuk terpapar di benaknya.

Ia, si pemuda bersurai coklat. Sedang berdamai dengan batinnya. Duduk bersila di sudut ruangan yang tak beralas. Sesekali alisnya berkerut dan kepalanya sedikit menoleh ke kiri, seperti sedang mencoba untuk mencari sesuatu. Sesuatu yang pernah hilang dan berusaha untuk perlahan-lahan membuat reka adegan dikepalanya. Tidak, ia bukan melupakannya. Ia terlalu mampu untuk mencoba menghafal setiap detik jarum yang berdetak di jantungnya. Terlalu mudah untuk bersahabat dengan memori lampau dan mulai mengajaknya duduk berdampingan. Namun, terlalu naif, terlalu pengecut bahkan hanya untuk sekedar memintanya sedikit bercerita.

Ini sudah detik ke milyaran untuk mengetahui bahwa dirinya masih bercengkrama dengan ambang batasnya. Dan itu bukanlah solusi yang tepat untuk mengusir teman yang satunya lagi, si tuan pembosan. Bukan, ini bukan waktu yang tepat untuk memberikan waktu sedikit lebih banyak untuk menarik segaris sudut di bibirnya. Ini bukan lagi waktu yang tepat.

Suara pintu berdecit membuat si pemuda tersentak. Sedikit mengernyit mendapari silauan cahaya yang mengenai kedua maniknya. Silau sekali, seperti mentari terik di siang hari. Tentu benar, matahari nya telah datang. Lantas wajar saja, ia suka kilaunya. Sekali lagi, matahari nya telah datang, membawa sedikit kehangatan untuk gulitanya yang suram.

"Hyung, aku datang".

Pemuda itu, pemuda bersurai sekelam malam menyunggingkan seulas senyuman menenangkan. Berjelan pasti mendekat kearah si pemuda satunya lagi yang tak bergerak barang seinci pun. Hanya sudut bibirnya saja yang bergerak membentuk sudut yang lancip.

"Taetae Hyung, kau baik-baik saja ?, kau terlihat pucat ?". Usapan lembut ia rasakan di kening nya. Taehyung, si pemuda suram memejamkan matanya. Namun masih dengan sudut bibir yang menukik. Ia terpejam, merasakan sensasi terbakar ketika kedua tangan halus dan mungil itu membingkai wajahnya. Rasanya hangat dan sedikit panas, terlalu mampu membakar jiwanya hingga menjadi kehitaman.

"aku lelah sekali karena berlari untuk bisa menemui mu. Rasanya kedua kaki ku seperti ingin patah. Namun tidak benar-benar patah. Dan setelah peluh ku seperti ini, aku hanya mendapatimu tersenyum idiot tanpa sepatah kata pun untuk menjawabku. Kau bahkan belakangan ini tidak mengucapkan kalimat itu".

Taehyung, kali ini sedikit bergeser untuk memberi ruang yang cukup untuk belahan jiwanya duduk tepat dipangkuannya. Ia mendekap erat mahkluk bertubuh subur dan berulang kali memberikan ciuman kupu-kupu di pelipis dan bahu pemuda yang sedari tadi mengerucutkan bibirnya. Ia sedang merajuk dan Kim Taehyung sudah cukup hafal dengan segala tingkah takdirnya ini.

"aku mencintaimu Jeon".

Satu kalimat dan pemuda yang disebut Jeon berbalik dan menatap tajam kepada si pelaku.

"namaku, Bunny Kooky, bukan Jeon. Ah, aku salah. Nama ku Kim Jungkook jika kau lupa, TUAN KIM !. Aku benci ketika Hyung memanggilku seperti itu. Seolah kau menegaskan bahwa kita memiliki cukup jarak".

"maafkan aku".

Pemuda Jeon menunduk. Tak berani membalas tatapan dalam dari kekasih hatinya.

"apakah sakit ?".

Jungkook, menatap lelakinya. Begitu banyak kalimat yang dapat menjawab pertanyaan barusan. Sakit ?, tentu saja.

"kau bilang kakimu seperti ingin patah, apakah sakit ?".

DUSK TILL DOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang