Rana

15 0 0
                                    

***

"Cinta itu kayak oksigen. Kamu boleh sok-sok an gak butuh, padahal kamu sadar gak akan bisa hidup tanpa dia."

Cewek berambut lebih sepundak itu menutup novel yang dibacanya. Ia mendengus, dengan berat hati menyetujui kutipan tersebut. Cewek itu kemudian berdiri dan buru-buru melangkah ke kelasnya, satu menit lagi istirahat akan berakhir. Bisa bahaya kalau ia terlambat, pasalnya setelah istirahat usai, Sejarah telah menunggunya.

"Wan, fotoin kita dong. Percuma lo nenteng kamera kalo cuma motoin rumput doang. Buruan sini."

Cewek itu menoleh. Bukan karena namanya dipanggil, tetapi karena sipemilik nama yang tak asing baginya. Cowok berkacamata yang merupakan sipemilik nama, berlari kecil kearah sekumpulan anggota basket yang baru selesai latihan.

Dia Awan. Meskipun bukan seleb sekolah, namun namanya cukup diperhitungkan. Awan merupakan anggota klub fotografi yang acap kali terlihat membawa kamera. Cowok yang menginjak kelas 11 itu tidak terlalu ramah, lebih sering menyendiri malah.

Kringgg......

Cewek itu masih mengamati Awan, meskipun bel masuk sudah berbunyi nyaring.

"Rana lo ngapain disini?" sebuah suara membuatnya tersentak. Rana-cewek itu- tersenyum kikuk pada Fela.

"eh lo bukannya abis ini sama Pak Pandi ya? Tadi gue liat bapaknya mau naik keatas. Gak takut kena ceramah?"

Astaga, Rana sampai lupa! Tanpa mengucap kata ia segera berlari menyusuri koridor yang mulai sepi.

Awan itu anugerah sekaligus bencana. Buat Rana tentunya.

***

"Kirana Mentari, dari mana saja kamu?"

Rana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, memang susah jika berurusan dengan Pak Pandi. Telat dua menit, disemprotnya hampir 15 menit. Bencana buat Rana, keajaiban buat teman kelasnya. Jika Pak Pandi sudah mengeluarkan kata mutiaranya, minimal dibutuhkan waktu 10 menit atau paling lama satu jam pelajaran.

"Emm,, saya dari toilet pak." Rana berbohong.

Pak Pandi menggelengkan kepala, "apa nggak cukup waktu istirahat 20 menit buat kamu ke toilet?"

"Bukannya gitu pak tapi..."

Pak Pandi memotong pembicaraannya.

"Ah sudah, banyak alasan kamu! Sebagai hukumannya, kamu antar kertas ulangan ini ke 11 Ipa 1. Nggak ada tapi tapian."

Rana menerima setumpuk kertas, lebih baik ia mengantar ini daripada mendengar Pak Pandi berceloteh.

Butuh melewati 3 kelas untuk sampai ke kelas tersebut. 11 Ipa 1 terletak diujung kiri.

Koridor sangat sepi, yang terdengar hanya teriakan siswa lain yang sedang olahraga dilapangan. Rana mempercepat langkah yang awalnya sangat pelan. Namun beberapa langkah sebelum ia sampai dikelas itu, Rana malah tercekat. Kakinya terpaku ditempat.

Mampus, ini kan kelasnya Awan!!!

***

Kelas 11 Ipa 1 benar-benar ribut. Pintunya tertutup namun gelak tawa sangat terdengar sampai keluar. Sudah sangat jelas jika gurunya belum masuk, atau memang tidak datang? Apapun itu, Rana berharap ia bisa masuk secepatnya kemudian keluar sesegera mungkin. Masalahnya selain karena  ada Awan, Rana tidak terlalu mengenal siswa kelas ini.

Rana berdiri didepan pintu dengan tangan yang ragu ingin mengetuk. Ia hirup oksigen kuat-kuat, bukannya berhenti, degup jantungnya malah makin cepat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 02, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Awan di Langit RanaWhere stories live. Discover now