I Wish... | 2

151 11 0
                                    

"Mungkin aku hanya... muak."

.

.

.

Misako tertunduk lunglai. Merapatkan paha dan betis dalam balutan mantel hangat, sedang kedua tangan berpangku di atasnya. Suara Nishijima membaur bersama suara-suara lain dalam irama One More Tomorrow. Misako bisa saja menonton dari monitor yang disediakan kru jika ia mau. Tapi ia tidak melakukannya. Ia hanya membiarkan ruangan itu dipenuhi suara-suara yang akrab di telinganya. Dengan begitu ia tahu bahwa ia berada di tempat yang tepat.

Suara-suara itu membuatnya nyaman.

"Tak bisakah aku jadi satu-satunya orang yang spesial untukmu, Unochan?"

Misako mengangkat kepala. Sekilas ia mendengar suara Chiaki. Ia memutar tubuh, tertegun. Di atas kursi-kursi kosong itu, ia melihat sosok mungil duduk. Memori percakapan dengan gadis pemilik puppy eyes pecah dan mulai mengacaukan pikirannya. Di ruang ganti mereka biasa menghabiskan waktu dengan percakapan feminim yang kadang diselipi sesi curhat singkat.

"Habisnya, saat mereka melakukan hal yang sama padamu, kita tidak tahu itu bagian dari fanservis atau memiliki arti khusus."

Misako ingat ekspresi itu. Wajah manyun menggemaskan Chiaki acapkali memergoki 'pria itu' mengedip genit pada fans.

Chiaki, kau cemburu.

"Unochan tidak, ya?"

Misako mendongak. Wajahnya serasa terbakar. Bahkan kini, kala ia mengilas balik.

"Pada siapa? Nishijima?"

Itu adalah satu dari sekian pertanyaan Chiaki yang tak pernah dijawabnya. Misako hanya berkedik ambigu. Ia jarang membicarakan dirinya dan selalu menghindari percakapan yang menyangkut-pautkan perasaannya akan sesuatu.

"Terlepas dari perasaan suka, saat berada di panggung, kita adalah milik publik. Setiap orang berhak mengidolakan siapapun dan akan mendapatkan feedback sebagai gantinya. Karena itulah tugas kita sebagai publik figur." -itu yang pernah ia katakan pada Chiaki.

Kini Misako berpikir alangkah baiknya bila ia dulu lebih terbuka mengenai perasaannya. Ia sungguh rindu ngobrol berdua dengan Chiaki dan bagaimana bebalnya gadis itu mengorek informasi lebih darinya. Tetes demi tetes air mata membasahi punggung tangannya yang menggigil segera setelah kenangan-kenangan bergerak pamit.

----------

Gemuruh tepuk tangan meledak di antara ribuan penonton yang hadir saat sosok kurus berbalut onepiece merah menyala melenggang ke tengah panggung. Ia berhenti, menyusuri tribun dengan visualnya.

Ia merasa kosong. Mati. Dalam hati menjerit, berharap seseorang mendengarnya.

Di belakang panggung, Naoya mengetuk-ngetuk sepatu cemas. Waktu seolah berhenti. Lampu-lampu menyorot pada dia yang menjadi pusat perhatian. Denting piano mengalun lambat-lambat. Menghadap kamera, Misako membuka mulutnya dan mulai menyanyi.

Shinjiro menegakkan duduknya.

Ini bukan Jewel, bisiknya.

Ada sesuatu yang tidak beres. Ia menutup mata, mencoba bersikap setenang mungkin dengan berpikir positif. Hidaka beranjak. Bertemu mata dengan Shin, bibirnya mengulum kalimat yang sama.

A piece of my word?!

Adalah judul yang sedang dinyanyikan Misako.

Pada layar panggung, foto-foto momen MisaChia ditampilkan. Kala keduanya berduet dan pemotretan untuk salah satu album. Kala keduanya berbisik, tertawa-tawa dan malu-malu di depan kamera. Sontak hal tersebut mengundang derai haru fans. Terutama saat Misako menyanyikan bagian Chiaki, arena mendadak dibanjiri air mata.

Lagu TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang