Namaku Gea Anastasya. Biasa dipanggil Gea atau Tasya. Aku lahir di keluarga yang berkecukupan, ayahku bekerja sebagai arsitek dan ibuku dengan hobinya men-design pakaian. Aku juga memiliki kakak laki-laki yang menurutku super duper rajin. Sebagai anak ke dua aku merasa biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa dan tidak diistimewakan. Kehidupanku pun bisa dibilang biasa saja dan sedikit membosankan. Tidur, bangun pagi, mandi, berangkat sekolah, pulang dan kembali tidur. Setiap hari siklus itu terus berjalan dari awal sampai akhir kembali ke awal dan seterusnya. Bisa di bilang sangat monoton dan membosankan, bukan.
Ngomong-ngomong tentang membosankan, lebih membosankan lagi di kelasku, IPA 1. Kelasku itu penuh dengan anak-anak yang pintar-pintar dan membosankan. Di sudut kelas yang berbeda terlihat siswa-siswi dengan buku, buku dan buku. Apa mereka tidak ingin melihat dunia luar dan terpaku pada buku. Aku merasakan mereka terus belajar dan belajar untuk mencapai nilai tertinggi. Jadi, bisa dikatakan kelasku penuh dengan siswa-siswi yang ambisius dan saling bersaing dalam bidang akademik. Tetapi, itu dulu sebelum aku mengajukan untuk pindah ke IPS. Guru wali kelasku dengan mempertimbangkan beberapa hal akhirnya menyetujuinya dan memindahkanku ke IPS 3.
Tepat hari ini aku akan memulai hidupku sebagai anak IPS. Seperti biasanya, aku berangkat sekolah dibonceng kakakku karena kita satu sekolahan. Dia kelas tiga dan aku kelas dua. Dia IPA 1 dan aku IPS 3. Alasan lain aku memutuskan pindah ke IPS adalah aku tidak mau mengikuti Ayah, Ibu, dan juga kakakku. Mereka semua berlatar belakang pendidikan dari IPA dan aku anaknya anti-mainstream. Silahkan tertawakan aku sepuasnya karena aku pun pernah menertawakan diriku sendiri pada saat aku memasuki kelas yang dijuluki kelas paling buangan, IPS 3. Berbagai pertanyaan muncul di benakku entah sebagai penyesalan atau keputus asaan.
Pertama masuk kelas itu, satu hal yang aku lakukan adalah menghela nafas. Beberapa anak laki-laki berkumpul di pojok belakang kelas, mata mereka tertuju ke layar ponsel yang sama dan ada yang bersiul. Anak perempuan sedang mengobrol dan beberapa dari mereka ada yang duduk di atas meja. Ada juga beberapa pasangan yang sedang mengumbar kemesraan mereka. Pandanganku terus meneliti ruang kelas sampai aku menemukan seorang anak laki-laki yang fokus dengan ponselnya dan earphone di telinganya. Dia duduk di pojok kiri belakang kelas dengan kedua tangan yang ditekuk di dadanya.
Kegiatanku terhenti saat seorang guru wanita menepuk pundakku dan menyuruhku untuk lebih masuk ke dalam kelas. Aku berdiri di depan kelas dengan guru wanita itu di sampingku. Para siswa-siswi menghentikan aktivitas mereka dan duduk di kursi mereka dengan malas. Para anak laki-laki menampilkan raut wajah yang penasaran denganku, kecuali laki-laki yang duduk di pojok kiri belakang kelas. Dia masih asik dengan ponselnya walaupun earphone telah terlepas dari telinganya.
"Silahkan perkenalkan dirimu," ucap guru wanita itu, yang ku ketahui bernama Bu Sinta. Aku membalasnya dengan anggukan sebelum ku kembalikan kepalaku menghadap ke depan.
"Namaku Gea," Mungkin ada yang familier dengan wajahku tetapi tidak dengan namaku karena selama ini aku bukan siswi yang populer sampai mereka semua mengenalku.
"Hai Gea," ucap mereka semua dengan suara yang malas dan ada pun yang mengejek. Tidak hanya itu beberapa anak laki-laki yang tadi berkumpul di pojokan membalas dengan suara menggoda. Aku sedikit bergidik ngeri dengan senyum miring yang ditunjukan mereka.
Hanya nama yang ku ucapkan karena aku rasa mereka pasti sudah tahu akan ada seorang siswi yang masuk ke kelas mereka dari kelas sebelah. Beberapa detik berikutnya seisi kelas sibuk dengan kesibukan mereka tidak menghiraukan aku. Berisik. Satu hal yang ku tahu sampai Bu Sinta menyuruhku duduk dan menganggukan kepala padaku, antara kasihan padaku atau berusaha menguatkanku. Aku membalasnya dengan ikut mengangguk tanda mengerti dan mengiyakan.
Aku berjalan menuju ke bangku yang ditunjukan Bu Sinta, tepatnya kursi ke empat barisan kedua dari kiri. Di sana sudah terduduk siswi berwajah dan bertubuh mungil. Aku kira umurnya lebih muda dariku dilihat dari paras dan senyum manis yang mengembang di bibirnya.
"Hai Gea, aku Riri," oh namanya Riri, cocok dengan orangnya.
"Hai," aku membalas secukupnya.
"Silahkan duduk," ucap Riri seraya membersihkan kursi yang akan menjadi kursiku. Aku menerimanya dengan menduduki kursi itu.
"Semoga kamu betah ya di sini, anak-anak orangnya baik-baik kok sebenarnya," ucap Riri, "Oh ya, kenapa kamu dipindahin ke kelas ini? kamu bukan anak yang bermasalahkan?" lanjutnya dengan pertanyaan beruntun. Aku hanya membalas dengan gelengan atas pertanyaanya yang terakhir. Satu hal baru yang ku tahu, Riri anaknya cerewet.
Selanjutnya, perhatian kami tertuju ke Bu Sinta yang mengajar pelajaran Sosiologi di depan kelas, masa bodoh dengan anak-anak lain yang kelihatannya asik dengan dunianya sendiri. Dua jam berakhir dan digantikan dengan dua jam pelajaran matematika.
Tak terasa dua jam berkutat dengan soal-soal matematika akhirnya jam istirahat pun tiba. Siswa-siswi mengeluari kelas dengan berbondong-bondong. Tinggallah aku dan Riri yang sedang merapikan buku serta alat tulis. Beberapa saat aku sadar ternyata tidak hanya aku dan Riri saja, tetapi ada lima siswa yang sedang mengumpul di pojok kiri belakang kelas. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.
"Yuk, ke kantin Ge," ajak Riri dengan semangat.
"Ayo," balasku tidak melihatnya, tetapi masih melihat sekumpulan laki-laki yang tidak jauh dari kami berdua. Pandanganku berlangsung lama sampai ada salah satu dari mereka yang menghampiri kami, tepatnya menghampiri Riri, terlihat dari laki-laki itu yang merangkul pundak Riri dari belakang.
"Hai Rin, kekantin yuk," ucapnya pada Riri seraya mendorong Riri untuk berjalan mengeluari kelas. Riri terlihat menolak terlihat dari gesturnya, mungkin dia tidak enak kepadaku karena dia telah mengajakku duluan.
Aku melihat punggung mereka sampai hilang dalam penglihatanku. AKu putuskan untuk menyusul mereka, tetapi niatku ku urungkan setelah melihat ketiga laki-laki yang tersisa berjalan terlebih dahulu keluar kelas. Aku alihkan atensiku ke samping tepat ke tempat mereka tadi kumpul. Terlihat seorang siswa yang menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Kedua tangannya ditekuk di depan dada dan matanya tertutup serta earphone menggumpal Indra pendengarannya.
'Apakah dia tertidur? Bagaimana bisa ia tidur dengan posisi yang sepertinya kurang nyaman,' benakku penuh dengan pertanyaan.
Tetapi, kemudian aku tersadar dan menggelengkan kepalaku. 'Kenapa aku peduli?' . Aku putuskan untuk menuntaskan niatku untuk menyusul Riri ke kantin.