Hari ini suasana kelas XI IPA 1 gaduh seperti pasar ayam. Ada yang berkokok. Ada juga yang kukuruyuk. Tahu apa yang mereka lakukan? Lomba menulis, yaitu menyalin tugas atau PR yang seminggu kemarin disuruh Guru Fisika untuk dikerjakan di rumah. Tetapi kenyataannya mereka mengerjakannya di kelas. Kenapa? Karena gurunya killer! Kalau tidak dikerjakan maka nilai nol ditangan dan penggaris melayang.
Tanpa harus berpusing ria menghitung rumusnya mereka menulis jawaban yang sama persis dengan tulisan yang akan disalin. Entah itu benar atau tidak, yang penting bila ditanya 'have you finished?' jawabnya, 'yes, i have!' Jadi di kelas semuanya adalah siswa pintar alias pintar mencontek.
"Eh, Fani pinjem dulu sih! Gue belum selesai nyalin nihh"
"Gue juga Fan"
"Mana sih gue juga pengen nyalin?!"
"Gantian dong wuii, gue juga mau ngerjain!"
Melihat tingkah teman-teman sekelasnya safani hanya mengangguk saja sambil tersenyum, harus rela berbagi demi persahabatan. Padahal mereka tidak akan pintar dengan kopi dan pasta alias copas.
"Diemmmm...., semuanya..!"
Tiba-tiba Rio, si big boy menghardik seisi kelas. Semua siswa menoleh kepadanya. Lalu hening sejenak. "Bawa sini bukunya kihhh, gue juga pengen nyalin!"Sontak saja dia dihadiahi sorakan. "Huhh, dasar kingkong, nggak taunya sama aja kaya kita kitong, hahaa.."
"Huuu, big boy, badannya aja yang gede"
"Ish, iya loh ganggu aja, ngantri wuiii, ambil nomor sana kih kong!"
"Hahaha, big boy yang malang, kacian dehhh"
Roy hanya nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya. Kemudian menyerobot siswa yang lain untuk berebut contekan.
"Hem, hemmm!" Suara deheman seseorang membuat para siswa berlari ke tempat duduk masing-masing, kecuali si big boy rio yang masih asik menulis dengan posisi badan membelakangi papan tulis.
"Rio, ada Pak Tomy" Bisikan salah satu temannya tak digubrisnya. "Apa sihh lo, gue belum selesai ni.."
Dua tepukan di bahunya ditepis. Kemudian tiga tepukan di bahunya lagi ditepisnya juga. Sekarang telinganya terasa dipelintir. " Sudah selesai nulisnya Rio" Suara itu seketika membuat jantungnya pindah ke perut.
Lalu dia menoleh ke sumber suara, dan terkesiap. "Ehh, Bapak!" Deretan giginya terpampang di hadapan sang guru killer. "Emmm, udah kog Pak, udah selesai!" Dia sedikit meringis karena telinganya dijewer.
"Siapa lagi yang mencontek, hayo cung!" Pak Tomy menatap satu persatu wajah siswanya. "Mau jadi apa kalian, kalau saban hari cuma menyalin tugas seperti ini, heh!" Semuanya diam tak bersuara, menunduk karena telah terciduk.
"Kalian kalau males belajar, nggak mau usaha sendiri, nggak tekun dan ulet gimana bisa maju?!" Mata Pak Tomy membulat.
'Plakk!' Suara benturan penggaris dan meja begitu lantang memekakkan telinga. Beneran killer kan ini pak guru.
Tetapi sepertinya kata-kata yang di dengar oleh mereka itu masuk telinga kanan lalu keluar ke telinga kiri. "Apa kalian nggak mau ngebahagiain orang tua dengan nilai yang bagus dari usaha sendiri, heh!"
Sebenarnya yang mengena di hati itu adalah suara pukulan penggaris kayu Pak Tomy pada meja salah satu siswa. Mereka membayangkan bagaimana jadinya pukulan itu melayang pada tangan atau bokong mereka.
Kalau nasehat dan petuahnya lewat bagai angin lalu. Panjang kali lebar Pak Tomy memberi ceramah, tetapi beliau hanya diacuhkan dengan wajah yang terpaksa menunduk. Ada yang komat kamit tidak jelas saat sang guru berjalan membelakangi para siswa.
"Denger nggak kalian apa yang saya bilang!" Suara lantang Pak Tomy dan kerasnya pukulan penggaris di meja, lagi mengagetkan para siswa. "Oke, sekarang salin tulisan kalian itu dua puluh kali lagi. Waktu kalian sampai jam pulang sekolah!"
Dengan tatapan menohok Pak Tomy memperhatikan buku yang disalin oleh mereka. Jelas terpampang di bagian depan sampulnya bertuliskan nama sang pemilik buku. Mata Pak Tomy tertuju pada salah satu siswa perempuan. "Safani, kamu tau kesalahanmu apa?"Safani kaget bukan main. "Sekarang kamu berdiri di depan kelas. Nanti jam istirahat temui saya di ruang guru!"
Setelah itu, Pak Tomy berlalu meninggalkan kelas bersama wajah sangarnya.
Suasana kelas pun kembali riuh dengan kicauan para siswanya."Maafin kita ya Fan!" Salah satu teman Safani menghampiri dan meminta maaf mewakili teman yang lain. "Iya Fan, maafin kita orang y, lo jadi kena hukuman juga," sambung yang lainnya.
"Iya, nggak apa-apa kog!" Safani memberi senyuman. Dia tahu bahwa kesalahannya adalah karena sangat menyayangi teman-temannya.
Jadilah Safani patung hidup yang berdiri di depan kelas sampai bel istirahat berbunyi. Pun teman-temannya juga menjalankan hukuman, semua sibuk menyalin jawaban karena waktu mereka hanya sampai jam sekolah berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Itu Aku
Teen FictionHati yang memiliki perasaan cinta pasti bahagia kan? Namun bagaimana jika perasaan cinta itu hanya dipendam? Apakah hati masih bisa tersenyum dalam diam saat menahan semua luka dan berpura-pura. Itulah yang dirasakan Jammy Alfin Narendra, si ketua o...