"Mimpi ada untuk membuat hidupmu lebih berwarna."
***
Terkadang banyak hal yang terjadi dalam hidup tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Terkadang kita banyak meminta dan menuntut tanpa mau melakukan kewajiban dengan taat. Manusiawi namanya jika memiliki sifat egois. Namun tak selamanya kita harus menatap sedih, bangkit dan percayalah bahwa Tuhan tak pernah memberi ujian di luar batas kemampuan hambahnya. Karena garis takdir tahu kemana hidup akan membawa kita, hingga 'tak selamanya' itupun akan datang dan membawa kita kembali pada-Nya.
Seorang anak perempuan tengah duduk di bangku taman belakang sekolah. SMA Permata Bangsa memiliki dua taman sekolah, satu berada di halaman depan dan satu berada di halaman belakang. Taman bagian depan tampak sejuk dan indah, biasanya siswa yang berkunjung ke taman depan hanya untuk berbincang-bincang atau sekedar berfoto saja. Sedangkan taman bagian belakang tampak gersang karena kurangnya perhatian pihak sekolah, hal inilah yang menyebabkan tak ada siswa yang berniat untuk berkunjung ke sana kecuali untuk siswa-siswa nakal yang menggunakan akses taman belakang sekolah untuk membolos.
Perempuan berambut sebahu itu tampak serius, ia sedang mengerjakan tugas yang gurunya berikan tempo hari. Karena perpustakaan yang ramai oleh anak kelas tiga. Membuat perempuan itu memutuskan untuk belajar di taman belakang sekolah saja.
Kondisi yang sepi membuatnya lebih fokus mengerjakan tugas sekolah. Anak perempuan itu paham, bahwa saat jam istirahat tempat-tempat seperti kantin, kelas dan taman bagian depan akan dipenuhi oleh siswa-siswa sekolahnya.
Sesekali ia menghela nafas karena tugas sekolah yang cukup menyita pikirannya.
Perempuan itu selesai mengerjakan tugasnya dan bermaksud ingin kembali ke kelasnya. Namun tiba-tiba saja ada yang membentur lengan kirinya sehingga ia ikut terjatuh. Seketika matanya terbelalak karena buku-bukunya hampir saja terjatuh di atas dedaunan yang basah.
Anak perempuan itu menghela nafas setidaknya masih ada yang terselamatkan.
"Lo apa-apaan? Mau sok jadi pahlawan," ucap laki-laki yang membentur lengannya.
Kinan bangkit dengan menahan sakit di lengannya. "Lo tuh yang salah. Kenapa malah nyalahin orang. Gue yang seharusnya marah sama lo. Kenapa lo bisa jatuh dari atas sana?"
"Salah lo lah, kenapa juga di bawah sana." Ia masih bersih keras tak mau disalahkan.
"Kok gue sih, ya lo lah. Sekarang gue tanya, kenapa lo manjat pohon segala? Mau kabur kan lo?"
Usut punya usut, Kinan tak sembarangan menanyakan hal itu. Karena sudah banyak kasus di sekolahnya yang terjadi, bahwa sebanyak 20% siswa di sekolah ini selalu kabur lewat pagar belakang sekolah.
"Gue anak disiplin, yang sakit saja masih tetap masuk sekolah. Gue anak pintar, yang nggak dengan mudahnya mau bolos sekolah. Jadi jangan asal bicara."
Bukan Kinan namanya jika nggak berhenti bertanya sampai sang pelaku mengaku apa kesalahannya. "Terus tujuan lo manjat pohon apa? Pasti mau ngintip kan lo? Secara itu pohon menghadap ke arah toilet perempuan."
Tanpa senyuman. Tanpa keramahan, bahkan kerendahan hati untuk sekedar meminta maaf, laki-laki itu justru meninggalkan Kinan. "Terserah lo mau bilang apa. Gue nggak perlu menjelaskan apapun sama lo. Dan gue nggak mau minta maaf. Permisi." Dan dengan sengaja ia melangkahkan kaki hingga menginjak buku Kinan yang tergeletak di bawah sana. "Jangan lupa buat ulang tugas lo."
"What?" Kinan menatap arah kepergian laki-laki itu. Tak menyangka bahwa ada orang pintar yang mengaku dirinya pintar dan sesombong itu. Jika memang dia pintar, tentu seharusnya laki-laki itu tahu tentang tata cara dalam berbicara, bertindak juga mengakui kesalahan.
***
Sakit tubuh mungkin membekas, namun sakit hati jauh lebih menganga dan sulit terobati. Pujian tak selamanya membahagiakan, karena terkadang pujian adalah senjata ampuh yang mematikan. Pujian membuatnya lelah, membuatnya tak bisa menjadi dirinya sendiri, dan membuat laki-laki itu harus terus berada dalam dunia kepalsuan.
Dalam dunia kepalsuan ia hidup. Dan cara agar ia dapat bertahan adalah menyembunyikan apa yang terjadi dalam dirinya.
Raka mengobati telapak tanganya yang terluka. Kebiasaan melukai tubuh sejak setahun terakhir membuatnya kebal rasa. Dalam kondisi tertentu, ia akan merasa marah dan sulit mengontrol dirinya, maka melukai adalah pilihan agar dirinya dapat merasa tenang.
Setiap kali emosinya memuncak ia akan pergi ke belakang sekolah, naik ke atas pohon dan menumpahkan semua resahnya di sana. Mencakar dan menyayat lengan tangannya berulang kali di tempat yang sama, sehingga luka yang belum mengering kembali terbuka. Jika merasa belum cukup puas, ia akan menggunakan jari-jari tangannya untuk memukul batang pohon hingga ruas jari-jarinya mengeluarkan darah.
Tak ada yang mengetahui itu, karena ia sangat pandai menyembunyikan lukanya dengan lengan baju panjang yang ia gunakan.
Karena alasan itu Raka meninggalkan perempuan tadi tanpa membantu mengambilkan buku-buku yang terjatuh karena ulahnya. Jika tidak cepat-cepat berlalu, perempuan itu bisa saja menyadari ruas jari-jari Raka yang kini berdarah. Ia juga sengaja menginjak buku perempuan itu. Raka menyadari bahwa tindakannya sungguh keterlaluan. Namun semua pilihan, memilih untuk tetap berada dalam sandiwara atau perlahan hidup dalam sebuah kenyataan pahit.
Sebab Raka menyadari tak ada siapapun yang mampu menerima dirinya. Tak akan ada lagi yang membangga-banggakannya. Jika suatu saat mereka tahu, bahwa Raka hanya sebuah pecundang yang berdiri karena rasa simpati.
---
Berani percaya diri itu wajib!
Terima kasih buat siapa saja yang telah membaca cerita ini, semoga suka 💙
Dan terima kasih pula bagi yang memberikan vote juga komentar ❤❤
.
05.01.2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Bluesky
Teen Fiction--beberapa part di unpublish-- (Sudah Terbit) Raka. Laki-laki sempurna. Ia tampan. Memiliki hati yang baik juga ramah. Ia kaya. Memiliki keluarga yang utuh. Pemenang olimpiade dimana-mana. Memiliki IQ yang tinggi. Bahkan ia pemegang juara umum selam...