Bagian cerita tak berjudul

50 3 0
                                    

Namaku Alice, aku bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat. Umumnya mereka menyebut keistimewaanku ini dengan nama indra keenam. Tepatnya satu tahun yang lalu, setelah aku mengalami kecelakaan mobil bersama Markus, Sahabatku. Dua minggu setelah kecelakaan itu, aku baru membuka mataku kembali. Awalnya semua nampak buram namun perlahan-lahan semua mulai terlihat jelas. Disebelah kanan tempatku berbaring sekarang, kedua orang tuaku menatapku dengan tatapan lega dan bahagia hingga menitihkan air mata. Bunda langsung memeluk dan mencium keningku yang langsung basah karena tetesan air matanya. Sedangkan Ayahku langsung melesat keluar untuk memanggilkan dokter. Kemudian, aku menoleh ke arah kiri dan melihat Markus yang berdiri tidak jauh dari alat bantu pernapasan dan selang infus yang berada didekatku.
"Markus." ucapku lirih yang kemudian langsung disambut oleh senyumannya yang hangat dan usapan ringan dirambutku.
Seminggu kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang karena kondisiku yang sudah stabil. Aku sangat senang karena akhirnya aku bisa segera meninggalkan rumah sakit ini. Jujur saja, aku tidak pernah menyukai rumah sakit karena bagiku tempat itu sangat mengerikan. Di dalam kamar, Markus membantu membereskan barang-barangku dan langsung memasukkannya ke dalam tas besar berwarna hitam.
"Selesai!" ucapnya seraya tersenyum lebar padaku.
Setelah itu, ia mengusap rambutku sambil menatapku penuh arti. Dia menghela napas dan menghembuskannya dengan berat.
"Alice, aku bena-benar minta maaf karena tidak bisa ikut mengantarmu pulang ke rumah." ucapnya dengan raut sedih.
"Yahh, memangnya kenapa ?" tanyaku padanya.
"Hari ini, aku harus pergi ke Australia untuk mengurus program beasiswa yang kuambil di sana." Jelasnya.
"Terus kapan kamu pulang?"
"Mungkin sekitar dua bulan lagi tapi sepertinya kita akan sulit untuk berkomunikasi karena jadwalku yang sangat padat di sana." jawabnya dengan raut penuh penyesalan.
"Aku pasti akan sangat kesepian di sini." terangku yang disambut pelukan erat darinya selama beberapa detik. Kemudian, Ayah dan Bunda masuk ke dalam kamar dan langsung mengajakku pulang ke rumah.
Seminggu setelah aku masuk sekolah, aku merasakan ada yang aneh. Teman-temanku perlahan-lahan mulai menjauhiku. Setiap kali aku lewat, entah itu di kantin, perpustakaan atau bahkan di toilet sekalipun. Mereka selalu menatapku dengan aneh dan berbisik-bisik membicarakanku dari belakang. Sebenarnya hal itu sedikit menggangguku tetapi aku mencoba untuk tidak terlalu memperdulikannya.
Di hari minggu yang cerah ini, aku benar-benar merasa kesepian. Ayah dan Bunda sedang berada di luar kota. Alhasil, aku hanya berdua saja dengan Bi Ina, ART yang bekerja di rumahku. Aku sedang berbaring dikasur merah maroon yang sangat nyaman seperti marshmello sembari mendekap boneka panda raksaksa yang diberikan Markus sebagai hadiah ulang tahunku yang kedua belas tahun. Tiba-tiba, bel rumahku berbunyi beberapa kali dan aku segera berlari menuju ambang pintu. Aku terkejut saat melihat sosok yang sangat familiar berada di depan pintu rumahku. Pria itu bertubuh jakung dan berkulit kuning langsat. Matanya yang berwarna cokelat serta hidungnya yang bak prosotan TK menambah daya tariknya. Ya dia Markus. Tanpa sadar aku meloncat kegirangan kerena ternyata dia pulang lebih cepat dari yang dia katakan. Sekarang, dia sedang berdiri sambil tersenyum lebar padaku dan aku pun langsung berlari memeluknya. Buru-buru aku menyeretnya masuk ke dalam rumah dan menceritakan semua yang terjadi padaku belakangan ini serta mengatakan bahwa aku sangat merasa kesepian tanpanya di sini.
Selama Ayah dan Bunda pergi ke luar kota. Markus selalu menemaniku seperti yang biasa dia lakukan. Seperti hari ini, dia membantuku mengerjakan tugas sekolah.
"Markus, kamu kapan balik lagi ke Australia ?" tanyaku padanya.
"Nanti setelah semua urusanku di sini beres. Aku akan segera pergi." Jelasnya
"Memangnya kamu ada urusan apa sih ?"
"Rahasia dong, nanti kamu juga tahu sendiri." ucapnya sambil menyentil keningku.
Bel sekolah berbunyi tepat saat aku berdiri diambang pintu kelasku. Aku pun langsung bergegas menuju tempat dudukku yang berada di barisan depan. Kelasku yang awalnya riuh bak pasar pun perlahan mulai sunyi. Disusul dengan Bu Wati, guru sejarah yang masuk ke dalam kelas. Namun kali ini Bu Wati tidak sendiri, ada seorang gadis berparas cantik yang dari wajahnya terlihat jelas bahwa dia memiliki darah campuran atau blasteran sama sepertiku. Gadis itu mengikuti Bu Wati masuk ke dalam kelas seperti ekor.
"Anak-anak hari ini kita kedatangan murid baru dari bandung. Ayo silahkan perkenalkan diri kamu!" perintah Bu Wati pada gadis yang berada di sebelahnya.
"Perkenalkan nama saya Lucyana Holmes. Kalian bisa memanggil saya Lucy. Salam kenal." jelasnya.
"Salam kenal Lucy!" teriak teman-temanku disertai sumringah jail dari siswa laki-laki.
"Sudah cukup anak-anak! Sekarang kita akan memulai pelajarannya. Ayo keluarkan buku paket kalian!" perintah Bu Wati
"Lucy kamu bisa duduk disebelah Alice." tambah Bu Wati sambil menunjuk kearah bangku kosong disebelahku.
Bel pulang sekolah pun berbunyi. Para murid yang lain pun mulai ricuh dan berhamburan keluar kelas. Sedangkan di dalam kelas, aku masih sibuk membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tasku begitu pula dengan Lucy. Setalah itu, kami berdiri dan bergegas meninggalkan kelas menuju gerbang sekolah.
Keesokan harinya, aku pergi ke toko buku untuk mencari buku sejarah yang ditunjukkan oleh Bu Wati kemarin. Sesampainya di toko buku, aku langsung menoleh ke kanan dan kiri mencari buku tersebut. Saat aku berjalan menuju kasir, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku dari belakang.
"Alice." Sapa seseorang di belakangku.
Aku lalu menoleh dan melihat Lucy berada tepat dibelakangku bersama seorang pria bertubuh tinggi. Aku mengamati dengan seksama pria yang berdiri disamping Lucy tersebut. Dia sangat tampan. Perpaduan wajah blasterannya itu mirip dengan Lucy. Ditambah dengan brewok tipis dan badannya yang proposional. Jika Lucy memiliki kulit yang seputih susu berbeda dengan pria disebelahnya yang justru memiliki kulit yang sangat eksotis seperti karamel. Pria itu bernama Nathan, kakak Lucy. Nathan benar-benar pria yang sangat ramah dan dewasa. Sifatnya itu mengingatkanku pada sosok Markus.
Aku turun dari mobil fortuner hitam milik Nathan. Di depan teras rumah, samar-samar kumelihat Markus sedang duduk dan menatap kearahku. Aku berjalan menghampirinya dan menariknya masuk ke dalam rumah. Aku lalu menceritakan pertemuanku dengan Nathan pada Markus sambil menggebu-gebu. Markus hanya mendengarkan ceritaku dengan seksama sambil tersenyum.
Malamnya aku tidak bisa tidur. Sayup-sayup aku mendengarkan suara dari luar jendela kamarku. Awalnya aku mencoba untuk berusaha tidur tapi lama kelamaan suara itu semakin keras terdengar. Akhirnya aku memberanikan diri membuka gorden jendela kamarku sebesar bola pingpong. Seketika, mukaku pucat pasih. Aku melihat sesosok wanita berambut panjang sedang bergelantungan di pohon seberang rumah. Wajahnya yang pucat dan rusak penuh dengan bercak darah. Gaun putihnya yang lusuh penuh dengan noda. Dia tersenyum menatapku. Tubuhku seketika membeku selama beberapa menit sampai akhirnya aku melompat ke kasur dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.
Beberapa hari berikutnya aku terus melihat sosok-sosok astral di sekitarku. Aku benar-benar ketakutan hingga membuatku demam selama tiga hari. Bagaimana tidak, setiap kali aku melihat "mereka" aku selalu tidak bisa melupakan apa yang kulihat. Mulai dari muka rata, muka yang hancur hingga beberapa bagian tubuh yang tidak ada. Semua itu diperlengkap dengan darah yang menghiasi seluruh tubuh mereka. Namun, perlahan lahan aku sudah mulai terbiasa dan mencoba untuk tenang. Semua ini berkat bantuan Markus dan Lucy. Markus bilang padaku bahwa aku bisa melihat apa yang orang biasa tidak bisa lihat setelah kecelakaan tersebut. Dia juga bilang bahwa kemampuanku ini adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang harus kusyukuri. Sedangkan Lucy ternyata juga memiliki kemampuan yang sama seperti yang kumiliki. Dia juga mengajariku untuk bagaimana membiasakan diri dengan mereka. Dia juga berkata bahwa sebenarnya dia mendengar gosip tentang diriku yang suka berbicara sendiri dari teman-teman yang lain. Awalnya dia tidak percaya namun setelah dia melihat secara langsung saat aku sedang berbicara dengan seorang siswi di lorong sekolah yang ternyata adalah hantu. Tetapi dia tidak ingin memberitahukannya padaku karena ingin menunggu waktu yang tepat. Menurutnya, aku belum bisa membedakan mana yang manusia asli dan yang bukan karena mereka bisa berwujud seperti manusia biasa dan tidak menyeramkan sama sekali. Kini, aku mengerti alasan kenapa semua orang menjauhiku.
Tepat di hari ini, aku genap berusia tujuh belas tahun. Aku hanya merayakannya secara sedehana dengan makan bersama orang-orang terdekatku. Seperti Bunda, Ayah, Markus, Lucy dan Nathan. Aku juga mengundang kedua orang tua Markus karena aku memang sudah mengenal mereka sejak aku kecil. Beberapa jam kemudian, semua orang telah berkumpul di meja makan panjang yang terletak tidak jauh dari kolam renang sebuah restoran ternama. Aku sengaja memesan tempat di sini karena pemandangannya yang indah. Lampion-lampion kecil yang menghiasi sekitar meja makan serta bintang-bintang di langit yang bertaburan memancarkan cahayanya. Semua telah berkumpul kecuali Markus dan keluarganya. Aku pun menunggu sambil menghadap kearah pintu masuk. Dari kejauhan nampak dua orang berjalan menuju kerahku. Mereka orang tua Markus. Namun, aku tak melihat keberadaan Markus di sekitar mereka.
"Tante Markus dimana ? apa dia masih memarkirkan mobil?" tanyaku pada Tante Susan, Ibu Markus.
Mendengarkan pertanyaanku mereka hanya terdiam dan saling berpandangan. Tante Susan lalu menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang yang dibungkus kertas kado berwarna merah dan dihiasi pita berwarna hitam.
"Markus sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari untukmu tapi sayang sekarang dia tidak bisa menyerahkannya secara langsung kepadamu, Alice." ucap Tante Susan lirih yang membuatku bingung.
"Markus udah kembali ke Australia ya tante ? kok dia kemarin gak bilang apa-apa sama aku ya ?"
Tiba-tiba Bunda yang berada di dekatku memelukku dan mengelus pundakku dengan lembut sambil berkata dengan nada yang pelan dan penuh kesedihan. Dia mengatakan bahwa Markus sebenarnya sudah meninggal karena kecelakaan yang kami alami. Dia meninggal tepat sehari sebelum aku siuman karena keadaannya yang kritis pasca operasi yang dia jalani. Bunda juga tidak berani memberitahuku karena takut setelah siuman kondisiku akan semakin memburuk kerana itulah Bunda merahasiakan semuanya dariku. Aku terkejut dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Bunda. Lalu, Lucy yang berada didekat Bunda mendekat dan mencoba menjelaskan padaku bahwa dia sudah mengetahui jika Markus sebenarnya sudah meninggal. Tetapi Markus meminta Lucy untuk merahasiakannya dariku sampai waktu yang benar-benar tepat. Dia juga mengatakan pada Lucy jika dia belum bisa beristirahat dengan tenang karena urusannya yang belum selesai di sini. Dia akan benar-benar pergi jika dia sudah yakin bahwa aku tidak akan kesepian setelah kepergiannya. Mendengar semua itu, air mataku langsung mengalir deras dan membanjiri kedua pipiku. Aku masih tidak percaya bahwa Markus telah benar-benar tiada.
Keesokan harinya, aku terbangun dari tidurku. Mataku nampak sembab karena menangis semalaman memikirkan semua yang terjadi. Aku lalu memandangi bingkai foto yang berada digenggamanku dan kalung berliontinkan dua cincin yang menyatuh. Kalung itu adalah hadiah terakhir yang di berikan Markus kepadaku. Semalaman aku menangis sambil mendekap bingkai foto tersebut hingga tertidur. Di foto itu, nampak Markus sedang tersenyum lebar sambil merangkulku begitu pula denganku. Aku mengusap foto Markus sambil mengingat mimpiku tadi malam. Di dalam mimpiku, Markus berpesan padaku bahwa aku harus tetap bahagia walaupun tanpa kehadirannya. Dia juga bilang bahwa aku tidak akan kesepian lagi setelah dia pergi karena ada Lucy dan Nathan yang sekarang berada di sisiku. Menurutnya, Lucy dan Nathan benar-benar orang yang tulus menyayangiku dan dia juga yakin bahwa mereka bisa menjagaku dengan baik. Dia juga meminta agar aku selalu menjaga diriku dan jangan terlalu lama larut dalam kesedihan. Setelah mengatakan semua itu, dia lalu tersenyum manis kepadaku dan menghilang. Air mataku pun seketika jatuh membasahi bingkai foto yang berada dipangkuanku. Dalam hati aku pun berjanji akan berusaha untuk selalu bahagia setelah kepergiannya.

Dia Yang Tak TerlihatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang