Cinta itu Melemahkan?

23 2 0
                                    

     Perihal cinta. Banyak yang berkata bahwa cinta itu indah. Tapi tidak bagiku, meskipun aku tak pernah merasakan cinta, aku melihat orang lain merasakannya. Ibu ku contohnya, kata cinta menguasai seseorang entah itu orang kecil ataupun besar kuasanya. Atas nama cinta ibu bertahan tinggal bertahun-tahun bersama ayah. Hampir setiap hari terkena amarah ayah hanya karena hal sepele saja bisa seperti itu, contohnya bumbu dalam masakan kurang pas. Padahal saat aku memakannya enak-enak saja tidak ada yang kurang kesedapannya. Aku muak dengan perilaku ayah yang  semena-mena itu. Pernah aku melawan tapi ibu selalu menghentikan. Aduh bu, bagaimana dulu bisa bersama ayah?

     Sore hari sepulang sekolah dan ayah masih bekerja dikantor, aku memulai obrolan dengan ibu yang sedang sibuk memasak didapur.

“Bagaimana ibu masih bisa bertahan mencintai ayah, padahal sering kali dibuat begini?”

“Begini bagaimana?”

“Memasak untuknya susah payah tapi sedikitpun tak dihargai.”

“Dengan cinta ibu bisa bertahan sampai sekarang, lagipula ini juga kewajiban ibu sebagai seorang istri.”

“Cinta membuat ibu seperti ini.”

“Bukan begitu nak.”

     Lalu aku meninggalkan ibu dengan wajah kesal. Ibu melanjutkan pekerjaannya itu. Aku tak habis pikir kenapa ibu masih saja begini, diam saja. Berulang kali ku katakan agar bicara kepada ayah perihal ini.

Tok! Tok! Tok!

“Assalamualaikum.” Ayah mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

“Waalaikumsallam.” Ibu menjawab ayah dan dengan cepat segera membukakan pintu, seakan takut amarah ayah meledak karena terlalu lama membukakan pintu.

     Ayah baru saja pulang dari kantornya. Seperti biasa ibu menyambut ayah dengan senyum indah dan mengambil tas ayah kemudian memberikan segelas air putih. Sudah jamnya untuk makan malam. Semua berkumpul diruang makan menikmati masakan ibu tadi. Awalnya semua baik-baik saja dan ayah tidak berkomentar jelek perihal makanan hari ini. Ibu bertanya kepada ayah bagaimana masakan yang sudah dibuat tadi, apakah ayah menyukainya. Ternyata sama saja, hanya hari ini ayah berkomentar jelek perihal masakan ibu diakhir makan malam.

“Bagaimana mas? Enak?”

“Sama seperti biasa. Ada saja yang kurang.”

“Maaf mas, masakan berikutnya aku usahakan tidak ada yang kurang.” Ibu merasa kecewa karena masakannya tidak pernah dihargain oleh ayah tapi tidak pernah putus asa untuk membuat masakannya dihargai.
“Aduh! Sudah diam! Percuma kau berkata seperti itu.” Dengan nada keras ayah membentak ibu.

“Masakan pas gini dibilang ada yang kurang.” Aku menyela ayah dan memutar bola mata.

“Kenapa? Ada masalah?” Ayah menoleh ke arahku dan menjawab perkataanku baru saja.

“Tentu saja yah, aku sudah muak dengan perlakuan ayah terhadap ibu. Sadarlah ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik tapi sia, ayah tak menghargai sama sekali.”

“Setidaknya aku mau memakannya.”

“Ternyata seperti ini akibat dari mencintai seseorang.”

“Apa maksudmu?”

“Rela berbuat apa saja. Terlihat seperti budak. Dikendalikan. Akan ku pastikan aku tidak akan mencintai seseorang.”

“Jangan begitu nak, kau harus bisa mencintai seseorang baru kau bisa menikah.” Ibu terlihat gelisah saat aku berkata seperti itu.

“Menikah? Aku tidak mau hal ini terjadi padaku juga.”

“Kau harus menikah!” Ayah langsung membentakku dan menyuruh agar aku mau menikah nanti.

“Aku baru akan mau menikah jika aku mendapat keuntungan yang besar dan dia tidak akan pernah bisa mengendalikanku tapi aku yang mengendalikannya.” Aku mengajukan persyaratan didepan mereka. Saat aku mengajukan persyaratan itu aku melihat wajah ayah berubah, seakan-akan menyesali perbuatannya selama ini.

“Maafkan ayahmu nak. Ayah tidak mau kau menjadi seperti itu. Ayah sebenarnya mencintai ibumu hanya saja ayah ada masalah dan ayah tidak bisa mengendalikan amarah akhirnya ibumu yang jadi sasaran.” Ayah meminta maaf kepadaku dan menyesali semua perbuatannya. Akhirnya ayah sadar akan semuanya. Apa harus aku seperti ini dulu baru ayah akan sadar. Sebenarnya aku tidak ingin membentak ayah ataupun memojokkannya. Tapi keadaan membuatku seperti ini.

“Sudah sadar yah? Lalu?” Aku bertanya seakan aku ingin sekali tahu apa yang akan ayah lakukan kedepannya setelah menyadari perihal ini.

“Ayah akan mencoba mengendalikan amarah ayah dan menunjukkan rasa cinta ayah ke ibumu.” Ayah menjawab pertanyaanku dan jawaban itu yang aku tunggu sejak lama.

“Baiklah memang itu yang ku mau. Kalian saling mencintai bukan hanya salah satunya saja.”

“Terima kasih nak.”

     Sekarang kehidupan keluargaku lebih indah dan damai, aku juga berani untuk mencintai seseorang karena aku sadar cinta membawa kekuatan untuk bertahan. Saat sebuah keluarga tidak harmonis itu karena salah satunya tidak berbagi cerita dan langsung melampiaskan amarah tanpa melihat siapa yang ada didepannya.

Cinta itu Melemahkan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang