Prolog

4 0 0
                                    


“Dek, kamu kenapa  diam saja dari tadi? Jangan kacangin kakak.” Ambar menegur adik laki-lakinya Janu. Bocah kelas 2 SD itu sama sekali tidak mau menjawab pertanyaanya.

“Dek!” seru Ambar lagi. Janu tetap tertunduk di atas buku bergambar gorila miliknya.

“Kakak beri sempak beracun nih.… nih ....” Ambar mengambil sempak Janu yang berada di keranjang cucian bersih yang belum ibunyanya lipat. Mengusapkannya pada wajah Janu yang langsung memeberontak. Awalnya dia tertawa melihat perlawanan adik kecilnya, namun berganti heran ketika isak tangis muncul dari saudaranya.

Apalagi, ketika tatapan mereka bertemu, Janu memandangnya …. ngeri?

Ambar melepas Janu, bocah itu meringkuk gemetar di sampingnya. “Dek, kamu kenapa?” Ambar mencoba menggapai Janu, namun adiknya menghindar. Ambar jadi khawatir. Lalu pandangannya bertalih pada celana merah yang Janu kenakan, “Dek, kamu ngompol?”

“Kamu apakan adikmu, Ambar?” Sinta, ibu Ambar datang membawa sekeranjang lagi cucian yang perlu dilipat.

“Dek  Janu sepertinya sakit, Ma. Dia sampai ngompol.”

Sinta melihat Janu yang meringkuk dengan celana basah. Isak tangis semakin kencang dari putra bungsunya. Diletakkannya keranjang cucian. Terlupakan sudah rencana melipat baju dengan menonton drama kesukaannya. Tangannya terjulur, memeriksa dahi anaknya.

“Badan Janu panas. Mama ambil termometer dulu.”

Ambar menatap adiknya cemas. Tidak biasanya Janu seperti ini. 

Bunyi suara motor terdengar berhenti di depan rumahnya. Ambar tahu siapa yang datang. Dia memang ada janji dengan Adi, kekasihnya.

“Masuk saja, Kak Adi. Tidak dikunci,” teriak Ambar begitu pintu rumah diketuk. Dia tidak ingin meninggalkan adiknya sebelum ibunya datang.

“Nak Adi sudah datang?” Ibu Ambar kembali dari arah kamar dengan termometer di tangan.

“Malam, Tante.” Adi langsung masuk begitu Ambar menyuruhnya.

“Nak, jangan pulang malam-malam nanti, ya.” Perintah ibu Ambar.

“Janu bagaimana, Ma?”

“Biar mama yang rawat. Kamu sudah lama menunggu acara ini, kan?”

Ambar mengangguk, dia akan beranjak pergi ketika bajunya ditarik adiknya.

Setelah tadi tidak mau disentuh, kini Janu malah tidak mau melepasnya. “Kamu ini kenapa, Dek?”

“Janu, Kak Adi pinjam Kak Ambar dulu ya, mau ada acara grup ekskul.” Adi mendekat, berjongkok untuk memposisikan dirinya sejajar dengan Janu. Namun, bocah yang biasanya akrab dengan Adi itu langsung memejamkan mata begitu melihatnya. Bocah itu berlari ke belakang sang ibu untuk mencari perlindungan. Adi menatap Ambar meminta penjelasan dan gelengan yang ia dapatkan.

Akhirnya, dengan rasa kebingunan, Adi dan Ambar beranjak ke tempat acara.

Begitu Ambar dan Adi berangkat, Janu menangis kencang. Sinta mempertimbangkan untuk menghubungi  suaminya  yang sedang lembur untuk segera pulang. Dia khawatir dengan Janu.

“Sayang, kamu kenapa?” Sinta mengusap rambut ikal anaknya. Berusaha menenangkan. Dalam isakan Janu yang mereda, ia mulai dapat memahami  apa yang coba putranya katakan.

“ –Wa—Wajah Ka—Kak Ambar dan Kak Adi.”

“Ada apa dengan Kak Ambar dan Kak Adi?”

“Wa—Wajahnya ti—tidak ada.”

“Tidak ada bangaimana?”

“Wajahnya tidak ada. Seperti kakek waktu mau meninggal!” teriak Janu dalam satu tarikan napas.

Tangisannya mengencang, melampiaskan ketakutan dan kesedihan yang melingkupinya ketika melihat rupa kakaknya menghilang.

Itu, terakhir kali Janu melihat kak Adi dan Kakaknya. Namun, bukan terakhir kalinya melihat manusia-manusia tak berwajah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Can't See Your Face Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang