Agasta & Gisella

150 3 0
                                    

Rafi terus berjalan menyusuri koridor dengan langkah pasti. Tangan kanannya memegang roti selai cokelat dan tangan kirinya memegang makalah yang belum sempat ia jilid namun sudah tersusun rapi urutan halamannya. Selain itu mulutnya pun sibuk mengunyah roti karena laki-laki itu tidak sempat untuk sarapan di rumah tadi pagi. Iya, Rafi kesiangan. Fakta bahwa dirinya bangun terlambat saja sudah sangat menjengkelkan, ditambah dengan adanya presentasi jam sepuluh nanti membuat Rafi pusing bukan main.

Sekarang, sisa lima belas menit menuju pukul sepuluh. Laki-laki yang memiliki nama panjang Rafi Agasta itu semakin mempercepat langkahnya menuju ruang kelas. Tapi tanpa pernah Rafi bayangkan sebelumnya, tiba-tiba saja dirinya hampir tersungkur ke depan yang membuat kertas-kertas makalah miliknya berserakan ke lantai dan roti yang sedang ia pegang juga ikut terjatuh. Sialnya lagi, roti itu jatuh tepat di atas salah satu lembaran makalahnya.

“Anjing,” umpat laki-laki itu. Dia menarik napas berat lalu menengok ke belakang, emosinya tentu sudah bergejolak. “Lo mabok apa gimana sih?” tanya Rafi dengan intonasi tinggi pada seorang perempuan yang sudah membuat kesialannya pagi ini semakin bertambah.

“Duh..., sori, sumpah gue nggak liat—”

“Lo nggak liat karena lo nggak pake mata lo dengan baik.” potong Rafi. “Lo liat nih, makalah gue jadi acak-acakan lagi!” tambahnya. Sekarang Rafi berjongkok untuk mengambil kertas-kertas itu tanpa menyusun halamannya lagi.

Perempuan itu tentunya merasa tidak enak dengan laki-laki yang tidak dikenalnya ini, maka dari itu ia pun ikut berjongkok—berniat untuk membantu mangambil kertas-kertas yang berserakan. Jantungnya berdegup kencang ketika dia sadar kalau dirinya sudah membuat kekacauan seperti ini. Ditambah dengan orang yang baru saja secara tidak sengaja ia tabrak, tampak begitu marah atas perbuatannya.

“Sekali lagi, sori ya, gue buru-buru—”

“Gue juga buru-buru!” potong Rafi lagi. “Lo pikir di kampus ini lo doang yang buru-buru?” tanyanya.

Dia sempat memejamkan mata ketika orang itu meninggikan intonasinya. “Yaudah, kan gue udah minta maaf, dan gue juga nggak sengaja nabrak lo.” ucapnya sedikit terbawa emosi. Perempuan itu, Anaya, jujur dengan ucapannya. Dia benar-benar tidak sengaja karena Anaya juga sedang terburu-buru dan memang itu salahnya karena matanya tidak fokus saat berjalan. Tapi, kan dia sudah minta maaf, kenapa laki-laki itu terus saja mengomelinya, sih?

“Maaf lo juga nggak akan bisa ngilangin noda cokelat yang ada di makalah gue.”

Anaya mendengus sembari menatap Rafi. “Ya udah lah, terserah lo aja, gue udah minta maaf tapi lo malah bilang begitu.” katanya jadi emosi.

“Kalo lo mau gue tanggung jawab, dateng aja ke kelas nanti. Gue buru-buru dipanggil dosen!” lanjutnya sembari setengah berlari meninggalkan Rafi yang masih ternganga melihat perempuan itu.

Astaga, namanya aja gue nggak tahu! Apalagi kelas dia, anjir, batin Rafi.

***

“Gue masih dendam anjir, sama cewek yang nabrak gue kemarin.”

Arie yang sekarang sedang asyik bertanding PS dengan Mika, melirik ke arah Rafi. “Istighfar, Fi, dendam-dendam aja lo!” seru laki-laki itu sembari tangannya terus bergerak memegang controller. “Lah? Lo bunuh diri, bego! Astaga, Mik, itu gawang kita!” seru Arie lagi, ketika melihat Mika malah memasukan bola ke gawang timnya.

“Hah?” Mika tampak bingung, tampaknya dia belum sadar. “Lah? Iya, ya? HAHAHAHAHA!”

“Mik, ah, Ya Allah!” dengus Arie merasa frustasi. “Dah ah! Capek hati gue satu tim sama lo.” dilemparlah controller PS yang tadi dimainkan olehnya ke atas karpet. Arie yang sudah tidak bersemangat bermain lagi kemudian beringsut ke atas kasur, lalu memakan keripik kentang yang ada di dalam toples.

bukan kumpulan cerita panjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang