1. Pemakaman

8K 565 209
                                    

Welcome di cerita aku gaes🤗
Enjoy yaa!

Vote sebelum baca, wajib!

Di dunia ini ada satu yang tidak bisa kita hindari. Kematian. Siap atau tidak siap pasti kematian akan datang untuk menjemput kita. Dan saat waktunya sudah datang, kita memang tidak bisa untuk lari kemana-mana. Namun keajaiban Tuhan juga perlu kita percaya. Buktinya  saja hari ini, aku masih bisa hidup meskipun maut hampir saja merenggut nyawaku.


Aku terus menangis di atas batu nisan papa dan mama berharap hatiku bisa mengikhlaskan mereka pergi kembali kepelukan Tuhan. Aku masih belum percaya dengan apa yang sudah ku alami saat ini. Bahkan Tuhan mengambil kedua orang tuaku sekaligus.

"Pa, ma. Aku harus apa setelah ini? Aku nggak tau lagi harus menjalani hidup ini dengan cara apa tanpa kalian! Kenapa papa sama mama ninggalin aku sebatang kara di dunia!" isakku pilu.

Tangisku semakin menjadi saat hujan turun dengan derasnya. Seakan langit ikut merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini. Beberapa orang meninggalkan pemakaman satu per satu setelah bergantian menepuk bahuku dan menyuruhku untuk kuat. Ya, aku sudah terlalu kuat karna tidak memutuskan untuk bunuh diri dan menyusul orang tuaku. Aku sempat memikirkan hal itu sekilas. Namun semuanya tidak menjamin membuat orang tuaku bahagia dan tenang di alam sana.

Perkataan demi perkataan ku ingat. Kenangan demi kenangan memenuhi kepala ku hingga membuatku semakin menjerit di tengah derasnya hujan, memaki diriku sendiri berulang kali. Apa aku pernah membuat kesalahan yang besar sampai Tuhan mengujinya seberat ini. Aku semakin terisak. Tubuhnya melemah. Rasa sakit di badanku sudah tidak ku hiraukan meski kepalaku masih terbalut perban.

Kecelakaan kemarin malam menimpa keluarga ku. Kebetulan hujan deras turun saat kami akan pergi dinner di sebuah kafe. Semuanya terjadi begitu cepat hingga aku masih belum percaya jika semua ini memang kenyataan yang harus ku alami.

Kecelakaan itu seperti rekaman yang masih berputar berulang-ulang di kepalaku. Aku masih ingat malam itu tiba-tiba ada mobil dengan kecepatan tinggi melaju dari arah berlawanan. Mobil itu lepas kendali dan akhirnya papa yang memilih menghindar lalu banting stir dan mengakibatkan mobil kami terjun ke jurang.

Papa dan mama tidak bisa diselamatkan. Dan hanya aku yang selamat dalam kecelakaan maut itu. Kalau saja disuruh memilih, aku pasti memilih untuk mati dari pada harus kehilangan dan merasakan trauma seperti sekarang.

Tubuhku begitu lemas. Pikiranku kacau dan aku masih merasakan sakit yang luar biasa. Rasa sakit di badanku sebenarnya tidak seberapa karena hatiku jauh lebih sakit dari luka-luka yang aku dapatkan dari kecelakaan tersebut. Baru saja papa dan mama pulang dari luar kota. Baru saja aku ingin menghabiskan waktu bersama mereka. Namun Tuhan memang berkata lain. Takdir Tuhan lebih berhak atas semua yang telah terjadi.

Lalu bagaimana dengan hidupku untuk selanjutnya? Bagaimana aku bisa menjalani hidup tanpa hadirnya orang tua? Apa aku bisa menjalani hidup tanpa papa dan mama?

Harapanku seakan pupus dibawa angin. Aku seperti kehilangan semangat untuk hidup dan menjalani hari-hari seperti biasa. Aku kehilangan kedua sayap untuk terbang. Papa dan mama adalah segalanya dalam hidupku. Mereka bahkan tidak sempat mengatakan salam perpisahan atau sekedar membuka mata mereka untuk yang terakhir kalinya. Entah apa yang sedang Tuhan rencanakan untuk ku. Sekarang aku hanya bisa pasrah menjalani semua ini.

Satu persatu dari pelayat sudah pergi meninggalkan pemakaman beberapa menit yang lalu. Hanya tinggal aku dan beberapa sahabat kantor papa yang masih setia di tempat ini. Aku sendiri masih ingin berlama-lama disini. Tak apa jika aku harus basah kuyup sepanjang hari. Aku masih ingin memeluk makam papa dan mama. Tidak perduli apapun.

Andai saja waktu bisa diputar. Andai Aku tidak merengek untuk menyuruh papa dan mama pulang lebih cepat dari jadwal mereka. Mungkin aku masih memiliki keduanya hingga hari ini. Air mataku lagi-lagi turun tanpa diminta. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Dan setelah semua terjadi, kata seandainya sudah tidak ada gunanya lagi.

"Kejora, kamu yang kuat ya. Kamu pasti bisa lewatin semua ini. Tuhan punya rencana indah di balik peristiwa ini."

Aku mendongak. Seorang ibu-ibu paruh baya mengelus pundakku. Raut wajahnya juga sama sedihnya sepertiku. Kalau tidak salah namanya tante Ola. Dia adalah teman arisan mama. Tante Ola juga sering sekali main ke rumah dan membawakan oleh-oleh untukku jika dia pulang dari luar negri.

"Makasih banyak, tante."

Sebelum tante Ola pergi, beliau sempat merangkulku singkat. Hal itu justru membuatku kembali terisak. Untuk beberapa saat aku mencoba tersenyum kepada beliau. Aku tidak ingin membuat orang-orang menjadi kasihan melihatku.

"Tante harus pulang sekarang. Kejora juga pulang, ya." bujuk tante Ola.

Aku menggeleng kuat. Menolak ajakan tante Ola barusan dengan sopan. "Aku masih mau disini tante."

Seperti mengerti akan perasaanku tante Ola hanya mengangguk pelan, membiarkanku untuk tetap tinggal.

Kini tersisa aku dan om Dana saja di pemakaman setelah kepergian tante Ola beberapa menit yang lalu. Om Dana adalah sahabat papa sejak kuliah dulu. Dan om Dana juga rekan bisnis papa. Sedari tadi beliaulah yang setia memayungiku dari derasnya hujan. Menenangkanku ketika tangisku kembali terisak.

"Saya udah nggak pa-pa om. Om pulang duluan aja." ujarku tak enak. Aku berusaha menyunggingkan senyum meski itu rasanya terasa berat.

"Om akan temenin kamu disini. Om nggak akan biarin kamu disini sendirian."

Om Dana yang tadi berdiri kini ikut berjongkok di sampingku. Membuatku tersenyum tanpa sadar kali ini. "Makasih, om udah baik banget."

"Om yakin kamu anak yang kuat. Maka dari itulah Tuhan memberikan keajaiban ini untuk kamu." lanjut om Dana.

"Saya masih belum percaya aja om. Jika boleh berharap, saya berharap ini hanya mimpi buruk."

Om Dana menatapku tidak tega. "Jangan menyesali apa yang sudah terjadi, Kejora. Mungkin ini berat, tapi kamu harus semangat. Om yakin, kedua orang tuamu akan bangga jika melihat anaknya tumbuh dengan kuat. Mereka sudah bahagia disana. Mereka tidak merasakan sakit lagi. Dan mereka pasti dipersatukan di surga."

"Makasih ya om. Atas semua perhatian om."

"Jangan merasa sendiri, Kejora. Masih ada om disini yang akan merawat dan menjaga kamu."

Tentu saja aku mengerutkan dahi mendengar kalimat itu keluar dari om Dana. Aku belum bisa mengartikan maksud dari perkataan om Dana barusan.

"Maksud om?"

"Kamu mau kan tinggal bersama om? Om janji akan menjaga kamu sama seperti om menjaga anak kandung om sendiri." jawab om Dana serius.

"Tapi om, saya nggak mau ngrepotin siapapun. Saya bisa hidup mandiri." tolakku dengan sopan.

"Kejora, kamu anak perempuan. Akan bahaya jika kamu hidup sendirian di rumah kamu itu. Meski disana ada asisten rumah tangga, tapi ijinkan om untuk melalukan ini. Kamu mau kan?" tanya om Dana sekali lagi.

Aku terdiam untuk beberapa menit sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Makasih ya om. Untuk segala kebaikan om yang mau merawat dan menjaga saya."

Raut wajah om Dana tampak lega dan senang. "Sama-sama."

Tidak ada ujian datang tanpa ada hikmah dibaliknya. Rasanya aku sangat bersyukur bisa di pertemukan dengan orang sebaik om Dana. Aku berjanji, mulai sekarang aku harus kuat menjalani hidup yang baru tanpa hadirnya papa dan mama di sampingku.

***

BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang