Menatapmu dari jauh, mungkin itu yang bisa kulakukan nanti. Setelah hari ini, semua takkan sama lagi. Kita yang dulu begitu lekat harus membiasakan diri untuk berpisah pelan-pelan.
Sebentar lagi Maghrib, namun aku masih belum ingin beranjak. Ingin kuhabiskan sisa waktu untuk berlama-lama denganmu, sebab esok aku takkan lagi menjagamu. Sungguh, bukan aku yang menginginkan perpisahan ini. Tuan pemilikmu menyuruhku berhenti karena sudah tak sanggup menggaji lagi.
Kususuri setiap ruangan bekas pabrik gula Kalibagor yang terakhir memproduksi gula di tahun 1996. Kusentuh setiap senti dindingmu yang kokoh. Kualitas tembok racikan meneer Belanda memang tak diragukan. Meski usiamu ratusan tahun, kamu masih gagah berdiri. Sayangnya, lumut tak tahu adat begitu subur merayapi. Menghijaukan pualam temboknya.
Ruangan setinggi lebih dari enam meter ini lengang. Tak ada yang tersisa selain kesunyian. Atap seng bolong di sana-sini. Kayu penyangga lapuk, paku sekrup berkarat. Beberapa bagian pabrik yang masih cukup bagus telah habis dijarah ketika gelombang reformasi sampai ke kabupaten kecil ini. Ruangan kosong, semua alat yang masih bisa dipakai dipindahkan ke pabrik baru.
Ribuan peristiwa telah kau saksikan sejak zaman pemerintah kolonial Belanda hingga zaman kecanggihan teknologi seperti sekarang ini. Perubahan zaman yang kamu saksikan ternyata mengkhianatimu. Kamu tersingkir dari peran sebagai penghasil gula karena tuntutan zaman membutuhkan mesin yang lebih cepat dan lebih banyak produksinya.
Kututup pintu pabrik perlahan sebelum menggemboknya kembali. Dari jauh, cerobong asap menjulang, membentuk siluet yang megah. Ia bak potret kedigdayaan masa lampau.
Sebaiknya aku pulang. Sebentar lagi makhluk tak kasat mata akan berpesta di tempat ini.