1

89 8 5
                                    


"Kau sudah gila ya? Bagaimana bisa kau mengerjakan pekerjaanmu seperti ini!" dilemparlah map kuning dengan keras. Membawakan suasana menjadi tegang. Apa yang terjadi?

"Apa yang kau pikirkan hah?! Jangan diam saja! Ambil map itu, dan kerjakan kembali dengan benar! Jika kali ini kau salah lagi, kau akan aku pecat!" perkataan yang menusuk hati seseorang dilontarkan begitu saja dengan gampangnya. Apakah itu diperbolehkan? Ia sudah mengerjakannya hingga larut malam, mengikuti semua contoh dan mengikuti aturan yang diperintahkan, dan hasilnya? Seperti ini?

Semua yang ada di ruangan itu meliriknya, berbicara dengan pelan agar tidak didengar olehnya. Bahkan ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang sedang membicarakannya. Seperti hal wajar yang sering ia alami. Dengan berat hati, ia mengambil map kuning yang tergeletak tepat di depan kakinya, dokumen-dokumen yang berada di map itu berserakan.

"Perlu aku bantu?"

"Tidak terima kasih," dengan cepat ia meninggalkan lelaki yang mencoba untuk membantunya. Teman sekantornya ini memang baik hati, tetapi ia tidak bisa menerima kebaikan hatinya. Tidak untuk kali ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 yang artinya, waktunya pulang. Semua sudah mulai membereskan barang-barangnya, tersenyum bahagia karena sebentar lagi akan sampai rumah mereka yang nyaman. Cuaca di luar pun juga mendukung, hanya saja, kau tahu apa yang terjadi di Jakarta jika sudah waktunya pulang kantor ataupun saat hari kerja pada sore hari.

"Eh apa nanti aja pulangnya ya? Jam segini kereta pasti penuh banget,"

"Ya namanya, pas pulang kerja! Pasti penuhlah,"

"Mau nunggu aja atau gimana?"

"Nunggu di cafe bawah aja yuk, biar cepet juga ke stasiunnya,"

"Siska diajak ga?"

"Uh... ga usah deh,"

"Udah yuk, cepetan ke bawah,"

Kapan mereka bisa meninggalkan Siska sehari saja untuk bisa tidak mendengar kicauan mereka tentangnya? Ia sudah lelah mendengarnya hingga bosan. Siska menaikkan kacamata kotaknya yang sedikit turun, merapikan rambut yang mulai turun dan menutupi pandangannya. Kapan pekerjaannya selesai? Di ruangan itu, hanya terdengar ketikan keyboard nya. "Sendirian lagi ini mah,"

.

.

.

.

Pukul 20.00

Suara mesin printer menghiasi ruangan di lantai 11 itu, hanya tersisa beberapa orang saja yang masih berada di ruangan itu. Senyuman menghiasi wajah Siska yang sudah mulai berantakan. Make up tipis yang ia pakai sudah terlihat berantakan. Rambut pun acak-acakan. Ia ingin sekali cepat-cepat kembali ke kasurnya yang empuk.

"Sis? Kok belom pulang?" suara yang datang mengganggu day dreaming Siska tentang kasurnya. Siska tidak menoleh, karena ia tahu betul milik suara itu. Suara yang berat, dan menurut teman-temannya, suara cowok yang keren.

"Kau sendiri? Kau seharusnya sudah pulang," lelaki itu tertawa kecil. Apa yang lucu?

"Apa kau tidak sadar? Aku menunggumu,"

"Buat apa?"

"Memangnya tidak boleh?"

"For your information, kau sudah menghabiskan waktumu dengan sia-sia,"

"Asalkan itu bisa membuatku melihatmu, itu tidak akan sia-sia," Siska terdiam. Apa sih yang dipikirkan oleh lelaki satu ini? Apa dia gila?

Pada saat yang sama, semua dokumen Siska sudah selesai tercetak. Setelah mengambil semua lembaran itu, Siska langsung pergi tidak menghiraukan lelaki yang sedari tadi ada di sana. "Sudahlah, pulang saja sana, sebentar lagi aku juga akan pulang, Ken." Lelaki itu hanya bisa tersenyum kecil melihat Siska yang sudah berjalan menjauh. Diam-diam dia peduli juga.

MaafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang