Telah lama Siang mencanangkan kedudukannya di ujung timur. Tak ia dapati segelintir rasa beraduk yang kerap disebutnya kasmaran. Bertengger menepi bersama gerah yang tak kunjung padam, kini jiwanya terselimuti hasrat memeluk ketenangan. Sinar temaram yang memancar lembut dari balik batas mega itu, entah bagaimana menyentuh jantung suryanya, memompa tiap-tiap sinar di tubuhnya 'tuk melangkah melewati garis titahan Alam. Demi menemui Sang Sinar Temaram.
"Semesta?" Siang memanggil.
Alam tak menanggapi.
Tak ingin ambil pusing, Siang tiada lagi peduli garis titahnya. Ia bangkit mengangkat segenap hasrat. Guruh-gemuruh kian pudar, gurat seringai cerah mulai membias di langit lepasnya yang tak lagi sanggup menahan rindu. Ia akan bertemu Sang Sinar Temaram.
Siang melangkah, bumi berputar satu hari lebih cepat. Dua langkah, tiga, empat .... Kala jemari kaki panas Siang menyentuh anak-anak gunung, Ibu mereka memekik menumpuk kecamuk. Lahar panas tumpah ruah melahap hutan dan perbukitan. Siang masih tak ambil peduli. Belum seberapa menggebu gerak tubuhnya, bumi sudah bergetar meretak-retak. Samudra mulai pasang, siap menangis sebab tiap kawan bergerak bukan pada arahnya. Tak terusik, masih pula sosok gagah itu kukuh menampik.
Bumi rusak, Alam Semesta berkerut. Rengut pada wajahnya menumpuk geram. Perangai Siang tak lagi patut diberi celah.
Kedua mata bercahaya Siang terbuka penuh pancar. Ia begitu dekat dengan batas persemayaman. Garis-garis mega kini terurai serupa tirai persis di hadapannya, tinggal setangkup jari menggeser, maka 'kan terlihat Sang Cahaya Temaram pujaannya. Kemudian, jemari Siang mengindahkan. Ia menyingkap garis-garis mega.
Senandung merdu melantun lembut dalam tidur sosok elok itu. Helaian rambut legam tergerai jatuh bersama bintang-bintang begitu cahaya Siang tersorot tepat di atas mata indahnya yang terpejam.
"Malam ...," puja Siang terpesona.
Malam membuka mata. Terkejut akan siapa yang mencuri pandang terhadapnya, tak kuasa ia kendalikan jantung rembulan yang kini memancarkan ketersimaan tiada tara.
"Siang ...?"
Keduanya beradu cahaya. Cinta dan asmara merogoh-rogoh ke dalam sukma keduanya. Begitu gegabah keduanya mendekat, sinar beradu sinar, kilau beradu temaram, kian terang, kian menyilaukan, pekik merana mencari pelita terdengar di belahan bumi yang menggulita. Mengabaikan hirau, hampir-hampir Siang dan Malam bersentuhan ketika Alam tiba-tiba menampar hamparan bumi, dan keduanya terpelanting oleh cahayanya masing-masing.
Malam kembali ke persemayaman barat, Siang kembali ke persemayaman timur. Keduanya masih memancarkan cahaya persis sediakala, tetapi yang dilihatnya tiada. Kini keduanya buta.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala
Short StoryKetika batas menjalin belenggu. Antara Malam dan Siang. [ ROMAN - SUREALIS ] © k i r a n a d a -- Update setiap: (selesai) #1 dalam personifikasi (22-03-19)