PERTANYAAN

2 1 0
                                    

Tepat saat bel pulang berdentang, aku segera beranjak dari tempat dudukku lalu berjalan keluar. Kejadian kemarin membuatku memilih cepat pulang daripada harus terjebak dalam hujan deras yang tak kunjung berhenti.
"Lun, kamu nggak ikut kita - kita hangout?" tanya Medina sambil menghalangi jalanku.
"Gue mau pulang aja" jawabku tanpa mempedulikan tatapannya.
Aku melangkahkan kaki menyusuri lorong kelas yang mulai dipadati oleh setiap sosok manusia yang berusaha untuk keluar terlebih dahulu dari tiap masing - masing ruangan. Keramaian ini memang cukup mengganggu telingaku, tapi samar - samar aku masih bisa mendengar beberapa orang yang membicarakan namaku.
"Kasihan banget ya, Luna" suara salah seorang siswa.
" Kasihan sih kasihan, tapi liat deh sekarang dia jadi sombong banget. Kaya sok sibuk gitu" sahut siswa lainnya.
"Husssh, Candra dateng" tiba - tiba percakapan yang sengaja aku dengarkan dengan seksama itu terputus. Kenapa mereka berhenti membicarakanku setelah mereka menyebut nama Candra? Aku mencoba mencari sosok itu dari balik kerumunan siswa yang berdiri di depan kelas. Namun sialnya, arus manusia yang ingin bergegas keluar dari lingkungan sekolah benar - benar seperti arus urbanisasi yang mengalir deras di negeri ini apalagi saat momen akhir libur hari raya idul fitri. Mataku gagal menemukan sosok itu, dan bodohnya lagi justru terseret ke arah yang tidak seharusnya kulalui.
Entah apa yang terjadi, seharusnya aku berbelok ke kiri menuju gerbang sekolah tapi nyatanya aku berada di sini di depan perpustakaan. Suasana di sini berbeda jauh dengan tempat lain. Lenggang. Dan bisa dikatakan lenggang sekali.
Tanpa sadar langkahku sudah terayun ke deretan rak buku yang berjajar rapi. Aku melihat satu persatu kode nomor yang tertulis di setiap sisinya.
"Lho, Luna kamu disini? Kamu mau cari novel apa?" tanya seseorang berpakaian layaknya guru - guru yang mengajar di kelasku.
"Eh, iya bu. Belum tau sih bu mau cari novel apa. Kayaknya mau lihat - lihat dulu" jawabku berusaha santun.
Wait. Kenapa ibu itu tahu. Kenapa beliau sepertinya sudah kenal denganku. Dan kenapa aku tidak bertanya berapa nomer rak buku untuk karya fiksi.
Entahlah, beberapa pertanyaan yang muncul hari ini membuatku benar - benar penat dan tidak fokus lagi. Bagaimana tidak, setelah sekian lama mencari nomor rak buku akhirnya aku tetap tidak menemukannya hingga bagian paling belakang lalu ketika aku melihat jam dinding yang tergantung disana telah menunjuk angka 3. Bukankah aku harusnya segera pulang, lalu kenapa aku terjebak disini.
Tanpa ba bi bu, aku melangkah keluar ruangan dan byuuurrrr..... Hujan turun. Sekarang. Kenapa? Ku tarik langkahku kembali dan memposisikan diri bersandar pada dinding di ujung lorong perpus dan menggerutu. Sudah cukup rasanya aku kecewa dengan diriku sendiri hari ini. Cukup lelah menyadari diriku sendiri yang tidak kompeten dalam menjalani rencana yang telah kubuat apik sebelumnya. Sekarang masalahnya, handphone mati lowbat, petugas perpus baru saja berlalu meninggalkanku dan membiarkan dirinya basah melawan deranya hujan (sepertinya beliau tidak melihatku) setidaknya aku harus bisa sampai ke depan gerbang sekolah untuk menyetop taksi. Selama lima belas menit sudah kulewati menuggu redanya sang hujan hari ini dan selama itu pula aku memikirkan cara lain untuk sampai ke sana selain berlari di bawah derasnya hujan.
Ingin rasanya aku memiliki mesin pengatur hujan, sehingga aku tidak perlu melihatnya turun dan membuatku dan banyak orang disana kerepotan karena harus berbasah kuyup. Tapi sepertinya memang aku harus melawan egoku, ini lebih baik daripada aku tidak bisa pulang sama sekali. Kakiku melangkah melewati genangan air yang di muka teras perpustakaan. Kakiku sedikit berjingkat dengan tangan yang kutelangkupkan melindungi kepalaku.
Aku melangkah lagi, namun belum sampai kakiku menginjak tanah lagi aku dikagetkan ileh kehadiran sosok yang belum sempat aku lihat, wajahnya. Keseimbanganku hilang, dan kakiku melesat dahulu sebelum anggota tubuhku yang lain mengikutinya ke arah belakang tubuhku. Dan sesuatu yang berat seperti menahanku. Aku sudah memejamkan mataku. Mengantisipasi jika akhirnya aku memang benar - benar terjatuh. Mengantisipasi jika ada orang lain yang melihatku dengan kejadian konyol itu. Sebentar. Tapi bukankah memang ada orang di depanku.
Ku buka mataku segera. Dan benar dia manusia. Maksudku benar - benar ada orang disini. Dia tersenyum. Dan aku. Bingung.
"Tidak seharusnya kamu berlari saat hujan seperti ini" katanya sambil menatapku.
Aku tersadar dengan nada suaranya yang membuatku heran.Kenapa orang ini marah - marah. Atau jangan - jangan. Aku baru menyadari bahwa posisi kami tidak baik. Tidak baik dalam arti bisa saja orang lain salah menafsirkan apa yang terjadi. Kutegakkan tubuhku, lalu dia berkata " Biar aku yang mengantarku ke depan". Aku makin heran, siapa sih orang ini. Aku berlalu meninggalkannya menunggu iya jawabanku. Ya, setidaknya aku percaya diri bahwa dari tatapan dan nada bicaranya dia tidak mengingkan penolakan dariku.
"Setidaknya pakailah payung ini" dia muncul lagi di depanku. Belum sempat aku menjawabnya, dia sudah menjejalkan gagang payung itu ke telapak tanganku dan berlalu pergi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Big HoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang