Angin sepoi-sepoi seperti memijati wajah seorang lelaki yang nampak sudah tak muda lagi. Terbentang luas padang rumput yang sedap dipandang mata, namun penuh kenangan yang menyayat hati. Di sisi jauh padang rumput itu terdapat gundukan tanah yang sangat tidak terawat, wajar karena sudah berumur cukup tua, ditandai dengan tumpukan batu di salah satu sisinya yang mulai hancur dimakan usia. Masih terngiang jelas kejadian mengerikan itu, yang membuat derita bercampur secuil syukur menjadi satu.
Pohon rindang yang menjadi pusat tempat ini pun lenyap bak ditelan kegelapan malam, hanya menyisakan akar lapuk yang masih menancap kuat di tanah. Pria yang berdiri jauh itu memandang kosong luas langit yang dibanjiri jutaan bintang, yang seperti berkata 'Sudah jangan sedih, itu hanyalah masa lalumu' kepadanya.
Dia mengambil sebatang kayu yang tergeletak tak jauh darinnya. Melemparkan ke arah tepat di belakangnya, membuat satu-satunya penerangan yang dibuatnya, sebuah api unggun hancur tercerai-berai. Sepertinya dia tak tahan berlamaan di tempat itu, yang akan dan selalu membuat hatinya lebih tak karuan.
Dikenakannya sebuah topi kusut, yang tak kalah kusut dari kaos yang dipakainya. Namun dia masih bersyukur ada pakaian yang selalu menemani dari dinginnya malam yang membekukan dan panasnya siang yang melelehkan. Dia merogoh saku celananya tuk mengambil sesuatu, yang nampak seperti sebatang rokok, yang jelas-jelas tidak mungkin adanya. Itu hanyalah kumpulan serpihan daun yang mengering dan dibentuk sedemikian rupa menyerupai rokok.
Disulutnya rokok 'palsu' itu dengan sisa api unggun yang masih sedikit membara. Kemudian dia menghisapnya dan menimbulkan asap yang mulai melayang ke tingginya awan. Awan yang sedari tadi menggelayut mulai bergerak perlahan, menampakkan cahaya purnama yang dirindukan. Suara jangkrik dan hewan malam yang bersahutan tertafsir sebagai alunan musik yang mengalir damai di telinga.
Kunang-kunangpun akhirnya muncul, diiringi hembusan angin semilir musim gugur yang menabraki rerumputan dan membuatnya nampak seperti tangan yang melambai-lambai mengajak berteman. Dia berlalu begitu saja meninggalkan tempat ini, berakting seolah tak peduli pada getaran yang baru saja ditangkap oleh hatinya.
Benar saja, baru beberapa langkah ia meninggalkan tempat itu, kepalanya mendongak mengarah tepat ke arah puranama yang baru muncul. Terlihat sebuah cahaya kelap-kelip melewati rembulan itu, setengah bernaung di bawah awan hitam pekat yang kembali memakan sang bidadari malam.
Dan tiba-tiba saja, tanpa adanya kecamuk badai maupun amukan sang petir, cahaya tersebut menghilang. Menjadi sebuah semburan api yang cukup jelas untuk dilihat bahkan dari jarak yang jauh, disusul suara gemuruh yang mengikuti beberapa detik kemudian. Sekarang api yang membakar angkasa itupun benar-benar hilang, termakan gagahnya langit yang ia huni.
Masih saja, dia bertingkah layaknya dia tidak peduli dan tidak tahu apa-apa. Dimatikannya rokok yang sedari tadi ia hisap, yang sekarang sudah tak lebih dari setengah jari kelingking, meninggalkan rasa masam yang berkepanjangan di mulut. Kakinya dipaksakan tuk segera beranjak pergi, menuju suatu tempat, yang meskipun terlihat memutar namun bisa dipastikan niat yang mengambang di hatinya hanyalah ke gundukan itu.
10 menit, perjalanan yang ia butuhkan tuk sampai ke arah gundukan tanah tersebut, yang tanpa dijelaskan pun semua orang tahu kalau itu adalah sebuah kuburan. Ia bergeming, pandangan matanya tertuju pada yang ada di depannya saat ini. Rumput-rumput liar mulai mengeroyoki kuburan itu, membuatnya semakin tidak bisa dibedakan dengan daerah di sekitarnya. Batu penanda pun hancur digerogoti ganasnya lumut yang menyangkut.
Tangan yang masih hangat di saku mulai resah, tak tahan melihat keadaan yang seperti ini. Dia berjongkok, segera mencabuti rumput yang sudah kelewat rimbun. Tanpa terasa, air mata sudah berkumpul di pelupuk. Tetes demi tetes mulai mengalir membasahi pipinya. Dia mencabuti rumput satu demi satu dengan wajah sembap penuh lelehan air mata.
Semua ini tak tertahankan. Dia menumpahkan semua kesedihan yang ia tahan selama setahun di tempat ini. Meskipun ia bisa dengan mudah datang ke sini setiap hari, ia tak mau melakukannya. Ketakutan akan semakin terperosok ke jurang kesepian yang semakin dalam adalah alasan utamanya.
'Tak peduli betapa jarangnya aku ke sini, hatiku adalah milikmu dan akan selalu menjadi milikmu. Walaupun kita sudah berbeda alam, aku tak akan mengkhianati cinta tulus yang sudah terjalin di antara kita. Tunggulah aku di sana, meskipun itu membutuhkan waktu puluhan tahun, aku harap kau bersabar menuggu kedatanganku.
Gumpalan awan di cakrawala semakin menghitam, bersiap mencurahkan kasih sayangnya kepada dunia, hujan yang membasuh dunia yang kotor. Butir demi butir air mulai turun bak daun musim gugur yang rontok dari pohonnya. Semakin deras dan semakin deras, membangunkan setiap helai daun yang masih lelap dengan tidurnya.
Ia tak bergerak seinci pun dari tempat itu. Masih memandangi tempat peristirahatan terakhir wanita yang sangat dicintainya itu. Seolah tak tega tuk membiarkanya sendirian lagi. Wajahnya sudah tak terlihat sembap oleh air mata, terhapuskan oleh rentetan hujan yang mengguyur.
Tapi paling tidak, hatinya sudah terasa lega setelah meluapkan seluruh emosi dan penderitaanya tadi. Sebuah senyum mulai merekah dari bibirnya yang mulai lelah tuk cemberut. Raut wajahnya juga sudah mulai terlihat cerah, tidak masam seperti sebelum dia ke sini.
Meskipun terasa berat tuk meninggalkannya, tapi dia sudah memantapkan hati bersabar hingga musim gugur tahun depan. Sebelum benar-benar pergi, dia berlutut, seolah di depannya adalah tuan yang memberinya perintah. Senyum di bibirnya semakin mengembang.
Sorry kalau menurut kalian ceritanya aneh. Ini pertama kali ane nulis di sini.Jadi harap maklum. Dan juga, ceritanya belum selesai kok. Meskipun genrenya cerpen tapi ceritanya bisa panjang. Tunggu aja kelanjutannya. Judulnya kayaknya ambigu, gk terlalu ada relasi ama ceritanya. Ah gpp. Yang penting berani nulis dulu. OK Thanks. Kkk
YOU ARE READING
Always be Yours
Short StoryKau adalah sekuntum mawar mekar Di balik bayang-bayang kegelapan malam Yang tak tersentuh belaian cahaya