JANGAN heran, ya, Boim ternyata punya diary juga. Isinya tentang kisah perjalanan masa remaja Boim.Diary ini agak unik, sebab terbuat dari daun lontar.
Tapi Boim sayang, setiap mau bobo, tak lupa Boim
selalu mengisinya. Antara diary Boim dan Boim memang tak dapat dipisahkan. Ke mana-mana selalu berdua. Selalu akrab, seperti anak kembar. Maksudnya, wajah Boim pun mirip-mirip daun lontar.
Sebetulnya, Boim tak pernah mau bila diarynya sampai dibaca orang.Sebab dia takut, rahasia kegantengannya bakal terbongkar. Tapi demi
kamu-kamu semua, yang sudah rela membeli buku ini, Boim
merelakannya.Simaklah isinya.***
Malam hari. Sepi. Yang ada cuma suara angin dan bulan yang mengintip malu-malu di balik awan hitam. Katak dan jangkrik pun enggan bernyanyi.
Ya, sebab Boim mau baca diary.
Biarlah. Biarlah Boim membacakan diarynya. Karena selama ini, dia selalu jadi kambing hitam anak-anak sekelas.Jadi..., beri dia deodoran yang setia setiap saat..., eh, kok jadi ngaco? Maksudnya, beri dia kesempatan berbicara. Sebebas-bebasnya.
Bicaralah, Im!
Teman-teman, nama saya Boim. Playboy duren tiga. Hari ini, saya mau membacakan diary saya.
Sebetulnya, seperti sudah dijelaskan, saya merasa enggak enak. Sebab dengan begitu, berarti jurus-jurus
kegantengan saya nanti bakal terbongkar.Dalam diary ini, selain ada beberapa bagian yang disensor, karena memang nggak pantes dibaca anak-anak balita, juga memuat kisah pertama kali saya masuk SMA Merah Putih.
Sebetulnya ini rahasia, tapi
karena adanya desakan dari para penggemar, terutama dari para
penumpang bis kota yang suka berdesak-desakan, akhirnya saya mau juga.Teman-teman, diary ini adalah diary turun-temurun. Dulunya punya nenek moyang saya, yang memuat tentang kisah cinta remaja zaman dulu. Kemudian dari nenek moyang, diwariskan ke kakek saya. Dari kakek
ke bapak, dari bapak ke saya. Dan nantinya akan saya wariskan ke anak saya. Mudah-mudahan anak saya mau menerima diary dari bapaknya yang ganteng ini.Kisah diary ini saya buka ketika saya baru masuk SMA Merah Putih. Pagi itu memang ramai sekali. Banyak orang pakai baju seragam. Rata-rata dari mereka lagi pada kebingungan mencari kelas barunya. Peraturan di
sekolah baru ini memang begitu. Anak-anak diharuskan mencari kelasnya sendiri-sendiri.Waktu itu, saya juga lagi kebingungan mencari kelas saya. Di dekat saya, berdiri seorang gadis manis yang sama kebingungannya seperti saya.
Saya kemudian memperhatikan wajahnya dengan seksama. Eh, ternyata dia juga sejak tadi sudah memperhatikan saya. Saya pun nekat menegur,
"Hai!"
"Eh, hai, juga!"
"Kamu anak baru, ya?
"Iya."
"Kamu lagi bingung mencari kelas kamu, ya?"
"Iya."
"Boleh saya bantu?"
"Iya, boleh. Eh, emangnya kamu siapa sih?"
"Saya? Saya anak baru juga di sini. Saya juga lagi bingung mencari kelas saya."
"Oto, kamu anak baru juga?"
"Emangnya kenapa?""Enggak. Saya kira kamu tukang pel sekolahan..."
Ya, ampun. Jadi dia itu ngeliatin saya bukan karena tertarik dan simpati.
Tapi karena dikira tukang pel.
Yah, begitulah pengalaman buruk pertama kali saya menginjakkan kaki di
SMA ini.Tapi lepas dari kejadian tersebut, ternyata saya memang
digemari oleh teman-teman saya, terutama ceweknya.Hari pertama saya di kelas, banyak yang berebut ingin duduk di sebelah saya. Karena memang bangku-bangku lain sudah penuh, hihihi... dan
ketika pelajaran dimulai, mereka senantiasa memandangi wajah saya.Kalau sehari saja saya nggak masuk sekolah, mereka pasti resah.
Ya, karena kata mereka, nggak ada lagi yang bisa dikata-katain. Sialan juga, ya?
Next,ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangun dong, Lupus!
Teen FictionBuat kalian yang rindu dengan Lupus dan kawan kawannya yang unik. BANGUN DONG, LUPUS! -HILMAN