Bagian 1

49 1 0
                                    

Malam menampakkan keindahan langitnya yang mempesona. Semilir angin menyambut bulir-bulir keringat yang keluar lewati pori-pori kulit. Aroma setelah hujan memang selalu menawan. Mendung yang begitu pekat, menggelayut di langit kota sore tadi, pudar setelah beban air yang dikandungnya berjatuhan menuju tanah-tanah di bumi. Ini pertengahan Februari. Puncak musim hujan yang lebat terjadi di bulan ini.

Lampu kota menyala menghias jalan. Lalu lalang kendaraan masih ramai memecah keheningan. Ini malam yang belum begitu larut. Jarum jam masih berdentang di angka delapan lewat.

Seorang lelaki dengan perawakan tidak terlalu tinggi, rambut ikalnya terlihat sangat tebal. Kaos merah ditambah celana sampai lutut berbahan jeans yang agak lusuh membungkus tubuh ringkihnya. Yang paling menyita perhatian dan jelas terlihat adalah lengan kanannya berbalut kain yang dililitkan hingga membentuk sebuah gendongan.

Di sampingnya, gadis kecil dengan kaos berwarna pink pucat dan celana panjang biru muda membalut tubuh mungilnya. Rambut panjangnya tergerai dengan poni depan di atas alis mata. Ia berjalan mengimbangi langkah lelaki tua di sampingnya. Itu ayah.

Lengan kiri sang ayah memikul karung besar yang setengahnya terisi penuh oleh barang rongsokan. Sesekali ia betulkan posisi karung yang cukup berat itu. Pundaknya masih kuat untuk memikul beban seberat itu dengan satu tangan yang menahannya. Langkah kaki keduanya tidak terlalu cepat. Ini waktunya pulang.

Wajah cantik gadis itu nampak terlihat lelah dan lapar. Matanya mulai memerah menahan kantuk. Lengannya tidak terlepas dari baju sang ayah. Keduanya berjalan beriringan menuju rumah. Tempat ternyaman untuk melepas lelah. Perjalanan mereka hanya berteman keheningan dan temaram lampu jalanan. Memasuki jalan perkampungan yang mulai sepi aktivitas. Orang-orang sudah mulai menutup hari menuju peristirahatan yang hangat.

"Kamu sudah capek, ya?" Sang ayah melirik putrinya yang tengah mengucek mata untuk menghilangkan kantuk yang terus menyerang. Gadis kecil itu tidak menjawab pertanyaan sang ayah. Ia masih terus berjalan sambil sesekali menguap. Mereka hampir sampai setelah melewati gang kecil yang sudah mulai rapi dengan aspal yang hitam.

"Ayah pulang."

Suasana rumah nampak sepi. Tidak terlihat aktivitas yang berarti. Cahaya lampu yang kekuningan berpendar dari teras yang hanya seluas sepuluh kotak ubin. Rumah itu terletak di pojokan, tepatnya berada di belakang dua rumah yang menghadap ke jalan kecil. Jalan masuknya tidak terlalu lebar karena diapit dua rumah yang sederhana itu.

Sang ayah meletakkan karungnya di tepian tembok dekat pintu. Gadis kecil itu berlalu menuju ke dalam rumah. Kedatangan keduanya disambut suara batuk dari dalam kamar di sisi sebelah kanan pintu. Rumah itu tidak terlalu besar, hanya ada satu kamar tidur dan sebuah ruang tamu yang blong sampai ke dapur. Lantainya hanya plesteran semen yang sudah terdapat banyak lubang di mana-mana. Pintu kamar tidur itu hanya dihiasi selembar kain sebagai penutupnya.

Gadis kecil itu berjalan menuju meja dapur yang tertutup tudung saji yang bolong. Perutnya terus berbunyi sepanjang perjalanan menuju pulang tadi. Ia tidak sabar untuk mengisi kekosongan perut itu sedari sore. Ia belum makan. Ia bergegas mengambil piring plastik yang tersusun asal di rak piring. Raut wajahnya memudar seketika. Rasa laparnya menguap seiring kekecewaan atas apa yang dilihatnya saat membuka tudung saji.

Di dalam tudung saji hanya ada sepiring nasi yang sudah dingin. Tidak ada apapun lagi selain itu. Matanya berkaca-kaca seketika. Tangan kanannya bergerak mengusap perutnya dengan rasa iba bercampur lapar yang semakin kuat. Bunyi dari perutnya tidak bisa ia tahan. Ia menyendokkan nasi itu ke dalam piring plastik yang dibawanya tadi.

Pikirannya teringat garam. Matanya langsung mencari keberadaan penyedap rasa asin itu. Pandangannya berhenti di sebelah kiri meja dekat kompor. Kakinya tergerak menuju sebuah kotak bening tanpa tutup yang berisi garam.

Dengan haru ia taburkan garam itu menggunakan jari ke atas nasi dingin di hadapannya. Ia berjalan ke ruang depan untuk menikmati makan malam yang sudah lewat itu. Sementara sang ayah sudah berada di kamar melihat keadaan sang istri yang tengah terbaring di atas kasur. Tubuhnya tergolek tidak berdaya. Wajahnya pucat dengan peluh yang bermunculan di dahi. Di sampingnya satu orang balita tengah terlelap dengan damai.

Ia menghela nafas dengan berat. Lantas membalikkan tubuhnya untuk berjalan keluar kamar. Saat membuka kain penutup pintu, didapatinya seorang gadis kecil tengah duduk di pojokan ruangan sambil menikmati sepiring nasi tanpa lauk. Semakin berat nafasnya ia hembuskan melihat pemandangan memilukan itu. Langkahnya tergerak ke arah sang gadis kecil. Ia duduk di sebelahnya.

"Ayah lapar? Makan sini sama aku. Aku ambilkan nasi untuk ayah, ya. Tunggu saja disini." Gadis kecil itu membuka suara. Matanya terlihat sendu dan lelah. Ia bangkit dan berjalan menuju meja dapur bermaksud mengambilkan sepiring nasi untuk ayahnya. Sang ayah hanya mengangguk dan tersenyum kepada gadis kecilnya itu. Dalam hatinya, terasa begitu tersayat, sakit, perih. Istrinya tengah terbaring sakit, makan malam yang dingin tanpa lauk, dan keheningan malam menyambut kepulangannya dari kejahatan zaman. Hanya ada kesunyian berselimut dingin yang menghantarkan malamnya.

Gadis kecil itu kembali dengan membawa sepiring nasi dan segelas air putih. Keduanya duduk bersebelahan menikmati makan malam yang dingin. Sunyi senyap di antara keduanya. Sang ayah makan dengan tangan kiri tampak kesulitan setiap kali hendak menyendokkan nasi di atas piring. Gadis kecil itu melihat ke arah sang ayah sejurus kemudian. Sang ayah menyadari ia tengah dipandangi. Matanya beralih pada gadis kecil di sampingnya. Bibirnya lantas menyunggingkan senyum.

"Tidak apa-apa. Ayah bisa sendiri kok. Kamu lanjutkan makanmu. Makan sampai kenyang. Setelah itu kamu tidur. Sudah malam."

"Baiklah jika itu kemauan Ayah. Aku sudah selesai. Sekarang aku mau pergi tidur. Selamat malam Ayah."

Sang ayah menganggukkan kepala lantas tersenyum ke arah putri kecilnya. Ia masih berusaha menghabiskan beberapa sendok nasi di piringnya dengan tangan kiri. Gadis kecilnya sudah berlalu menuju kamar tidur setelah meletakkan piring bekas makannya di dapur.

Malam yang sunyi menjadi temannya menghabiskan nasi dingin itu. Pikirannya terlalu penuh dengan banyak hal. Banyak pertanyaan. Sedang hatinya sesak oleh gemuruh kesakitan, keharuan, dan segala macam kepahitan yang ia rasa. Matanya berkaca-kaca, tidak lama kemudian butiran bening itu mengalir melewati pipinya yang penuh debu jalanan. Bahunya terguncang. Tangan kirinya membekap mulut sekuat mungkin agar tidak ada suara yang keluar.

Ia menangis dan mengadu pada malam yang kejam. Menikam ketidak berdayaan dirinya menghadapi kehidupan. Ia merintih pilu pada angin yang berbisik merdu. Menghantarkan hidupnya di ujung jurang kenistaan.

Satu yang tidak pernah ia lakukan. Ia tidak pernah merutuki takdir yang menimpanya. Ia tidak pernah menanyakan kepada Tuhannya mengapa ia ditimpa sedemikian. 

Ia hanya berusaha menikmati dan mencari solusi. Mungkin Tuhan masih belum mengizinkannya menikmati nafas dengan lapang. Mungkin Tuhan masih belum memberinya kesempatan untuk berjalan dengan ringan. Mungkin Tuhan belum selesai mengajarinya banyak hal. Mungkin Tuhan masih menginginkannya untuk tetap berada dalam kesederhanaan.

Itu saja.

Malam di Kota Hujan, di sebuah terowongan dengan lampu temaram. Mereka berjalan beriringan.

Salam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang