Chapter One

19 1 0
                                    

Januari, 2014

That morning

"Vino, kamu dari mana aja semalaman nggak pulang?"

Aku melihatnya berjalan pelan dari sudut mataku keluar dari pintu kamar kami. Ya, aku menunggunya semalam walau sempat tertidur tapi begitu aku mendengar suara mesin mobilnya memasuki pekarangan rumah dan bunyi pintu terbuka, aku yakin itu dia.

"Kerja."

Mungkin aku tertidur terlalu pulas karena aku melihat rambutnya yang masih basah seperti habis mandi dan pakaiannya yang rapi. Sudah siap untuk berangkat kerja. Great, now already in the morning. Again.

"Kerja?"

"Ya. Kerja."

Kerja. Kerja. Kerja. Selalu begitu jawabannya selama dua minggu terakhir ketika aku bertanya keberadaannya.

"Vin, look at me! Kamu pikir aku wanita bodoh ya?" Tanyaku dengan nada yang cukup pelan—berbeda dengan apa yang ada di dalam benakku sejak semalam.

"Apa lagi sih? Kan aku udah bilang, aku kerja." Jawabnya malas sambil menuju ke arah dapur. Aku melihatnya mengambil segelas air.

"Kamu bayar berapa wanita itu per jam? Cukup untuk memuaskan nafsu besar kamu?"

"Kamu gila, Ra." Jawabnya pelan setelah meneguk habis segelas airnya dan berjalan pelan mengambil tas yang tadi dia taruh di sofa tak jauh dariku.

Jawabannya yang tenang dan sikapnya yang tenang juga menyulut amarah yang sudah ku tahan lama.

"Kamu yang gila! Kamu nikahin aku cuma untuk dijadikan pembantu, memasak, melayani kamu di rumah sedangkan kamu kelayapan tiap malam untuk memuaskan nafsu besar kamu!" Teriakku. Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya.

Dengan cepat, kepalanya berbalik padaku, memberikan tatapan dengan tajam. "Aku bosan! Bosan, Lara! Hidup kita begini-begini aja. Pikirin deh! Kamu di rumah kerjaannya cuma tinggal makan dan ngangkang aja kan?"

- - - - - - -

Februari, 2017

That noon

Hiruk pikuk Depok yang sekarang sudah seperti Jakarta membuatku menghela napas ribuan kali hari ini. Oke, nggak ribuan kali tapi tetap membuatku banyak menghela napas. Aku menyeruput teh sambil memandang padatnya pengunjung Mall Plaza Indah. Hujan yang dari tadi pagi makin lebat nggak cukup untuk menenangkan hatiku yang lagi kalut. Mengingat pertengkaran kami yang dulu. Entahlah, begitu saja terbersit dibenakku ketika melihat sepasang kekasih berdebat tepat di depan kaca transparant Starbucks.

Kerjaannya cuma tinggal makan trus ngangkang aja kan.

Kalimatnya yang menuduh dan begitu menyakitkan yang masih belum bisa aku lupakan sampai sekarang. Setelah berjam-jam merenungi nasib percintaanku yang sial itu, akupun beranjak pergi sambil mencari ponsel di dalam tasku, tidak disengaja aku menabrak bahu bidang.

"Eh, sorry, nggak—" Aku terpaku saat melihat wajahnya setelah tiga tahun lebih tidak bertemu.

Wajahku tiba-tiba terasa kaku. Alvino.

"Lara."

Mungkin setelah beberapa detik kami saling bertatap-tatapan yang terasa seperti ribuan tahun—well, you know. Give me a break—tanpa menunggu apapun, aku membalikkan badan secepatnya dan keluar dari Starbucks. Aku mendengar samar-samar suaranya memanggil namaku dan semakin cepat langkah kakiku.

Im not gonna lie. Let me tell you, after meeting your ex and to be exact your ex-husband after ended the marriage three years ago and half and looking at him in the eye and nothing has change him but looking so god damn hot in his super pressed shirt and tight pants. Well, dont blame me for having a goosebump and a faster beating heart than normal. Plus, those lips. Just. . . dont blame me for having wild thoughts. Damn me!

- - - - - - -

Februari 2014

That night

Pertengkaran demi pertengkaran terjadi setelah kalimat menyakitkan itu terlontar dari bibirnya sebulan yang lalu. Walau aku tidak terlalu menunjukan ekspresi yang berlebihan kepadanya, bukan berarti itu tidak menyakitkan. Menyaksikan bibir yang sangat aku suka gigit ketika ciumannya semakin mendalam dan begitu memabukan ketika menyentuh bibirku, tak kusangka aja mengeluarkan kata-kata yang sangat berbisa.

Aku duduk di depan pantry sambil menatap amplop coklat di depanku. Saat aku mendengar suara mesin mobil dimatikan, langkah kaki yang mendekat sampai akhirnya aku mendengar pintu rumah yang terbuka dan tertutup lagi, tangan ku mengepalkan semakin kuat.

"Saya ingin bercerai." Kataku. Jantungku berdegup dengan kencang.

Walau sudah bermenit-menit setelah aku mengucapkannya dan dia masih belom menjawab juga, yang aku yakini bahwa dia sudah menghilang ke kamar kami. Akupun menghela napas. Ketika aku hendak mengambil pulpen dan mulai mengeluarkan kertas dari amplop tersebut, satu hentakan keras dan pulpen beserta kertas tersebut terjatuh.

"Kamu gila, Ra?" Tanyanya pelan. Dan ketika mendapati aku hanya terdiam dan menatap matanya serius, suaranya meninggi. "Kamu gila mau menceraikan aku? Aku ini suamimu!"

Aku menatapnya tak percaya. "Are you seriously kidding me right now?" aku mendekat kearahnya dan mengacungkan jariku ke dada bidangnya. "Anda pikir dengan tiba-tiba minta maaf sebulan lalu dan beberapa hari yang lalu dengan mudahnya anda bilang hey, aku khilaf udah selingkuh dari kamu dan aku harap kamu mengerti dan kita bisa kembali seperti dulu dan kamu. . ." aku terdiam, menenangkan napasku yang semakin menderu-deru, "setelah berbohong dan tidur dengan wanita lain di belakang saya dan anda masih berpikir bahwa anda suami saya?"

Aku mendengus, sedikit tertawa sambil menunjuk ke kepalaku. Think, Vino. Think harder. Cmon, I thought you are smarter than that.

- - - - - - -

Februari, 2017

That night

Saat aku memasuki pekarangan rumah, aku melihat mobil Toyota Rush keluaran terbaru bertengger di sana. Setelah memarkirkan mobil, aku keluar mendekat mobil tersebut. Sebelum aku sampai, pemilik mobil tersebut keluar dari sisi pengemudi. Orang tersebut, sang pemilik adalah orang terakhir yang aku ingin lihat di dunia ini. Believe me, I do. I really do.

"Lara."

"Ngapain kamu di sini?"

"Aku ingin ngomong sama kamu."

I really hate this guy. I really hate our, I mean, my situation right now. And I am literally tired as hell, so I am not gonna debate with him and just swallow my pride and my hate towards him. Yeah, I definitely can do that. Piece of cake. Piece of pie.

Tanpa menjawabnya, aku menuju bangku di dekat taman tak jauh dari pintu masuk rumahku.

"So?" tanyaku, duduk dengan kedua tanganku terlihat di depan dadaku dan kau tahu? Berani-beraninya lelaki kurang ajar ini melihat dadaku. Can believe his nerves freaking guts!

Hei, muka saya disini! kataku sambil menjentikkan cari di depan wajahnya. Dia memalingkan wajahnya dan aku bisa pastikan, ada seringai kecil diujung bibirnya meskipun sedetik kemudian menghilang. Dia kembali menatapku dan duduk tak jauh dariku.

"Kamu apa kabar, Ra?"

Aku terdiam beberapa saat sebelum menjawab. "Baik."

Dan kami kembali terdiam. Setelah aku rasa sudah cukup lama, akupun mendecak jengkel. "Ini udah malam. Saya capek. Mendingan kamu pulang aja."

Aku menatapnya tanpa ekspresi dan aku masih merasakan ada hal yang ingin dia sampaikan tapi tak jadi. Tanpa menunggu jawabannya, akupun melangkah menuju pintu rumah dan gerakanku ketika membuka pintu terhenti ketika aku mendengarnya berkata.

"Aku masih rindu kamu, Lara."

---------------------

I AM BACK AFTER ALL THIS YEARS *evil laugh*

Maaf kalau banyak grammar dan hal yang nggak nyambung hehe masih belajar and i am welcoming the critique and advice or suggestion.

XOXO,

LaraJean

Mend The Broken OneWhere stories live. Discover now