Gemericik air hujan malam itu, menambah suasana seram tersendiri bagi Maya. Gadis itu terus berlari menyusuri tiap lorong yang ada. Kakinya yang tanpa alas, ia biarkan bersentuhan langsung dengan tanah. Sebenarnya, kakinya sudah tidak kuat lagi untuk berlari. Namun, dia harus berlari agar dirinya tidak diketahui.
Air hujan mulai menyamarkan baunya. Jejak kakinya pun sirna terhapus oleh ribuan tetesan air hujan. Tanpa jejak. Kini dirinya tidak akan diketemukan. Setelah ia berlari dirasa cukup jauh, tanpa jangkauannya, ia bersembunyi di balik tumpukan plastik sampah. Baunya yang menyengat bisa menyamarkan bau tubuhnya.
Ia terus menutupi mulutnya dengan telapak tangannya. Agar tidak ada satu desibel pun yang tercipta. Dalam keadaan dingin menggigil ia terus bertahan. Pendengarannya mulai menajam ketika terdengar bunyi langkah kaki. Nafasnya memburu ketika mendengar suara itu memanggil namanya. Tubuhnya bereaksi hebat.
Bunyi decakan akibat pertemuan alas sepatu dengan air mulai menambah kekhawatiran Maya. Ia hampir tersedak oleh salivanya sendiri karena menahan dirinya agar tak menjerit. Ia takut jika ditemukan. Bunyi decakan itu kian lama kian mendekat. Hingga bunyi itu tidak lagi terdengar.
"Mungkin dia sudah pergi. Aku selamat," ucapnya seduktif mungkin.
Dia mulai mengintip dari balik tumpukan plastik sampah yang membusuk. Maniknya mulai memindai tiap sudut gedung di sepanjang jalan sepi itu. Ia menghela napasnya dan memejamkan matanya. Ia selamat.
"Hai, sayang!" pisau mulai menancap di kepalanya.
"Aaarrgghh!"
Maya terbangun dari tidurnya. Ia mulai mengatur napasnya agar teratur. Peluh mulai membasahi turun dari puncak kepalanya hingga berjalan melewati mata dan hidungnya. Meskipun sudah mencoba beberapa kali, napasnya masih tersengal.
Akhir-akhir ini ia terus bermimpi tentang seorang pria yang sama sekali tidak ia ketahui. Bahkan, bisa dikatakan pria dalam mimpinya itu belum pernah ia temui selama hidupnya. Siapa pria itu? Darimana ia datang? Bagaimana semuanya terasa begitu nyata?
Ia menoleh ke aras nakas, dan mendapati segelas air putih dan beberapa butir obat. Pantas saja ia bermimpi buruk seperti ini. Obat yang seharusnya ia minum sebelum tidur, ia lupa meminumnya.
***
"Lesu sekali? You don't have your breakfast?"
Gadis itu tak bergeming. Ia memilih tidak menjawab pertanyaan yang bisa dikatakan morning greeting dari temannya tersebut. Pertanyaan-pertanyaan aneh selalu mampir setiap harinya dan selalu berbeda. Pernah suatu menanyakan apakah ia sudah buang air besar? Apa susahnya mengucapkan selamat pagi daripada harus menanyakan hal-hal aneh.
"Tugasmu sudah selesai?" Megan merogoh laci temannya itu. Dia tahu temannya itu tidak akan suka jika acara tidur pagi sebelum pelajaran dimulai harus diganggu. Megan mulai menyalin tugas milik yang seharusnya dikerjakan di rumah itu.
Dia terlalu malas untuk mengerjakan tugas rumahnya. Toh ada Maya--her chairmate-nya, yang kepalanya hanya berisi angka dan hafalan tentang buku pelajaran. Ia tidak perlu susah payah berpikir. Bukan karena otaknya yang tidak bisa mengikuti pelajaran tiap kelasnya, permasalahan yang ada dalam dirinya hanya satu, yaitu malas.
"Sebaiknya kau bangun, Amaya!" titah Megan sambil memukul punggung Maya menggunakan bukunya. "Kau tidak bisa tidur seperti ini terus. Aku butuh seseorang untuk diajak bicara!"
Maya pun mengangkat kepalanya, dan melihat kelas sudah lumayan ramai. Terdapat sekitar setengah dari penghuni kelas yang sudah memasuki kelas. Maya mulai menyipitkan matanya dan mencari salah satu murid disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distraction || Oneshot
Mystery / ThrillerAmaya seorang remaja yang selalu dihantui oleh sosok yang tak ia kenali. Makin lama sosoknya makin nyata, ditambah seorang guru baru yang datang ke sekolahnya hampir mirip dengan sosok yang menghantuinya selama ini.