Aku bangun di hari Senin. Monday is the worst, actually. Sambil mengusap mataku berkali - kali aku berjalan lemah menuju pintu kamar mandi. Dan beberapa saat setelahnya terdengar deburan air yang menghantam badanku yang lusuh bangun tidur.
Tepat lima menit setelahnya aku keluar dengan handuk menutupi pinggang sampai kaki, bertelanjang dada membiarkan tetes air dingin yang lolos dari rambut acak acakanku, membasahi dada.
Ya Tuhan, aku ada kelas hari ini. Segera aku menyambar beberapa pakaian pantas, mengenakannya lalu menyisir dengan cepat. Kenapa aku bisa lupa? Hari ini Senin, saudara - saudara. Aku ada ujian semester dan nyawaku di tangannya.
(Oke, itu memang lebay tapi sungguh ini penting bagiku kalau tidak mau setengah abad menghabiskan usia mengejar s1)
Entah bau apa yang menyeruak dari kemeja putih ini, yang jelas harum. Aku bahkan tak ingat apa aku memakai deodorant setelah berkemeja. Tas hitamku yang digantung di belakang pintu langsung kutarik dari tempatnya, dan tanpa terasa pintu flatku telah terbanting keras. Aku tak lupa menguncinya walau dengan satu tangan karena tangan kananku kugunakan untuk mengikat tali sepatu.
--
Sampai juga aku akhirnya di kelas Pak Fadly, setelah menabrak setengah lusin atau bahkan selusin mahasiswa yang juga senasib denganku di koridor.
Aku bernapas sangat dalam, menunjukkan kelegaan amat sangat. Terimakasih Tuhan karena dosen tua itu masih di perjalanan (katanya). Tapi di kelas ini pun tak.ada tanda - tanda kepala botak khasnya di kursi depan.
Tanganku mengorek isi tas, mencari sebuah pena. Aku lupa! It's just a pen, Sean. Don't be panicky. Setelah meyakinkan diri bahwa pulpen itu memang tertinggal di dapur saat makan kemarin, aku menyandarkan punggung di kursi. Mataku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut, mencari wajah yang bisa dipinjami pulpen dengan senang hati.
Mataku tertumbuk pada sebuah kemeja warna putih susu, hampir sama denganku tapi tetap saja beda. Ada sebuah motif berwarna peach di sela lembutnya warna kemeja itu. Bukan bukan. Bukan kemejanya yang kuperhatikan. Tapi lihat!
Seorang gadis yang manis, rambutnya cokelat tua, makin legam diujungnya, digerai begitu saja. Ia menghadap ke arahku, sehingga aku bisa melihat lesung pipi kiri yang terbentuk bahkan ketika tidak sedang tersenyum. Alisnya tebal dan tegas, sesuai mata yang secokelat rambutnya. Lengannya putih pucat, sama seperti kulit yang membungkus badannya. Anting emas putih keperakan pun memantul karena bias dengan kulitnya.
Makhluk apa ini? eh bukan maksudku siapa ini? Aku tak pernah mengenalnya.. Siapa? Hmm, dia cukup cantik untuk gadis seusiaku, tampak manis dan cerdas.
"Hei!" ucapku membuyarkan lamunannya. Aku sangat mengganggu, aku bisa melihat itu dari mata beningnya.
"Hai.Ada apa?" tanyanya, menatapku aneh. Dia memaksakan diri tersenyum.
"Boleh pinjam pulpen?" tanyaku, disambut dengan anggukan pelan. Ia merogoh kantong ranselnya dan aku menunggu sambil memerhatikan rambutnya yang terlihat sehat dan bervolume itu.
"Nih," katanya dengan santai, menyodorkan sebuah pulpen berwarna hitam.
"Thanks" ujarku pelan, lalu menanyakan namanya. Kuyakin dia punya nama yang bagus. "Namamu siapa? Kita bahkan belum pernah kenal lalu aku sudah meminjam pulpenmu" kataku nyengir.
"Alana Adiza"ujarnya sambil tersenyum malu, tangannya mengambang di udara, menunggu sambutanku."Tidak masalah, andai kau melarikan pulpen itu aku juga masih punya banyak" dia lalu tertawa kecil. "By the way, siapa namamu?"
Aku menyambut hangat uluran tangan Alana. "Sean Darmawan" ujarku percaya diri, seakan -akan berkenalan denganku adalah hal yang diimpikan banyak orang. "Panggil saja Sean. Oh ya, aku mau balik ke kursiku. Thanks pulpennya, nanti istirahat kukembalikan. Apa kau punya janji untuk bertemu seseorang waktu istirahat nanti?"
"Tidak. sejujurnya aku masih baru jadi aku belum tahu banyak tentang kampus ini dan orang-orangnya"
"Ya sudah, kita istirahat bareng saja. Akan kutunjukkan kamu tempat nasi goreng paling enak" jawabku seenaknya. Alana hanya tersenyum penuh terimakasih.