Batu empedu. Operasi. Oh Tuhan! Aku memejamkan mata erat.
"Apakah terasa sakit ketika disentuh?" Suara dokter mengembalikan perhatianku. Keningnya terlihat berkerut ketika bertanya. Kualihkan mataku pada bunda yang terlihat meringis menahan sakit. Perlahan beliau mengangguk.
"Ada apa, dok?"
Beliau menggeleng, bibirnya membentuk garis tipis yang serius membaca laporan yang dibawa perawat pendamping yang sebelumnya hanya dilirik sepintas lalu. Raut yang sebelumnya menunjukkan rasa bosan kini lebih berkonsentrasi ketika sekali lagi menekan satu bagian perut Bunda.
Setelah terdiam lama, Dokter Johanes berdeham sebelum berkata sambil menatap Bunda. "Sayaa harus melakukan beberapa tes lagi untuk bisa memastikan dugaan saya."
"Tes?" tanyaku. Setiap kata yang keluar dari mulut beliau terasa seperti sengatan listrik. Lagi pula, tes apa lagi yang dibutuhkan padahal beliau sudah memutuskan untuk melakukan operasi. "Dugaan apa, Dok?"
Beliau membaca laporan kesehatan dari perawat yang mendampingi, lalu menginstruksikan beberapa hal kepada perawat pendamping sebelum menjawab pertanyaanku. "Tes urine, CT-scan, MRI." Lalu beliau keluar setelah mengangguk dan tersenyum samar tanpa menjelaskan apa-apa lagi.
Aku terus menatap kosong pintu yang baru saja ditinggalkan, bingung harus berbuat apa sampai merasakan Bunda meremas jemari tanganku yang bahkan tidak kusadari sedikit gemetar. Aku menghitung sampai tiga sebelum berpaling. Tapi senyum kuat yang ditampilkan Bunda membuatku luruh.
Demi bunda, demi Dimas, aku menguatkan diri. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan mereka berdua meski rasanya aku ingin berteriak kencang. Aku tidak ingin menambah beban pikiran bunda dengan air mataku, tidak ingin pula membuat Dimas panik. "Bunda pasti nggak apa-apa," bisikku. Lebih kepada diri sendiri karena rasanya aku hampir kehilangan kendali. "Ya. Bunda pasti nggak apa-apa," kataku sekali lagi dengan lebih anggukan kepala mantap.
Setelahnya, semua berlalu cepat. Alcander datang saat aku duduk di lobi rumah sakit. Ia menemaniku di kamar saat Dimas pulang ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian lalu datang lagi satu jam kemudian bersama Mbak Ani dan Mbak Ima membawa beberapa barang milik Bunda dan buah-buahan. Setelah bertukar cerita tentang kejadian semalam, Mbak Ani dan Mbak Ima memilih duduk di bangku depan agar tidak menganggu Bunda yang sedang beristirahat setelah minum obat.
"Ayo, aku antar kamu pulang supaya kamu bisa mandi dan istirahat sebentar." Alcander menghampiriku, mengusap punggungku pelan.
"Nanti aja." Aku menggeleng. "Bunda ada beberapa tes lanjutan. Aku mau nemenin."
"Aku tadi sudah tanya di depan, tante dijadwalkan tes jam satu siang ini." Alcander melirik jam tangannya. "Sekarang masih jam sepuluh. Ada Dimas, Mbak Ani, dan Mbak Ima yang akan jaga tante sementara kamu mandi dan sarapan."
"Tapi---"
Ia menarikku berdiri. "Nggak ada tapi. Ayo. Aku tahu kamu belum makan dari tadi pagi." Lalu setengah menyeretku ke pintu.
Di depan, Dimas duduk di sudut bangku di hadapan Mbak Ani dan Mbak Ima. Walaupun matanya terpaku menatap buku di tangan, tapi tatapannya kosong. "Dik." Butuh beberapa saat untuk Dimas berkedip lalu mengangkat kepala. "Kakak pulang dulu sebentar nggak apa-apa?"
"Iya."
"Mbak, temenin Dimas di sini dulu ya. Aku mau pulang sebentar. Mandi, ganti baju. Nggak lama kok," ucapku.
"Kamu mau makan apa?" tanya Alcander sambil menatap jalan raya yang padat. Aku hanya menggeleng. Merasa tidak berselera untuk makan. "Mau nasi uduk Mpok Leni nggak? Ketupat sayurnya Pak No sih mungkin sudah habis," tambahnya lagi setelah melirik jam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Bestfriend
Aktuelle LiteraturVersi revisi It's Okay. This is Love. Arabella dan Alcander bersahabat sejak keduanya masih belia. Dengan perbedaan status, usia, dan sifat yang mencolok, keduanya mampu menjalaninya dengan baik. Sampai masing-masing memiliki kedekatan dengan orang...