Penggalan

41 3 0
                                    

Disebuah desa yang lama tak diguyur hujan, serangga pawai berbondong-bondong melakukan perjalanan panjang meninggalkan kampung halaman. Pepohonan hanya mematung menunggu terkaan angin sambil menggugurkan daun, merapuhkan ranting-ranting kering. Burung-burung kebingungan mencari tempat berteduh, semampunya mereka bersarang diatap-atap rumah penduduk desa.

Sumur-sumur kering, sungai tak mengalir, tanaman petani ludes termakan hama-hama revolusioner sejak november silam.
Hawa panas menguasai udara yang berhembus masuk melalui pintu, jendela dan celah-celah renggang dinding papan. Jalanan berdebu memekatkan pandangan layaknya kabut erupsi disejauh mata memandang.

Orang-orang di desa bekerja serabutan, mencari rumput untuk ternak mereka, mengambil pasir di sungai musi yang kekeringan, berjualan jajanan pasar, dan hasil bumi mereka yang tak seberapa itu. Keprihatinan ini sudah puluhan tahun dialami pendahulu-pendahulu mereka yang terbiasa hidup seadanya, asal bisa makan sudah bagian dari kesejahteraan.
                                 
                                  ***

Pagi-pagi buta penduduk desa beramai-ramai keluar rumah. Berkumpul dibalai desa dengan membawa perlengkapan kebersihan. Dua hari sebelumnya, sudah diumumkan dikantor balai desa bahwa lusa bertepatan dengan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, Maka hari ini diadakan kerja bakti bersama untuk menyambut kedatangan Bapak Bupati beserta Dinas kebersihan sekaligus ikut memeriahkan lomba kebersihan antar desa se-kabupaten. 
Masyarakat sangat antusias menyambut hari besar ini, orang-orang tua dan para pemuda berjejal-jejal menyesaki balai desa sejak pagi tadi. Kepala desa memberi sambutan seperti biasa kemudian mengintruksikan tugas ke masing-masing warga. Ada yang dipilih sesuai keahlian mereka, seperti menghias Taman, mengecat gapura, menebas rimbun semak belukar, dan menata rapi bebatuan tepi jalan yang berserakan.

Ini pertama kalinya bupati akan mendatangi desa tersebut yang baru-baru ini sedang tidak baik musimnya begitupun alam sekitarnya. Sebab kemarau yang berkepanjangan ini sudah banyak menghambat perekonomian warga desa terutama di sektor pertanian. Warga dibuat pontang-panting mencari kebutuhannya sendiri dan kelanjutan nasib tanaman mereka. Tidak sedikit dari mereka yang pergi begitu saja meninggalkan ladang yang sudah tak memberikan buah harapan. Warga lebih memilih merantau ke kota menukar peruntungan pada pundi-pundi rupiah di pabrik maupun bekerja serabutan. Tidak cukup sampai disitu, warga sudah termiskinkan oleh kebodohannya sendiri kendati lemahnya pola pikir yang tergiur oleh uang yang berjuta-juta untuk ditukarnya dengan bukit-bukit hijau milik mereka. Hari demi hari cuaca berubah menjadi ancaman dibeberapa tahun kedepan. Truk-truk pengangkut tanah berbaris melewati depan rumah warga, menutupi taman-taman mereka dengan debu yang sudah mengudara.

"Kita tidak mungkin menang! Haha..." celetuk kencang dari seberang kerumunan.
"Husss... Diam kamu!", salah satu warga menjawab menyentak.
Pagi itu warga tersebar dikanan kiri jalan mencabut rumput-rumput malang, menyibak dedaunan kering yang berjatuhan. Truk-truk pengangkut harta karun itu melewati mereka dengan sapaan debu yang telah akrab dikeseharian warga.
"Danar!, sini" seorang memanggilnya dari balik pagar bambu.
"Ada apa?" Jawab Danar yang duduk diteras rumahnya.
"Kamu ndak ikut kerja bakti?"
"Baktiku sudah setahun yang lalu bukan?" Danar balik menegaskan.
"Terserah apa katamu, wong edan" orang itu tak menggubrisnya.

Danar namanya, pemuda berwajah sangar yang tak pernah mengenyam pendidikan SMA itu selalu saja membuat masalah dengan pemerintah desa dan beberapa warga yang pro pemerintahan. Ia adalah pemuda idealis penentang kebijakan pemerintah yang tak sesuai dengan norma dan budaya-budaya leluhur dimasyarakat. Tak heran jika ia sering membantah dan melawan keras terkait penjualan bukit-bukit yang dilakukan oleh warga.
Setahun yang lalu Danar hampir tewas dimasa oleh preman pemilik sekaligus pembeli tanah perbukitan di desanya. Danar sangatlah berani menentang, mengajak warga melawan balik, menyuarakan aspirasi dan dampak buruk bagi alam dan lingkungannya. Penindasan yang berkelanjutan ia gembar-gemborkan dihadapan banyak masyarakat terutama tentang reklamasi yang dilakukan pengusaha-pengusaha besar yang disokong dari negara-negara tetangga. Sekali mencicipi akan dimakan habis warisan nenek moyang kita, begitulah teriakan Danar.

Namun tidak sedikit pula masyarakat yang mengecam kecerobohan Danar, bahwa akan berdampak buruk bagi warga jika kekesalan itu selalu disuarakan tanpa adanya dukungan kuat dari pemerintah ataupun presiden. Bukan pemberontak namanya jika loyo hanya karena ucapan pesimis dari pengecut pengharap keuntungan. Tidak ada yang bisa goyahkan tekad bulat Danar untuk tetap menegakkan keadilan demi kemaslahatan umat manusia. Apapun resikonya, sudah menjadi prinsip jalan hidupnya.

Selama bertahun-tahun Danar terkapar sendiri direlung batin perlawanannya. Tekadnya yang dulu membara, kini mulai melumpuhkan langkahnya meniti asa. Porak-poranda perasaannya kesepian di jalan yang telah ia pilih. Sendiri dibukit jauh nun tinggi menancapkan bendera keadilan yang kasat mata tertutupi pepohonan dan kabut-kabut kekuasaan. Lemas tubuhnya pergi menyendiri dari kehidupan nyata. Danar si pemberani telah tumbang dikalahkan oleh penguni alam yang liar.

(Bukan pejuangan namanya jika menyerah begitu saja, Danar masih punya cara lain untuk mewujudkan mimpinya mesti nyawa jadi taruhannya. Dan Namia adalah jalan keluarnya).

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DanarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang