Mamamu punya obsesi. Memanggil-manggil matahari dengan bernyanyi. Warna nadanya yang cenderung berat, bergetar, dan menguat di akhir mengalun perkasa dari puncak gunung sampai ke kamar tidurmu. Ada rasa bangga pada dadamu, tapi ada juga rasa kecewa. Kenapa? Karena Mama tidak pernah sempat mengajarimu bernyanyi seperti itu.
Kakakmu lebih menyebalkan. Setiap hari ia melukis kulitnya menjadi aurora. Ia juga melukis orang lain. Tapi ia tidak pernah mau melukis dirimu. Dan ketika kamu ingin tahu cara melahirkan ungu, hijau, dan oranye dari tanduk Biri-Biri-Biri, ia hanya menjawabnya dengan satu kata. Rahasia.
Papamu yang paling brengsek. Oh para peboneka salju memang brengsek. Dia sering menancapkan pisau-pisaunya di tubuh Mamamu, Kakakmu, dan dirimu. Papamu bilang, semua darah itu diperlukan untuk menghidupi pertunjukkan boneka-boneka saljunya. Tapi. Papa dan para peboneka itu tidak pernah membuka pertunjukkan bonekanya untuk umum, bahkan untuk keluarga mereka! Padahal panggung tertutup mereka yang megah di tengah kota itu selalu terdengar sangat gaduh dan seru jika ada pertunjukkan.
Rumahmu semakin besar. Perabot semakin banyak. Makanan semakin enak. Tapi kamu sudah membuang harapanmu pada tempat itu. Setelah lulus sekolah seni dasar, kamu putuskan untuk pergi. Bersama empat teman yang antusias, kamu nekad mendatangi pondok terpencil di mana sesorang yang menyebut-nyebut dirinya sebagai Juru Ayom Bahana tinggal.
Kamu belajar banyak dari Juru Ayom Bahana. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Perlakuannya pada dirimu terasa tidak wajar, sakit, dan … nikmat? Bertahun-tahun lamanya, cukup sampai kamu mulai mengerti bahwa kamu terjebak dalam perbudakan pelecehan. Bukannya tidak peduli, tapi kamu masih sangat ingin menyerap adalah ilmu pengetahuan darinya dan tetap tinggal bersamanya. Karena pengetahuan tentang Skala Semesta sangat menarik bagimu.
***
Jadi, apa dulu alasan kamu mendekatinya? Menuntut ilmukan? Ilmu yang lebih mistis, ilmu yang lebih antik, supaya kamu bisa lebih menunjukkan siapa dirimu kepada dunia, bukan siapa papamu, siapa mamamu, atau siapa kakakmu. Kamu, Silehn Sovkhan, siap menuntut kebenaran berupa ilmu, dan ilmu berwujud kebenaran, dengan apapun bayarannya.
Lalu kenapa kamu membunuh gurumu Sang Juru Ayom Bahana itu? Kamu dengan yakin menjelaskan kepada dirimu sendiri, bahwa dia memang pantas mati. Dia tidak hanya melecehken kamu dan teman-temanmu selama bertahun-tahun, tapi dia tidak segan menghilangkan nyawa teman-temanmu yang mencoba melarikan diri. Oh itu bukan yang terburuk. Yang terburuk dan benar-benar membuatmu frustrasi sehingga membunuhnya adalah ketika dia mulai menjadi sangat-sangat pelit dalam mengajari ilmu-ilmunya, seakan-akan dia sengaja menjauhkannya darimu, dia bilang bahwa ilmu tahap lanjutan sudah berkaitan dengan bahasa Darma kuno yang berbahaya, HAH! Kamu tidak peduli! Maka terjadilah pada malam itu, ketika dia sedang melecehkanmu, kamu gigit putus benda yang melecehkanmu selama ini, kamu remas hancur bola-bolanya, kamu bakar rambutnya dengan menghasut api pada lilin-lilin, dan kemudian, uh selanjutnya, ah … kamu tidak mau lagi mengingat perbuatan kejimu malam itu, yang kamu ingat dengan begitu manis adalah ketika kamu sungguh tertawa terbahak-bahak sampai perutmu sakit, begitu girangnya menertawai sosok sakti mandraguna yang menjadi tidak berguna ketika nafsu mengaburkan ilmu di kepalanya!!!
Pagi itu, setelah puas menyiksanya sampai mati, kamu mencuri buku-buku berharganya dan segera meninggalkan kota, meninggalkan negeri, berkelana terus mencari ilmu. Kamu sungguh bangga akan pencapaian dan kekeraskepalaanmu sendiri, kamu merasa sangat siap menaklukan dunia.
***
Daratan warna-warni? Batu merah muda? Tanah hijau? Tumbuhan berbentuk ikan? Udara yang hangat tapi busuk hingga hidungmu terasa sangat gatal? Air? Tidak ada sumber air selama dua hari kamu tersesat di tempat gersang terkutuk ini! Hmm dua hari? Perhitungan itu sebenarnya juga kamu tidak yakin, karena tempat ini berkabut dan kamu tidak mampu tahu pasti posisi matahari di langit yang … terlihat retak itu? Tapi setidaknya kamu cukup bahagia akhirnya mampu mencapai tempat ini setelah melalui perjalanan penuh tipu muslihat dan telikung takdir! Oh, dan dalam perjalanan kemari, sudah puluhan dongeng, puisi, dan lagu kamu tulis! Jika sebentar lagi kamu belum juga mencapai Rimba Gaib itu di tengah daratan rusak ini maka, kamu ak—