hai.

4 1 0
                                    

Hai. Namaku Devina Omkara.
Dan ini ceritaku.

# july 2006

Hari pertama aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku bersekolah di salah satu sekolah swasta di Kota Makassar pada saat itu. Seperti halnya anak normal, perkenalanku, persahabatan, hubungan keluarga, semuanya normal-normal saja. Aku bisa yakin bahwa aku adalah salah satu dari manusia paling bahagia di seluruh jagat raya pada saat itu.

Beberapa hari setelah masuk di Sekolah Dasar aku sudah memiliki banyak teman. Bukan maksutku untuk menyombongkan diri, tapi memang aku tipe manusia yang frendly. Berteman bagiku adalah hal yang mudah.

Untuk kelas 1-3, sekolah dimulai dari pukul 07.00 sampai 11.00
Sedangkan untuk kelas 4-6, akan bersekolah hingga pukul 13.00

Aku di antar-jemput dengan supir pribadi orang tuaku, setiap pulang kerumah sudah tersedia makan siang yang dimasak oleh asisten rumah tangga yang sangat setia, katanya ia bekerja disini semenjak ibuku masih remaja.

Yah, seperti yang aku bilang. Aku adalah salah satu manusia paling bahagia sejagat raya. Keluargaku bisa dibilang keluarga golongan keatas yang sangat mampu, nama besar keluargaku bahkan dikenal hampir di seluruh Sulawesi Selatan sebagai keluarga yang kaya raya.

Bahkan aku selalu berdoa sebelum tidur "Ya Tuhan. Jika hidupku seperti ini terus, aku mau hidup selama lamanya."

Sayangnya itu hanyalah doa yang kupanjatkan saat kecil.
Yah. Kita semua tau, semua doa anak kecil itu tidak realistis!

# September 2006

Hal yang paling aku benci saat bersekolah adalah upacara. Hmm siapa yang suka upacara?
Di setiap upacara selalu ada saja manusia yang akan pingsan. Khusus di sekolahku, manusia yang "selalu" pingsan adalah, aku. Bahkan temanku biasa taruhan aku akan pingsan sebelum bendera merah putih selesai di kibarkan oleh paskibra.

Sudah 2 bulan aku bersekolah. Ternyata "kebiasaan" pingsan ku saat upacara diperhatikan bukan hanya oleh temanku, dan murid-murid yang lain, tapi juga guru-guruku. Mereka semua selalu bertanya-tanya apakah aku sarapan dan terawat dirumah. Yah, tentu saja! Aku bahkan pernah sarapan yang banyak sebelum upacara, tetapi tetap saja. Pingsan.

Aku pernah ditawarkan oleh guru-guru, mereka bilang jika aku sudah merasa tidak kuat, aku bisa ke barisan paling belakang lalu duduk istirahat. Tapi tetap saja, aku pingsan sebelum aku menyadarj bahwa aku akan pingsan.

Pada akhirnya aku ditawarkan untuk berbaris dengan kursi. Menurut guru-guru yang lain akan tidak adil jika aku tidak mengikuti upacara dan bebas duduk dan bermain di kelas. Jadi berbaris sambil duduk adalah solusi yang terbaik saat ini.

Jika kalian kira cerita ini akan menjadi seperti drama di film-film, dimana aku akan dilihat sinis oleh murid-murid yang lain karna bisa upacara sambil duduk. Kalian salah.
Murid yang lain malah mendukung agar aku upacara dengan kursi. Apalagi murid di sampingku. Banyak yang bilang murid yang lain lebih tenang jika aku duduk khususnya yang berbaris di samping dan belakangk, katanya supaya mereka tidak perlu berjaga-jaga kapan akan menangkap dan berbondong-bondong menopangku ke UKS.

# Desember 2006

Saatnya ulangan akhir semester. Yah, seperti sekolah pada umumnya tiap semester akan ada ulangan yang kemudian rangkap nilainya akan di tuliskan di rapor sebagai hasil dari belajar satu semester kita.

Aku membaca soal dari ulangan pertama, mata pelajaran yang paling ku benci, IPS.
Membaca nomor satu, untungnya berbentuk pilihan ganda, aku tinggal memilih semampuku,
Saat membaca nomor-nomor selanjutnya, aku menjawab semampuku.

Saat membaca soal ke 14. Aku membaca soalnya berulang-ulang
"Berikut ini yang bukan merupakan manfaat hidup rukun"
Aku hanya bisa bergumam dalam hati. "Yah, aku lupa. Aku tidak tahu. Sepertinya kemarin aku membacanya. Bagaimana ini. Hmm"

Belum selesai berfikir.. tiba tiba ada banyak tetesan tinta merah di kertas ulanganku, aku pun terkejut dan segera menutup pulpenku. "Eh tunggu. Tinta pulpen ku kan warna hitam!" Sadarku.

Tiba-tiba tetesan itu kulihat bertambah banyak hingga membentuk pola bercak merah yang hampir menutupi seluruh kertas ulanganku. Bodohnya aku baru menyadarinya, kalau tetesan itu berasal dari hidungku. Aku mimisan. Aku duduk mematung, panik, merinding, saat itu aku masih berumur 6 tahun. Aku sangat takut melihat banyaknya darah di kertas, tangan, dan lubang hidungku. Satu hal yang langsung terbenak dalam diriku.
"aku akan mati."

- bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

berhenti.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang