Thalitha

6 0 0
                                    

Liburan seminggu, tapi tugas yang diberikan seperti ingin libur setahun. Banyak sekali, aku ini pelajar atau pekerja paksa, sih? Disuruh mengerjakan ini dan itu, kalau cuma sedikit, tidak apa-apa. Tapi ini? Ingin sekali aku menghilang disaat seperti ini.

Sekolahku meliburkan siswa kelas 10 dan 11, karena kelas 12 sedang menjalani UN. Aku yang masih kelas 11 sudah pasti kebagian libur. Tapi, bukannya senang aku malah kesal. Lebih baik aku sekolah, dari pada libur tapi tugasnya melebihi saat aku masuk.

Buku-buku yang penuh dengan coretan hururf PR itu, aku masukan kedalam tas. Tidak ditata, asal saja kumasukan, biarin kusut, suruh siapa membuatku kesal. Setelah semuanya telah kumasukan aku berjalan mengambil jaket dan juga dompet, setelah itu keluar.

"Mau kemana, dek?" Kaki ku berhenti berjalan saat suara Bang Satria memenuhi indera pendengaranku.

"Mengerjakan tugas, Bang."

"Sampai jam berapa? Perlu abang antar?" Abangku memang orang yang sangat perhatian, Bang Satria itu seperti kakak idaman cewek-cewek angkatanku.

"Engga usah, aku juga mau jalan-jalan."
" Sendirian ?"
" Iya, bang"
"Yasudah. Kalo mau minta jemput, telfon Abang, ya."

Aku kembali berjalan melewati pintu rumah dan gerbang. Menunggu taksi online yang sudah aku pesan sebelum keluar rumah.

Taksinya datang tidak lama kemudian, aku segera masuk.

Lima belas menit yang terasa seperti lima belas jam, taksiku sampai didepan cafe yang sehari lalu kukunjungi. Setelah membayar argo, kuturun dari mobil dan segera masuk cafe.

Meja 20 dekat jendela. Sepertinya akan menjadi tempat kesukaanku saat kesini. Pelayan datang, pesanan ku masih sama, cappucino dan sepotong red velvet. Sebelum membuka tugas, ku edarkan pandanganku sebentar ke seluruh sudut cafe, entah mencari apa. Mungkin, hanya ingin lihat-lihat saja.

Saat sedang asik-asiknya mengerjakan tugas, suara yang entah sejak kapan menjadi familiar itu, merasuki gendang telingaku. "Kita ketemu lagi, Tha." Kutatap wajahnya, kelihatan capek sekali, rambut yang kemarin terlihat rapih, kini sangat berantakan.

Dia duduk didepanku "Ngerjain apa, Tha?" Sambil mengambil buku yang tadi ku kerjakan "Hmm.." Septian mengusap-usap dagunya, seperti orang yang sedang berpikir "Cara yang nomer lima, ini masih kurang deh. Yang nomer sebelas juga salah jawabannya, dua belas juga, ini harusnya engga usah dibagi, Tha, langsung di jumlah aja buat nomer tiga belas."

Aku menatap wajahnya lalu buku yang sedang Septian pegang, merasa bodoh di depan Septian. Orang yang baru sehari kukenal"Kamu engga usah khawatir, saya bantu."

"Gapapa emang? Mmm.. Maksudku, aku ini engga mudah nerima materi, loh. Aku belajar disini juga, Cuma nyari tempat yang nyaman. Kalau kamu pikir aku ini orang rajin yang sudah pasti pintar, Septian salah." Jelas ku panjang lebar agar Septian mengerti orang seperti apa aku.

Septian tersenyum "Ya, gapapa lah, Tha, kita ini teman kali. Dan teman harus saling membantu, kan?"
"Kalo kamu nerimanya lemot juga, saya ini tipe orang yang sabar." Sambil terus memberi ku senyum.

"Oke" Aku menyetujui tawaran mulia, Septian.
"Tapi, ada syaratnya, Tha."
"Apa, Sep?"
"pertama, kamu harus selalu belajar sama saya. Kedua, nilai kamu harus naik. Ketiga..." Kata-katanya terjeda di syarat nomor tiga, entah kenapa aku meneguk ludahku, ada perasaan tidak enak yang menjalari hatiku untuk syarat nomer tiga.

"Ketiga, kalo kamu ngejawab pertanyaan yang saya kasih salah, kamu harus peluk saya satu menit satu pertanyaan."

Hah? Apa dia sedang mempermainkan aku? Tidak, tidak, ini benar-benar diluar dugaan, dia ini mau modus, ya?

"Aku engga setuju sama syarat nomor tiga."
"Yah, Tha, malah syarat itu emang harus dipenuhi."
"Tapi aku engga mau."
"Kamu mau nya apa?"
"Engga usah syarat macam-macam. Aku mau menuhinya."
"Yaudah, abis ini ikut saya, ya? Sekali ini aja, Tha." Aku menaikkan satu alisku, memberi tatapan mencurigakan padanya. Mau macam-macam ya!!

Seolah tau arti tatapan ku, dia langsung menggeleng cepat "Sumpah, Tha, saya engga bakal macam-macam. Saya cuma mau ngajak kamu jalan, kalo kamu takut bilang sama orang tua kamu, saya yang bakalan bilang." Tangannya membentuk huruf piece, dan mukanya benar-benar lucu sekali.

Tapi, apa aku bisa mempercayai Septian? Dia hanya orang baru, aku belum sangat mengenal dia.

Setelah banyak pertimbangan, akhirnya aku anggukan kepala ku. "Oke, deh. Tapi engga sampe malam, ya." Dia mengangguk, senyumnya terbit semakin lebar.

"Tha, kalo saya mau jadi temen kamu gimana?" Aku menghentikan kegiatanku yang sedang menulis jawaban yang telah diisi dengan benar, lalu melihat Septian.
"Ya, aku senang mendengarnya." Sambil menganggukan kepalaku.
"Kalo sahabat, Tha?"
"Itu juga."
"Kalo pac-" Aku langsung melotot, sudah aku duga kata apa yang akan Septian keluarkan. "Engga mau kalo itu."

Tangan Septian terulur pada puncak kepalaku, mengusap, sekaligus memporak- porandakan tatanan rambutku "Ish!" Aku berusaha seperti tidak suka dengan kelakuannya tadi.

Tapi Septian malah nyengir tidak berdosa. Mulai saat ini, detik ini, senyum Septian masuk dalam daftar 'senyum yang akan aku hindari' Karena entah kapan tepatnya, hatiku seperti tidak karuan saat melihatnya.

Tepat saat pensilku menulis angka terakhir di buku tugas, Septian langsung mengajak aku pergi "Tha, ayo kita jalan." Aku melihat Septian berdiri. Ku lihat arlojiku " Engga sampai malam, ya ?"

Septian malah merapihkan barang-barangku. " Oke,tenang. "


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 07, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Don't go awayWhere stories live. Discover now