Rino melangkah memasuki gedung bernuansa serba putih dengan tergesa-gesa. Bau cairan antiseptik tak dapat mengganggu langkahnya yang sudah semakin dekat dengan ruang rawat yang baru saja salah satu suster tunjukkan kepadanya.
Sesampainya di depan sebuah pintu ruang rawat bertuliskan Melati 5, Rino mengetuk pintu tersebut perlahan sembari menghela napasnya yang masih memburu. Setelah mendengar seruan yang memintanya untuk masuk, Rino semakin menguatkan tekadnya.
Pemuda yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu memutar knop pintu kemudian melangkah masuk ke dalam. Pandangannya menangkap seorang pemuda sebayanya yang terbaring lemas pada bankar pasien.
Tubuh pemuda tersebut dipenuhi oleh berbagai macam selang dan kabel yang menghubungkan tubuhnya dengan alat-alat kesehatan yang sesekali mengeluarkan bunyi di sebelah bankar pasien.
"Bima? Lo kenapa bisa gini sih, Bim? Kenapa lo nggak pernah cerita soal ini?" tanya Rino sesampainya di sebelah bankar tempat Bima berbaring.
Bukannya menjawab, pemuda yang dipanggil Bima tersebut hanya menampilkan senyum lemah. "Duduk dulu, No. Lo nggak kasih tau Sasya soal ini, kan?" Rino mengangguk.
Rino mengambil kursi dan duduk di sebelah bankar tersebut. "Sasya apa kabar? She is still okay, right?" Hati Rino seakan mencelos ketika mendengar pertanyaan lirih dari Bima.
"Iya, sekarang dia udah baik-baik aja. Nggak sekacau waktu lo mutusin dia tiba-tiba tanpa penjelasan." Rino tersenyum getir mengingat masa itu. "Kenapa lo nggak pernah bilang kalau semua ini adalah alasan lo mutusin dia waktu itu?" cecar Rino yang kini sudah semakin uring-uringan melihat keadaan Bima.
Bima terkekeh dibalik alat bantu pernapasan yang ia gunakan. "Gue nggak mungkin cerita soal ini ke dia. Gue tau seberapa besar cinta dia buat gue. Gue nggak mungkin ngebuat dia khawatir setelah tau keadaan gue yang kayak gini, No."
"Maaf ya, No." Bima menjeda kalimatnya, membuat Rino menatap pemuda itu heran. Seakan tahu kebingungan Rino, Bima melanjutkan, "maaf karena sudah ngambil Sasya dari lo selama tiga bulan. Gue cuma mau ngerasain gimana rasanya jadi orang terpenting di hidup Sasya, walau gue tahu gue udah punya ruang tersendiri di hati Sasya sejak lama."
Rino masih bungkam mendengarkan segala penjelasan Bima. "Gue tahu, selama ini lo suka kan sama Sasya?" Pertanyaan itu membuat Rino membelalakan matanya. Darimana Bima tahu mengenai hal itu? Bukankah dirinya telah menutupi perasaannya dengan sebaik-baiknya. Bahkan Sasya yang seorang perempuan pun tak pernah menyadari hal itu.
"Gue mau minta tolong satu hal sama lo, No." Kalimat yang Bima lontarkan membuat Rino kembali tersadar dari lamunannya. Bima menatap Rino lekat sarat akan permohonan.
"Seandainya operasi gue sore ini gagal dan membuat gue pergi untuk selamanya," Bima kembali menjeda kalimatnya menarik napas sedalam-dalamnya, "gue mohon, tolong jaga Sasya. Bukan cuma demi gue, tapi juga demi lo." Nada suara Bima yang semakin lama semakin lirih membuat siapapun yang mendengar merasakan pilu.
Rino bergeming mendengar permohonan yang baru saja Bima lontarkan. Bima yang selama ini selalu menjadi rivalnya dan selalu bersaing dalam hal apapun, kini memohon sesuatu kepadanya.
Rino merasa tak mungkin tak mengabulkan permohonan ini. Permohonan ini terlalu mudah untuk ditolak. Rino mengangguk sebagai jawaban dan membuat Bima tersenyum lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Be There (One Shot) ✔️
Short StoryKisah tentang seorang gadis yang berharap dapat menjalin hubungan dengan seseorang yang ia sukai sejak masuk SMA. Juga kisah tentang Rino, yang jatuh hati kepada sahabatnya sejak duduk di bangku SMP. Bukan hanya itu, cerita ini juga bercerita tentan...