Salju mulai berlarian menghampiri atap-atap gedung pencakar langit, juga menyapa jendela yang menempel dengan kuat di sana. Tetapi, salju pertama itu cukup terabaikan oleh para kaki masyarakat Tokyo yang dikejar waktu bekerja. Berbanding terbalik dengan Kyoto, anak kecil menyambut rasa dingin itu dengan keceriaan, berlomba mengumpulkannya di dalam ember guna lempar-melempar nantinya.
Salju turun dengan cepat, merangkak di tangan-tangan yang terbuka. Semuanya karena Kyoto belum terjamah gedung pencakar langit, yang biasa berpijak di Tokyo. Dan orang yang paling benci dengan salju adalah Lucetta Horg, gadis yang memiliki manik mata berwarna biru pekat. Ia bukanlah warga lokal, jauh di ujung dunia sana, Lucy menangis untuk pertama kalinya. Hanya jendela yang menjadi jembatan untuknya menikmati butiran kecil itu mendarat.
"Mau membolos?" tanya wanita paruh baya.
Lucy menatap wanita itu yang membawakan bekal untuknya, sementara pria yang sudah ringkih datang amat pelan, menggantungkan mantel tebal di puncak kursi. Lucy memasukan bekal itu kedalam tasnya.
"Apakah kalian tidak bisa meminta izin pada pihak sekolah?"
"Bukankah hari ini, kau ada ujian, Lucy?" tanya pria tua itu terdengar mengingatkan.
"Salju adalah musuh terbesarku," keluh Lucy seraya memakai mantelnya.
Menyeret kaki yang seperti dipaku, amat sangat malas untuk seorang Lucy bergerak. Mengapa ujian harus jatuh di hari pertama salju turun? Masih ada hari-hari terbaik untuk melakukannya. Harusnya Lucy tidak menghuni tempat yang menjadi kekasih salju, selalu datang setiap tahun.
Pintu yang terbuat dari kayu yang terukir dengan motif huruf aneh itu terbuka, memerlihatkan pemandangan yang menghangatkan dari para anak kecil di sana. Lucy memejamkan mata, merasakan dingin yang mulai mencium wajahnya.
"Aku benci ini!"
Lucy mulai berjalan, melintasi distrik yang menjadi saksi para geisha saat sore hari melangkah untuk bekerja. Di lingkungan yang masih kental dengan budayanya, Lucy dibesarkan dengan susah payah. Banyak mulut yang gatal untuk menghina matanya yang seperti monster. Mungkin mereka belum pernah melihat warga Eropa, yang mayoritasnya bermata biru.
***
Lucy menarik kursinya yang pasti kedinginan saat ini, mendudukinya untuk membagi rasa hangat. Semua penghuni kelas tak berani melepas mantel mereka, dengan begitu Lucy tidak akan dipandang aneh nantinya. Suasana kelas saja sangat ramai, banyak sekali gumpalan kertas yang berterbangan. Ulah anak laki-laki. Sedangkan, para perempuan seenaknya menduduki meja mereka untuk bergosip. Hanya Lucy yang membuka buku dengan nyaman di antara keributan.
Perlahan semua tingkah anak di kelas terhenti, tergantikan oleh kesunyian yang mencekam. Bukan karena pengawas ujian yang datang, jelas sekali bahwa jam belum mendekati pukul delapan pagi.
"Aku merindukanmu," bisik seorang pria di telinganya.
Suara yang amat Lucy benci, dia adalah pria yang pandai meloncati pagar dalam sepuluh detik, pandai menyalin jawaban teman tanpa diketahui, juga pandai membawa rangkuman semalam di dalam ujian. Hisao watanabe namanya.
"Kau menggangguku, pergi ke mejamu sana!"
"Aku memutuskan untuk duduk di sampingmu," ujar Hisao.
"Sejak kapan?"
"Sejak hari ini." Lucy menatap Hisao yang tersenyum manis dengan kesal.
Hisao, pria yang mampu membungkam seluruh ruangan yang dilewati. Setiap gedung yang dipijak oleh murid adalah miliknya. Semua orang pun tidak tahu hasil darimana pria itu mampu membangun sekolah bagus seperti ini. Merampok? Mungkin saja. Tapi, yang Lucy tahu. Hisao bukanlah murid yang baik, dia sering tersandung kasus karena berkelahi, menjahili siswa lain sampai angkat kaki sendiri. Bahkan, Lucy pernah dijatuhkan olehnya dari jendela kelas, serpihan kaca juga mengenai beberapa anggota tubuhnya.
Anehnya, setelah terdengar rumor itu ... Hisao justru bersikap baik padanya, bukan karena suka. Lucy hapal betul, pria yang mendekati karena cinta. Hisao hanya ingin melindunginya saja. Rumor itu juga yang membuatnya dijauhi oleh hampir semua murid di sekolah.
Hisao menatap buku milik Lucy. "Kau masih saja belajar?"
"Kau punya mata, jadi jangan tanyakan sesuatu yang tak berguna."
"Kau cuek se-"
"Kau sudah tahu itu, Hisao," potong Lucy.
"Tidak. Aku tidak sedang bertanya, aku hanya bicara saja."
Lucy memutar bola matanya dengan malas. Ia menggunakan kaki untuk mendorong pria itu menjauh, kali ini Hisao sedikit menurut untuk kembali ke mejanya.
***
Wajah yang diukir dengan hati-hati dan perlahan itu menunjukkan urat kemarahannya. Dia sangat cantik, namun begitu menyeramkan untuk saat ini. Beberapa orang yang terlewat dilempar dengan kasar, tenaganya sangat kuat hingga sesekali mengangkat mereka dengan tinggi.
"Kalian semua tidak berguna!"
Matanya yang biru itu menyapu seluruh ruangan dengan tatapan membunuh. Buku-buku jarinya memutih saat tangan mencengkram kursinya. Jubah hitamnya yang bercorak bulu burung itu tertiup angin, memerlihatkan lengannya yang tersayat benda tajam. Cairan berwarna biru yang merembes di sana berubah menjadi hitam pekat.
"Aku tidak peduli jika nyawa kalian menjadi taruhannya!" teriaknya lagi yang mampu mengguncang semua hati di sana.
"B-baik," jawab semua orang dengan takut.
TBC
Aku ninggalin akun pribadiku dan berpindah di sini. Akun yg dulu gak begitu ramai sih hehehe ... makanya mau pindah tempat ^^Yang nunggu part selanjutnya, boleh banget komen, atau yang suka sama ceritanya dianjurkan untuk vote. Jangan jadi pembaca yang bersembunyi ya ... aku ngomong apa sih ^^
Kalian bisa juga kok kunjungi fb ku Lilajhw, gak ada yang penting sih ... tapi berguna buat yang nyari event-event kepenulisan ^^
Jangan lupa follow semua akun Alena Publisher ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAINDLESS
FantasyMelewati ruangan datar yang tak berujung ini, dengan saling menggenggam erat, mencoba melawan hisapan yang kuat jauh di depan sana. Memerjuangkan raga yang melintasi 135.798.000 juta cahaya, agar berdiri di hamparan es dengan tubuh yang lengkap. (Th...