Renjana

55 9 0
                                    

Panas mentari tak membuat Taeyong bergeming dari duduknya. Rumah peninggalan kakek dengan desain tradisionalnya memang menyediakan teras yang nyaman untuk dinikmati di siang hari yang terik ini. Taeyong pun menikmati usapan lembut angin pada rambutnya. Hampir setiap hari ia menghabiskan waktunya di teras ini sembari membaca buku atau sekedar menikmati indahnya hari dengan potongan buah segar. Ia memang tak terlalu senang melakukan aktifitas di luar rumah. Kondisi tubuhnya yang mudah lelah dan pekerjaannya sebagai penulis membuatnya lebih terbiasa menghabiskan waktu di dalam rumah.

Selain menghabiskan waktu untuk bersantai di teras, terkadang karena ia sedang melarikan diri dari menulis. Namun tidak hari ini. Taeyong sedang tidak ingin menulis. Ia sedang melarikan diri dari ramainya suasana di dalam rumah. Sudah menjadi tradisi untuk keluarganya berkumpul di rumah ini pada tanggal-tanggal tertentu. Hari ini tidak menjadi pengecualian.

Beruntunglah pintu-pintu pembatas ruang  dengan teras dapat menahan suara dari dalam sehingga Taeyong masih bisa mendengar bunyi pintu gerbang yang dibuka. Seluruh keluarga yang bisa ia sebutkan namanya sudah berkumpul di dalam rumah sejak pagi tadi sehingga tak perlu melihat untuk tahu siapa yang baru saja datang. Tamu yang ia nanti telah datang. Taeyong tersenyum lebar seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen. Segera ia bangkit dari duduk dengan kecepatan kilat (jika tamu yang ia nanti melihat tindakannya ini, Taeyong pasti akan diomeli karena biasanya berakhir dengan pusing dan ia kehilangan keseimbangan)—namun sekarang Taeyong tidak peduli, ia tidak merasa pusing seperti biasanya, ia hanya ingin segera bertemu dengan tamu yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Ia berlari menuju pintu depan dan tersenyum lebar ketika melihat sosok yang sudah lama ia nantikan kini berdiri di depan pintu masuk.

"Kau sudah pulang, Jaehyunnie."

🎶

Taeyong duduk di tempat tidur sembari mengayunkan kedua kakinya dan tubuhnya bertumpu pada kedua tangannya di samping tubuh. Kedua matanya bergerak mengikuti gerakan Jaehyun yang sedang merapikan barang bawaannya. Pemandangan yang sudah lama ia rindukan.

Sudah sejak kecil Taeyong tinggal di rumah ini dengan kakeknya dan berlanjut ketika beliau meninggal dunia. Ia tinggal sendirian hingga Jaehyun masuk ke dalam hidupnya secara tidak terduga dan akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal bersama dengan sebuah ikatan janji sehidup semati. Semuanya berubah ketika Jaehyun mendapatkan promosi pekerjaan. Perjalanan ke luar kota yang memakan waktu tiga hari hingga seminggu menjadi rutinitas Jaehyun. Rentang waktu perjalanan pekerjaannya berkembang seiring waktu dan tak ada yang bisa dilakukan Taeyong selain menunggu.

Taeyong tidak pernah suka menunggu. Hal yang ia sembunyikan dari Jaehyun pada awalnya dan akhirnya terluapkan pada pertengkaran tiada henti tiap kali Jaehyun harus melakukan perjalanan lebih dari dua bulan. Taeyong tahu sikapnya tidak baik, tapi ia hanya ingin Jaehyun mengerti bahwa ia juga membutuhkan sosoknya disini. "Maafkan aku, Tae, aku harus pergi lagi," adalah kalimat yang paling Taeyong benci yang keluar dari mulut Jaehyun. Rumah ini menjadi terlalu besar untuknya, membuat suara tangisnya menggema dengan nyaring setiap kali Jaehyun pergi. Kasur mereka menjadi terlalu dingin untuknya, dengan semua air mata yang membasahi. Hari yang paling Taeyong benci adalah hari-hari dimana ia merindukan Jaehyun.

Mata Taeyong masih terpaku pada Jaehyun yang berdiri di depan kaca sembari mengancingkan kemeja yang baru saja dikenakannya. Taeyong tersenyum. Tidak dapat dipungkiri Jaehyun memang terlihat sangat tampan mengenakan kemeja. Jaehyun mengulurkan tangannya untuk meraih dasi di atas meja dan melingkarkannya di leher. Taeyong beranjak dari tempat tidur dan berdiri di samping Jaehyun sambil memandang pantulan Jaehyun di kaca. Tersenyum melihat perbedaan tinggi yang berbanding terbalik dengan usia mereka. Melepas pandangannya dari cermin, Taeyong mengulurkan kedua tangannya hendak membantu membuatkan dasi.

"Ku harap kau sudah bisa mengenakan dasi dengan benar."

🎶

Matahari sudah selesai melakukan perjalanan pulangnya ketika keluarga terakhir berpamitan dan beranjak pergi. Tersisa keheningan, Jaehyun dan Taeyong. Sudah tidak ada jejak acara keluarga yang terjadi hari ini. Semuanya sudah kembali seperti semula. Jaehyun membalikan badan dan berjalan ke ruang tempat berkumpulnya semua keluarga tadi. Ia menemukan Taeyong dan menatapnya dalam diam yang panjang sambil bersandar di pintu.

Taeyong yang sejak tadi bersimpuh juga tidak melepas pandangannya pada Jaehyun. Ia tahu Jaehyun biasanya akan diam seribu bahasa ketika amarah menguasainya. Taeyong mengerti. Jaehyun lebih memilih diam karena ucapan saat emosi sedang memuncak hanya akan menyakiti mereka berdua. Jaehyun tidak akan meladeni apapun ucapan Taeyong hingga amarahnya mereda. Apalagi setelah telepon terakhir mereka yang diisi dengan pertengkaran. Taeyong tahu itu. Tapi Taeyong tidak ingin Jaehyun melakukannya sekarang.

"Kukira satu tahun sudah cukup untuk menenangkan amarahmu, Jaehyunnie," ucap Taeyong pelan. Ia menunduk. "Maafkan aku. Seharusnya aku tidak membesarkan masalah hari itu. Aku tahu betapa pentingnya pekerjaan itu untukmu," Taeyong mengepalkan tangan di atas pahanya. Penyesalan menghampiri dan air mata mulai terbendung di matanya. "Kurasa aku cemburu dengan Johnny yang selalu bisa bersamamu. Aku tahu itu tuntutan pekerjaan karena kau pengawalnya. Aku tahu kondisi pekerjaanmu dan kondisi tubuhku tak memungkinkanmu untuk membawaku. Tapi kecemasan itu tetap ada, Jaehyunnie.. Maaf kubiarkan rasa takutku menang. Maafkan aku.." kalimat terakhir tak lebih kencang dari sebuah bisikan,Taeyong berusaha sekuat tenaga menahan air matanya.

Jaehyun menghela nafas panjang sebelum menurunkan lipatan tangan di depan dadanya dan berjalan ke arah Taeyong. Perlahan, ia duduk tepat di hadapan Taeyong. "Aku benar-benar benci baumu ini." Jaehyun tertawa pelan dengan nada kesedihan di dalamnya. Taeyong pun mendongak—menatap Jaehyun.

Taeyong tak kuasa untuk menganggumi wajah Jaehyun. Dibalik sosok tinggi besarnya, Jaehyun merupakan pribadi yang lembut. Diluar pekerjaannya, Jaehyun senang tersenyum dengan lesung pipinya dan tawanya yang merdu. Diantara semua kesibukannya, Taeyong tahu Jaehyun akan selalu mengutamakannya dan sebisa mungkin membahagiakannya. Jaehyun tidak pernah melakukan hal yang tidak disukai Taeyong—kecuali yang menyangkut pekerjaannya. Meski Taeyong kadang bisa bersikap kekanakan, Jaehyun mentolerirnya seperti itu adalah hal yang seharusnya. Diluar pertikaian tentang jadwal pekerjaan Jaehyun, mereka hampir tak pernah bertengkar.

Taeyong tidak buta untuk tahu bahwa Jaehyun lah yang banyak bersabar dalam hubungan mereka. Taeyong pun tahu, ia harus merubah semua sifat buruknya jika tak ingin kehilangan Jaehyun. Namun Jaehyun menepis pikiran tersebut dengan jawaban "Aku mencintaimu bukan karena aku ingin sesuatu darimu. Yang kuperlukan hanya kau untuk mencintaiku selama mungkin. Sisanya bisa kuatur". Kalimat tersebut yang membuat Taeyong yakin bahwa ia telah menyelamatkan seseorang di kehidupan sebelumnya. Bagaimana lagi ia bisa seberuntung ini?

"Jaehyunnie, bisakah aku melihat senyummu lagi?"

Jaehyun tidak bergeming. Matanya tak bertemu dengan Taeyong. Jaehyun menatap lurus foto dalam bingkai yang diletakan di atas meja dan disandingkan dengan dupa.

Bingkai dengan foto Taeyong di dalamnya.

Taeyong hanya ingin melihat senyum Jaehyun untuk terakhir kalinya. Tapi kenapa Jaehyun menangis?

Taeyong ingin berbincang dengan Jaehyun. Membicarakan semua hal yang mereka lewatkan selama satu tahun ini. Tapi bagaimana caranya jika Jaehyun tidak bisa mendengarnya?

Taeyong ingin Jaehyun tahu bahwa tubuhnya kini tak lagi merasa sakit. Tapi bagaimana caranya jika ia tak lagi terlihat oleh Jaehyun?

Taeyong ingin memeluk erat Jaehyun yang menangis di hadapannya. Tapi bagaimana caranya ketika Jaehyun tak lagi dapat disentuhnya?

Taeyong ingin menyambut Jaehyun pulang. Tapi tidak seperti ini.

ADAGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang