Sepasang sepatu kets berwarna hitam ditalikan. Jemari yang menalikan
nya lentik, terlalu lentik untuk menalikan sepatu semata kaki itu, yang lebih cocok untuk lelaki. Si pemilik jemari bercermin. Ah, ternyata benar. Ia memang seorang gadis. Ia menatap wajahnya yang belum berbedak. Rambutnya yang lurus dan panjang dibenahinya asal, seenaknya, lalu dibiarkannya tergerai di bahu. Ia menuangkan sedikit bedak bayi ke tangan, memuputkannya ke sekeliling wajahnya yang lonjong. Serpihan bedak berjatuhan di bulu matanya yang panjang. Ia kemudian tersenyum lebar, memandangi wajahnya yang agak keputihan.
"Selamat Pagi, Raisya!" ujarnya pada pantulan diri di cermin. Ia betulkan posisi rok panjang abu-abunya yang miring akibat dikenakan terburu-buru. Ujung rok itu mengibas-ngibas puncak sepatu ketsnya yang tinggi. Raisya tersenyum puas lalu menyambar tas sekolah dari meja. Ia menarik ujung-ujung seprai tempat tidur, merapikannya sekilas. Kemudian dengan kaki, di dorongnya beberapa barang di lantai ke kolong tempat tidur. Tak lama ia melesat keluar.
Di ruang keluarga, TV menyala, menyiarkan berita pagi. Tak jauh dari TV, seorang wanita tengah berdiri di sebelah meja makan, mengoleskan selai ke sepotong roti gandum. Di meja, sebuah piring keramik mewadahi tumpukan roti yang sudah diolesi selai dan dilipat dua, siap disantap.
Raisya menyambar selembar roti, kemudian mengecup pipi ibunya kuat-kuat sampai pipi putih itu memerah.
"Love you, Ma!"
"Kamu sudah sisiran belum, Cha?"
Sia-sia saja pertanyaan mama, karena Raisya sudah lenyap dari pandangan. Mama mengoel sendiri panjang pendek. "Rambut Panjang begitu bukannya dirawat. Ini dibeliin ikat rambut malah dipakai buat gelang. Dibeliin bando, dipatahin. Dibeliin sisir, diilangin."
Gadis itu sudah berlari menuruni teras, melangkah lebar-lebar di sepanjang carport. "Cepetan, Neng," Bang Jali, tukang sopir keluarga, menunjuk keluar pagar, kearah sedan hitam yang menunggu dengan mesin menyala. Tanpa kata, Raisya kembali berlari. Ia buka pintu depan mobil itu, kemudian masuk.
"Kamu udah sisiran belum, Cha?" Tanya seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata hitam.
"Iya, nanti."
"Kamu nih, udah nggak sisiran, makan sambil jalan..."
Raisya memotong omelan pria itu, "Udah deh, Om. Pagi-pagi udah ngomel aja" Brak! Pintu mobil ditutup. Mobil berderum pergi meninggalkan Om Fauzi di rerumputan taman dan mama di teras. Keduanya melambaikan tangan pada para penumpang mobil yang tak membalasnya.Di rumah yang berbeda, seorang gadis yang mengenakan bros plastic biru muda di tengah dada, menyemat rapi jilbab putih panjangnya yang terjulur sampai di atas pinggang. Dengan malu-malu, ia menatap sekilas pantulannya di cermin, lalu berbalik. Ia mengangkat gitar klasik yang tergeletak di tempat tidur, meletakkannya dengan hati-hati di sudut kamar, seprai kuning pucat bergaris-garis cokelat terbentang kencang dikasur. Dengan satu kibasan tangan, disapunya sebutir debu yang masih menempel di sana.
Ketika ia membuka pintu, seorang pria paruh baya dengan celana batik dan kaos putih sedang duduk di depan meja makan sambal membca koran. Pria itu kemudian menyapanya "Yuk, makan dulu."
Gadis itu mengangguk. Ia duduk dengan rapi dihadapan piring yang menangkup. Seorang wanita yang berumur empat puluhan yang rambutnya tergerai mengecup puncak kepala gadis itu.
"Selamat Pagi, Jelita, anak ibu yang jelita," ucap sang ibu sambal tertawa.
"Ibu, apaan sih," gumam Jelita sambal menyendokkan nasi goring kepiringnya.
"Ayah bisa antar, nggak?" Tanya sang ibu sambil menarik kerudung kaus panjang yang tersampir di punggung salah satu bangku. "Kalau nggak, biar ibu yang antar." Ibu lalu mengenakan jilbabnya. Ia tampak semakin tinggi dalam balutan jilbab panjang itu.
"Ayah aja, ayah sekalian mau setor uang ke bank."
Dengan mesra sang ibu mengecup manis kening suaminya. "Makasiiih."
"Ih, Ibu, ih. Bikin malu aja" gerutu jelita lirih
Ibu tergelak kemudian melangkah kearah dapur. "Jangan lupa minta uang jajan sama ayahmu, Nak."
Setibanya di sekolah, Jelita mencium punggung tangan ayahnya dengan takzim. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Nanti mau dijemput atau pulang sendiri?"
"Dijemput boleh gak, Yah?"
Ayah mengangguk lalu melajukan morotnya meninggalkan lapangan parkir sekolah. Di pintu gerbang, motornya berpapasan dengan sedan hitam milik Raisya. Mobil itu meluncur masuk dan menurunkan Raisya, yang hamper terjatuh akibat tersangkut roknya sendiri.
"Neng, Kamu gak boleh pulang pakai rok sobek lagi ya!" seru Bang Jali dari dalam mobil
Sambil cemberut, Raisya menutup pintu mobil. Bang Jali kemudian menurunkan jendala mobil di sisi penumpang dan berusaha memanggil Raisya
"Kamu dengar nggak, Raisya?"
Raisya menoleh lalu menempelkan telunjuknya di bibir. Ssssst!
"Sisiran dulu!"
Bang Jali nyerah. Sambil menggeleng-geleng sebal, ia menggiring mobil kembali menuju gerbang, menginggalkan Raisya yang berjalan tergesa memasuki sekolah.
"Hallo Pak Ferdiii," Raisya menyapa satpam kurus tinggi yang berdiri di dekat gerbang besi sekolah.
Tiba-tiba tertangkap olehnya banyangan Jelita berjalan dengan lanhkah kecil-kecil sambil menunduk.
"Jelita! Jeliita!"
Jelita menoleh.
"Haiiii!" seru Raisya sambil tersenyum lebar
Jelita membalas sapaan hangat Raisya dengan senyuman kecil. Irit.
"Budi!" panggil Raisya sambil berjalan menuju pagar sekolah. "Mau kemana?"
"Beli buku tulis!"
"Bisa-bisanya ketinggalan buku tulis" gumam Raisya sambil kembali berbalik dan mengejar Jelita. "Jelita! Yuhuuuu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Ilalang
Romance"Ilalang terlihat sangat tegar, tidak rumit untuk bertahan hidup. Dia juga tidak berduri, jadi tak akan pernah melukai orang lain. Aku selalu berusaha bersikap tegar layaknya setangkai ilalang yang sedang bertahan hidup" Satu persatu kebahagiaan dir...