Satu// Raga butuh hati.

56 7 0
                                    


Aku bertemu dengannya ketika lelah menelusup dada. Di bangku kayu yang nampak usang dan reot itu, dia tentram menduduki. Sore hari, saat aku pulang kerja, mata hitam ini selalu mendapati sosoknya. Kerap mata ku  memperhatikan gerakan pada bibirnya.

"Lucu, sekali,"

"Oh! Ya?"

"Kamu kuat, bukan?"

"Tidak. Tidak."

Beberapa hari setelahnya, aku jarang mendapati sosoknya di bangku reot itu. Bangku kayu reot yang kurasa sudah meranggas termakan usia. Aku saja tidak yakin, bangku kayu itu mampu menahan bobot tubuh ku.

Haha.

Setelah berperang batin, akhirnya aku memutuskan untuk mampir sebentar. Berharap bertemu kembali dengannya. Dengan was-was aku duduk. Hei sudah ku katakan, aku takut bangku kayu ini patah ketika bongkong ku mendarat.

"Tenanglah, bangku ini kuat," ujar seseorang, di samping ku. Sontak aku menoleh terkejut. Tunggu, apa aku mengalami halusinasi? Tadi, bukannya saat aku kemari bangku ini kosong? Lalu kenapa, tiba-tiba ada seseorang yang mengajak ku mengobrol?

"Sungguh gila," gumam ku.

"Hei, kau tidak gila. Lihatlah, aku adalah gadis yang sering kau perhatikan," ujar gadis itu. Aku mengerjapkan mata lelah. Barangkali aku salah lihat. Berhalusinasi.

"Hati," ujarnya dengan senyuman.

Aku memiringkan tubuh menatap lamat gadis ini. Benar, aku tidak salah melihat. Ini sungguh gadis itu.

"Kau?" tanya gadis itu.

"Hah?" balas ku tidak paham.

Sungguh aku sedang kelelahan, maka dari itu aku tak cepat tanggap.

"Ck, siapa nama mu?" tanyanya.

"Oh, aku Raga. Kamu?" tanya ku balik.

Gadis itu tersenyum, kali ini aku merasa jantungku berdegub kencang.
Oh, jika ada audisi pacuan jantung, aku yakin akan memenangkannya. Sialan.

"Hati," balasnya ceria.

Hari-hari setelah pertemuan di bangku reot itu. Aku dan dengannya, memutuskan untuk mengadakan pertemuan rutin. Tepatnya, setelah ku pulang dari bekerja.

Pernah, di suatu sore yang tampak kebiruan. Aku mengajaknya mengobrol di kedai kopi pinggir jalan. Bosan, karena pertemuan kami selalu di adakan di atas bangku kayu reot.

Selama mengobrol, Hati banyak membicarakan tentang dirinya. Seolah merasa bangga, sekali. Aku maklumi, dia masih muda wajar jika dia bangga.

"Kau, bekerja?" tanya Hati. Tangannya mengarahkan sendok ke mulutnya. Mencicipi kopi pahitnya.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Hebat sekali, orang tua mu pasti bangga," pujinya. Tapi jauh dalam diri ku, aku tidak merasa begitu. Justru aku merasakan sesuatu, yang seharusnya tak boleh ku rasakan.

Raga Butuh Hati.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang