CHAPTER I

7 2 2
                                    



Disinilah kami.

Di bawah langit malam pertama, di atas satu ranjang.

Kisah kami dimulai dua bulan lalu...

***

[Dua bulan yang lalu]

"Apa-apaan ? Gak mau !" kataku.

"Gak apa-apa sih, neng. Nikah muda kan enak."

Mama memaksaku untuk menikah di umur 21 tahun ini. Gila saja. Di semester terakhir kuliah yang sibuknya minta ampun, bisa-bisanya dia memintaku untuk menikah dengan lelaki yang bahkan tidak pernah aku temui.

"Apaan enak? Kalo Mama tahu nikah muda enak kenapa gak Mama saja yang nikah!"aku bersikeras menolak permintaan Mama.

"Gak apa-apa sih, ikut aja dulu besok ketemuan." Mama masih saja berusaha membujukku.

"Ya gak mau lah! Lagian aku kan udah punya Dany."

"Emang Dany pacar kamu?" bisa-bisanya dia bertanya dengan polosnya.

"Ya Mama pikir aja sih, Dany yang anter-jemput aku, nemenin aku kemana-mana, Mama pikir kita apa?"

"Emang kalian pernah jadian?"

"Enggak."

Memang benar aku dan Dany tidak pernah jadian. Dany tidak pernah menembakku (atau belum) dan aku juga tidak mendorongnya untuk melakukan itu. Lagi pula apa gunanya jadian kalau untuk sekedar status 'pacaran'? Cinta tidak butuh status, yang penting ia memiliki rasa.

"Ayolah. Mama tuh punya utang sama mamanya dia. Anaknya sudah besar, sudah kerja, sudah cukup untuk ngurus kamu. Masa kamu mau tinggal terus sama orang tua ?"

"Tapi Shila kan masih duapuluh satu tahun, Ma. Lulus kuliah aja belom, masa tiba-tiba udah nikah. Shila masih pengen kerja, pengen travel kemana-mana sendiri. Shila belom mau berkeluarga di umur semuda ini. Lagian Mama utang apa sih ? Utang uang ? Nanti Shila bantuin deh Ma bayar utangnya. Masa demi utang sampe rela percayain anaknya ke orang lain sih ?Aku juga gak mau tinggal bareng orang tua terus, makanya aku pengen kerja bi"

"Utang nyawa, Shil." Mama memotong cerocosanku. "Dulu pas Mama hamil kamu, Mama pernah kecelakaan. Mama hampir kehabisan darah dan kehilangan kamu. Waktu itu cuma ada mamanya dia yang bisa donorin darahnya ke Mama."

Aku terdiam mendengar pengakuan Mama. Selama ini Mama gak pernah cerita tentang hal ini. Aku pun gak tahu Mama punya utang sebesar ini ke orang yang gak pernah aku temui. Bahkan aku gak tahu Mama punya teman, karena selama yang kutahu Mama adalah tipe orang yang malas bersosialisasi, hari-hari cuma diisi kegiatan di rumah atau pergi sendiri.

"Ayolah, neng. Seenggaknya besok kamu mau ikut Mama ke rumahnya. Ya?" Mama lanjut membujukku.

Mendengar pengakuannya tadi, aku merasa bersalah terhadap Mama. Meskipun aku tahu kejadian itu bukan salahku, tapi dengan itu aku mengetahui bahwa Mama pernah mengalami cobaan yang lebih berat dibanding bertemu dengan orang yang tidak kukenal. Yah... orang yang tidak kukenal tapi akan menjadi suamiku. Aku tahu ada banyak kemungkinan yang akan terjadi. Meski sekarang aku dipaksa untuk bertemu orang itu, belum tentu kan pada akhirnya aku menikah dengannya?

Keep GoingWhere stories live. Discover now