Prolog

5 0 0
                                    

Hujan masih mengguyur kota kecil yang kutinggali sekarang. Hujan sudah turun sejak satu jam yang lalu membuatku masih terjebak di salah satu cafe dengan secangkir cokelat yang sudah tidak panas lagi. Aku memandangi jalan setapak di depanku dari selapis kaca sebagai pembatas dalam dan luar cafe, tampak beberapa orang sedang berlarian menghindari hujan dan berteduh di halte yang tidak jauh dari cafe ini. Aku tersenyum. Aku sangat menyukai hujan.

"Aku tidak suka hujan". Aku tercengung mendengar suara itu tiba-tiba muncul dikepalaku setelah sekian lama. Aku menarik napas kesal kemudian menyesap cokelat yang tadinya panas. Huftt. Sepertinya hujan hari ini sangat melelahkan.

Ting!
Suara lonceng yang terpasang di pintu masuk cafe berdenting pelan. Aku menoleh dan mendapati seseorang tersenyum kepadaku sambil melambai. Aku ikut tersenyum. Ia menarik kursi didepanku setelah memesan minuman, kemudian sibuk menyisir rambutnya yang lepek terkena hujan dengan jari.

"Jadi gimana?" Tanyanya tanpa basa basi.

"Gimana apanya?" Balasku. Bukannya aku tidak tahu arah pembicaraan lawan bicaraku ini. Hanya saja terlalu sulit untuk menjawab pertanyaannya.

"Gak usah sok bodo deh". Dia bersedekap. Aku terkekeh pelan. Cokelat panas pesanannya datang, ia mengucapkan terima kasih dan kemudian menatapku kesal.

"Belum aku putuskan Ray". Jawabku akhirnya. Dia semakin kesal. Aku mengedikkan bahu dan kembali menatap keluar. Hujan semakin deras, sekarang disertai angin. Orang-orang di halte semakin terpojok, bus baru akan sampai sekitar 6 menit lagi. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di kaca tanpa irama. Bulir-bulir air di luar kaca semakin membuat kaca buram.

Inisiatif. Aku mengambil beberapa lembar tisu dan mulai mengelap kaca yang buram dihadapanku. Aku tau, dia berdecak sambil menggelengkan kepala meliat tingkahku. Kemudian mengabaikanku dengan meraih handphonenya di dalam tas.

"Ray, tadi aku seperti mendengar suaranya". Kataku pelan. Rayna berhenti mengetik dan mendongak menatapku. Heran.

"Farhan?" Tanyanya, alisnya sudah hampir menyatu akibat bingung. Aku mengangguk. Air muka Rayna berubah. Antara bingung, kesal, kasihan, takut, semua bercampur satu.

"Kenapa Ray? Ini udah lama banget". Kataku pelan. Rayna meletakkan handphonenya dan meraih tanganku pelan.

"Zu, seharusnya kamu bukan tanya aku. Tapi kamu". Tunjuk Rayna kearah jantungku. Air mataku hampir lolos, seketika aku mendongak, mencoba tidak menumpahkan air mataku. Lagi.

Ting!
Bus baru saja berhenti di halte. Menurunkan dan menaikkan penumpang. Aku tidak dapat melihat seberapa banyak penumpang yang turun karena terhalang oleh badan bus. Tak lama kemudian bus kembali membelah hujan. Semua orang yang berdiri di halte tadi sudah tidak ada lagi. Tersisa satu orang laki-laki menggendong tas ransel hitam membelakangi jalan. Hanya dia yang turun di halte. Sebuah mobil berhenti tepat di depan halte, laki-laki tersebut membalikkan badannya. Aku bukan hanya tercengang, tapi juga gemetaran.

"Zuu??" Rayna panik. Aku mencengkram ujung meja berusaha meredam gemetaran sambil menggigit bibirku kuat. Rayna beralih duduk disampingku dan memelukku erat. Aku masih bergetar ketika Rayna akhirnya melepas pelukannya.

"Farhan". Aku menunjuk satu titik. Rayna mengalihkan pandangannya ke halte dan mendapati seseorang tengah tersenyum pada seseorang di dalam mobil yang menjemputnya.

"Zu? Kamu harus datang reuni. Titik". Putus Rayna tanpa ingin di sanggah sama sekali. Aku menggeleng. Rayna membuang napas kasar. "No, kamu harus datang. Kamu yang bilang kalau ini udah lama banget. Jadi seharusnya kamu udah bisa ngatasinnya." Mata Rayna penuh kilatan kesal, tegas dan tidak ingin di bantah.

"Ray? Apa aku siap?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stolen HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang