Dua jam yang melelahkan telah berakhir. Penyusup yang bersembunyi di balik rimba Afghanistan telah berhasil dilumpuhkan oleh satu kali tembakan yang dilesatkan oleh Dean.
Ya, dua jam hanya untuk satu kali tembakan yang sempurna.
Rash sang spotter menepuk-nepuk helm taktis rekan sesama penembak runduknya itu. Anggaplah sebagai ucapan selamat karena tugas 'dadakan' mereka pada dini hari itu akhirnya tuntas. Mereka menyelamatkan nyawa banyak Marinir lagi kali ini. Tapi, seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya, tidak ada sedikitpun raut kegembiraan di wajah keduanya.
"Fajar sudah hampir menyingsing. Ayo kita mencari air," ajak Rash, menarik diri dari atas tanah yang sudah diakrabinya sejak dua jam yang lalu itu.
Dean mengikuti saja apa yang dikatakan oleh Rash. Kedua matanya sudah lelah akibat bercumbu dengan scope dan NVG selama hampir dua jam, tetapi lelaki keturunan Sunda asal Colorado itu tidak berpikir sedikitpun untuk tidur.
Ini saatnya untuk 'merengek'.
"Allahu Akbar,"
Takbir terucap perlahan dari mulut Rash beberapa menit setelah kedua penembak runduk itu menemukan air untuk bersuci. Tidak benar-benar suci sebenarnya, kedua lelaki itu baru saja membunuh. Semudah itukah untuk kembali pada kesucian?
Dean Suprayitna dan Rasheed Stamford adalah sebuah ironi yang nyata. Apa yang mereka kerjakan bukanlah hal yang mereka inginkan. Dunia terlalu gelap, terlalu berat untuk dipahami sekaligus. Jika saja ada pilihan lain yang lebih mudah, tentulah mereka tidak akan menjadi seperti ini.
Satu per satu Marinir kembali dari dalam hutan. Sebagian besar dari mereka langsung merebahkan badan seadanya di atas tanah. Sebagiannya lagi hanya duduk bersandar pada bebatuan gunung, melepas lelah, minum dari botol air mereka yang isinya sudah tak seberapa. Semenjak kemarin belum ada MRE yang diterjunkan. Mau tidak mau semuanya harus berdamai dengan keadaan. Apa saja yang dimiliki oleh alam bisa dimakan, maka itulah yang mereka makan.
"Assalamu'alaikum warahmatullah..."
Sayup ucapan salam terdengar dari mulut dua orang sniper yang semenjak tadi khusyuk dalam do'a. Semua mata Marinir teralihkan pada kedua pria yang hari ini menyelamatkan nyawa mereka untuk yang ke sekian kalinya. Obrolan ringan yang menjadi selingan di tengah-tengah sesi istirahat mereka menjadi sedikit senyap ketika melihat kedua penyelamat mereka tertunduk dalam. Menangis penuh penyesalan.
Apa yang mereka tangisi itu? Kenapa hampir setiap hari mereka terlarut dalam penyesalan? Jika hal seperti ini bukanlah yang mereka inginkan, lantas kenapa harus bergabung dengan Korps Marinir?
"Ini bukan soal tenggelam dalam penyesalan secara berlarut-larut, tapi soal bagaimana menjaga agar hati mereka tetap hidup."
Letnan Jim Brenson datang dan memberi sanggahan di tengah-tengah diskusi kecil antara beberapa Marinir yang berada di bawah komandonya.
Brenson tahu persis siapa Dean dan Rash. Yang satu sedang berjuang menyambung hidup setelah kebangkrutan orangtuanya dan yang satu lagi sedang memperjuangkan kewarganegaraan yang sampai saat ini belum bisa didapatkannya.
"Sudah berapa kali kalian membunuh orang?"
Sebuah pertanyaan keluar dari mulut Brenson, tapi hanya dibalas dengan kesunyian. Mereka saling menatap satu sama lain, tidak yakin harus menjawab apa.
"I can't remember, Sir."
Danny Hunter, Marinir yang biasa bertugas sebagai bagian dari regu tembak, memecah kesunyian. Sudah tidak terhitung berapa nyawa yang raib akibat terkena peluru panas yang ia tembakkan menggunakan senapan mesin M-60 miliknya. Ia adalah salah seorang yang paling banyak menggunakan peluru di kompi mereka.
"Seperti apa rasanya ketika kau tahu orang yang berhasil kautembak itu mati?" tanya Brenson lagi.
Danny terdiam. Ia seperti sedang mengorek tumpukan memori di dalam otaknya dan menemukan ingatan tentang manusia pertama yang ia ambil nyawanya adalah seorang remaja laki-laki berusia limabelas tahun. Ia bahkan tidak yakin remaja itu benar-benar seorang militan atau cuma penduduk sipil korban salah tembak. Hanya saja, ada satu hal yang Danny tahu.
"Rasanya sakit, Pak," jawab Danny. "Sakit karena harus menerima kenyataan aku telah menjadi seorang pembunuh. Terlebih lagi, dia yang kutembak hanya seorang anak-anak," tambahnya.
Danny ingat betapa menyesalnya ia telah menembak anak itu. Banyak orang berkata, tugas mereka adalah untuk menjaga perdamaian dunia. Tapi, pada kenyataannya, apa yang ia temukan di lapangan tidak seperti apa yang mereka katakan.
Bagaimana bisa membunuh seorang bocah yang ia tidak tahu bersalah atau tidaknya disebut sebagai usaha dalam menjaga perdamaian dunia?
"Setelah kau melakukannya untuk yang kedua kali, ketiga kali, belasan atau mungkin puluhan kali, apa yang kaurasakan?" Brenson melayangkan pertanyaan lagi. Kali ini tidak butuh waktu lama bagi Danny untuk menjawabnya.
"Biasa saja," jawab Danny singkat.
"Kenapa?"
"Mungkin karena aku sudah terlalu sering melakukannya. Aku bisa karena terbiasa."
Brenson menghela napas, mengingat dirinya juga pernah merasakan hal yang sama. "Itu berarti ada sesuatu di dalam hatimu yang telah mati, Hunter," ujar Brenson. "Dan apa yang sedang mereka lakukan itu...," Brenson menoleh ke arah Dean dan Rash, "...adalah untuk menjaga agar hati mereka tetap hidup."
Danny dan beberapa Marinir lain mengangguk perlahan, mencoba meresapi dengan baik setiap kata yang diucapkan oleh Brenson.
"Bertahan dalam situasi di mana kau ingin menebus semua kesalahan tapi tanganmu mau tidak mau harus terus melakukan 'pekerjaan kotor' itu tidak mudah. Setidaknya jangan sampai sesuatu yang ada di dalam hatimu itu kehilangan daya. Jangan biarkan sesuatu yang ada di dalam hatimu itu mati. Tidak ada salahnya menengok ke belakang jika itu untuk diambil pelajarannya. Tanganmu boleh kotor, tapi tidak dengan hatimu."
Penjelasan panjang Brenson seperti membawa mereka pada sebuah pencerahan baru mengenai hidup. Mereka menyadari bagaimana dua orang paling tangguh dan berani di kompi mereka ternyata adalah 'perengek' yang tak berdaya di hadapan Pencipta-nya. Mereka sadar Dean dan Rash cuma manusia biasa. Ada jiwa di dalam diri mereka yang bisa rapuh, tapi dengan segala upaya, keduanya menjaga agar jiwa yang rapuh itu tidak hancur. Apalagi mati.
Sinar sang surya di ufuk Timur mulai terlihat semakin terang. Dean dan Rash menyudahi 'rengekan' mereka, tapi sisa-sisa curahan hati tadi masih tertinggal bersama keduanya. Sedikit sulit untuk beranjak dari tempat mereka duduk sekarang ketika melihat cerahnya pagi yang mungkin saja menjadi yang terakhir bagi mereka. Masa depan itu tidak ada yang pasti.
"Kopral Stamford, Sersan Suprayitna,"
Danny mendatangi keduanya selagi mereka menunggu penerjunan MRE yang rencananya akan datang pagi ini. Setelah obrolannya dengan Brenson tadi, ada sesuatu di dalam hati Danny yang membuatnya tergerak menemui Dean dan Rash. Mungkin hanya sekedar obrolan pagi, tapi jauh di dalam dirinya, Danny ingin mencari jalan untuk kembali.
Jalan yang menjaga agar sesuatu yang berada di dalam hatinya itu tidak mati.
FIN
KAMU SEDANG MEMBACA
At The Dawn
Short StoryKedua matanya sudah lelah akibat bercumbu dengan scope dan NVG selama hampir dua jam, tetapi lelaki keturunan Sunda asal Colorado itu tidak berpikir sedikitpun untuk tidur. Ini saatnya untuk 'merengek'.