4. Black belt Badass! (Lea)

5 0 0
                                    

Aku, Tristan, dan Dika keluar dari cafe menuju ke tempat parkir. Tangan Tristan sesekali menyentuh punggungku, mengarahkanku ke tempat mobilnya diparkir. Dadaku berdebar-debar merasakan sentuhan tersebut... duuh.

"Lea, kita antar Dika dulu ya. Rumahnya dekat dari sini. Abis itu baru aku antar kamu", tangan Tristan membuka pintu mobil, menyuruhku duduk di kursi penumpang depan. Dika melemparkan tas ranselnya ke bagasi mobil dan duduk di kursi di belakangku.

"Iya, ga apa-apa", aku memberikan alamat rumahku ke Tristan.

Tidak lama kami sampai di depan rumah Dika. Rumah dua tingkat model cluster yang asri, dengan pohon kamboja kuning tumbuh di pinggir luar halaman dan pokok mawar mengelilingi halaman yang berumput.

"Thanks, bro! Ntar malam gue telfon lo ya", Dika menepuk pundak Tristan sebelum keluar dari mobil dan melambai tersenyum kepadaku.

"Welcome, bro. Lo telfon di atas jam 9 malam ya, gue abis antar Lea mau mampir sebentar ke toko buku cari pensil gambar", jawab Tristan.

Dika bergegas masuk ke rumah. Tristan dan aku melanjutkan perjalanan ke rumahku.
Tidak jauh dari rumahku, aku melihat mobil Dimas sudah terparkir di carport rumahku.

"Kamu mau mampir atau langsung pulang?", tanyaku menoleh kepada Tristan.

"Aku mau mampir sebentar. Masih pengen ngobrol sama kamu. Sebelum turun, aku minta nomor handphone kamu dong", Tristan menyerahkan handphonenya kepadaku, memintaku memasukkan nomorku di handphonenya.

Setelah handphonenya kukembalikan, tidak lama aku mendengar dering handphoneku di dalam tas.

"Itu nomorku. Aku telfon kamu nanti malam ya".

"Aku ingat kamu bilang hanya memberikan nomor handphone kamu ke orang tertentu saja, yang kamu pilih. Berarti aku termasuk yang kamu pilih?", mulutku yang terkadang tidak sejalan dengan akal sehatku mengucapkan kata-kata tersebut. Buru-buru kutambahkan,
"... yang kamu pilih untuk menjadi teman, maksudku". Aku yakin mukaku sudah seperti kepiting rebus saat ini.

Tristan tertawa dan mengambil tangan kananku yang aku letakkan di atas tasku... memegangnya dan matanya menatap mataku, "Aku senang bisa jadi teman kamu. You make my life colorful".

Aku tersenyum dengan perasaan yang tidak karuan. Damn, he's so sweet. Tolong Tuhan... amankan hatiku. Jangan biarkan dicurinya.

Aku turun dari mobil. Tristan mengikutiku. Sebelum aku sampai di teras rumah, Dimas keluar dari pintu depan dan melihat Tristan. Mukanya berubah marah.

"Heh, ngapain lo kesini? Masih mau nyari gara-gara?", Dimas berteriak sambil menunjuk Tristan.

Tristan kaget melihat Dimas. Mukanya berubah sinis. Duuh.. kenapa mereka? Buru-buru aku memperkenalkan Tristan, "Bang, ini Tristan, teman gue. Dia nganterin gue dari Gym. Tristan, ini Dimas, abang gue".

"Sejak kapan lo temenan sama dia, hah? Lo ga tau dia siapa? Salah satu biang onar di Tehnik. Minggu lalu temen gue dihajar sama mereka", Dimas makin kencang suaranya.

Ya ampun... aku lupa kalau minggu lalu anak Tehnik dan anak Hukum, jurusan Dimas, berkelahi di lapangan parkir kampus. Gara-gara ada mahasiswi Hukum yang pacaran sama anak Tehnik, tetapi kemudian selingkuh sama anak Hukum. Anak hukum ini yang ditabokin sama anak Tehnik. Masalah sepele sebenarnya. Jadi ramai karena mahasiswa masing-masing jurusan ikut campur membela temannya.

Dimas maju ke depan seakan-akan mau menerjang Tristan. Sementara Tristan hanya menyender di kotak telfon di luar halamanku, dengan muka yang menantang "bring it on!".

 Sementara Tristan hanya menyender di kotak telfon di luar halamanku, dengan muka yang menantang "bring it on!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak sadar kalau dia sudah mundur beberapa langkah ke belakang.

"Lo mau apa? Gue ga ikutan pukul teman lo. Kalo gue yang pukul, teman lo udah mati sekarang", Tristan masih memposisikan dirinya di luar halaman.

"Gue ga perlu bilang ke elo kan kalau gue pemegang sabuk hitam karate. Lo pikir temen lo bisa selamat kalau gue ikutan pukul dia?", Tristan mencecar Dimas. "Saat kejadian, gue lagi ga di kampus. Bukan salah gue teman lo bonyok!".

Aku menelan ludah mendengar Tristan menyebut dirinya pemegang sabuk hitam karate. Udah ganteng, pintar, badass... ya Tuhan... kuatkan hatiku, pleaseee....

Dimas masih tetap sewot, "Gue ga peduli bukan elo yang pukul Rio. Lo jangan dekat-dekat sama adik gue. Pulang lo sekarang. Ga usah kesini lagi. Adik gue bukan mainan lo dan teman-teman lo!".

Sesaat Tristan menunduk, raut mukanya berubah. Kemudian dia menoleh ke arahku, "Aku pulang dulu ya. I'll call you later".

Aku hanya bisa mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepadanya telah mengantarku pulang.

Mobil Tristan perlahan menjauh dari hadapanku. Aku menghela napas dan berbalik menghadap abangku.

"Lo kenapa sih, bang? Jelek amat pandangan lo sama anak Tehnik. Ga semua anak Tehnik berantem sama Hukum kan".

"Sorry, Le. Tapi gue ga rela kalau lo dekat sama dia. Gue tau tipikal mereka. Perempuan ga ada artinya buat mereka. Lo boleh temanan sama siapa aja, asal bukan mereka", Dimas masuk ke rumah meninggalkanku.

Doaku dalam hati. Semoga Dimas dan Tristan bisa berdamai. Semoga perdamaian itu datang lebih cepat. Semoga hatiku baik-baik saja. Semoga mimpiku masih menyenangkan nanti malam.

Empty ShellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang